"Riel," sebut Giga. "Kalau gue mau tanya sesuatu yang agak pribadi, kira-kira lo bakal jawab nggak?"
Ariel yang bersandar di tiang sambil bermain ponsel cuma melirik. Saat ini ia dan Giga sedang menunggu Maya. Mereka sudah berjanji akan pulang bersama.
Giga mengerti akan respons Ariel. Meskipun belum lama berteman, tapi ia sudah cukup bisa memahami watak cewek itu. Selain dalam hal keuangan, terkadang Ariel juga pelit dalam hal suara.
"Kenapa sih, lo selalu nolak kalau dideketin cowok?" Maka Giga bertanya langsung saja. "Gue lihat lo nggak seneng tiap tahu ada cowok yang suka sama lo."
Jempol Ariel yang sejak tadi sibuk menggeser-geser layar ponsel otomatis terhenti. Ia jelas sedang berpikir walau sama sekali tak mengalihkan pandangannya. Sementara di sebelah, Giga terus menatap, menunggu jawabannya.
"Gue...," lalu akhirnya Ariel bersuara, "nggak mau ngasih tahu alasannya."
Giga tampak kecewa.
Bukannya tak berdasar, Ariel sendiri maklum jika Giga menanyakan hal itu. Sebab beberapa menit sebelumnya, anak itu memergoki Ariel sedang ditembak seorang cowok. Seorang dari kelas IPA, yang bahkan Ariel tahu namanya sesaat sebelum ia mengungkapkan rasa.
"Omong-omong kenapa lo nggak mau balikin buku daftar hitam gue?" Ariel gantian bertanya.
"Ngapain dibalikin? Lo kan udah ngasih bukunya ke gue."
"Gue nggak pernah ngasih," Ariel mengembalikan layar ponsel pada home lalu menatap cowok itu. "Waktu itu gue cuma asal ngelempar."
"Hukum alam menyebutkan, barang yang udah dilempar ke arah Giga berarti udah jadi miliknya."
"Ayolah, jangan bikin gue susah," kata Ariel malas. "Gue jadi repot kalau ada kejadian kayak tadi. Itu buku satu-satunya. Gue nggak mau bikin daftar baru lagi."
"Lo kan bisa lapor sama gue kalau ada korban segar," Giga menanggapi ringan. "Tanpa lo minta pun, cowok yang barusan aja udah gue buatin biodata. Nggak percaya?" ucapnya waktu Ariel melirik.
"Nama: Gani. Kelas: 10 IPA-4. Tinggi pas-pasan. Muka standar. Dilihat dari tampang otak nggak terlalu pintar. Anggota marching band SMA Harapan. Udah langsung ditolak padahal belum selesai menyatakan perasaan. Mungkin karena dia pernah jadian sama teman sekelas gue, dalam kurung Giga, jadi Ariel harus menjauhinya."
Ariel memberi respons aneh mengetahui apa yang Giga tulis dalam buku keramatnya.
"Habis, gue nggak tahu mesti nulis apa dalam keterangan akhir," Giga menunjukkan sederet giginya yang putih. "Tadinya sih gue mau nulis begini, Riel. Mulai hari ini bakal nganggap nggak pernah lihat daripada kena sial. Takut ada nyawa melayang. Tapi nggak jadi. Soalnya gue khawatir salah penafsiran dan dianggap sok tahu."
"Lo emang udah sok tahu," Ariel mencela.
"Ya makanya itu, biar nggak jadi sok tahu gue perlu dikasih tahu," rayu Giga sambil mengedip-ngedipkan mata.
"Emangnya itu beneran?" Akhirnya cowok itu bertanya lagi karena Ariel cuma diam. "Soal ada yang bakal kena sial atau nyawa melayang. Lo nggak mungkin kan, nulis hal-hal serem kayak gitu kalau nggak ada sebabnya? Apa sesuatu pernah terjadi sama cowok yang bilang suka sama lo?"
Ariel tertegun. Mendadak sikapnya seperti orang yang sedang dipojokkan. Rautnya juga tampak berubah. Tak heran Giga jadi semakin penasaran.
"Dari kabar yang beredar, gue sering denger lo selalu menghindari cowok yang mau deketin lo. Lo jauhin mereka-mereka yang ketahuan suka sama lo. Sori, bukannya gue mau ikut campur atau pengen ganggu privasi orang, tapi mau nggak mau gue jadi harus ikut penasaran, kenapa lo bisa kayak gitu. Soalnya gue tahu banget kalau lo ini normal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Teen Fiction(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...