Suara-suara itu membuat kepala Ariel seperti berputar-putar. Ia paling tidak tahan mendengar adanya kecelakaan. Ia tidak bisa berada di lokasi kecelakaan. Kata ketabrak membuat traumanya akan Denis seolah-olah dimunculkan ulang. Ariel pusing, perutnya pun mendadak terasa mual.
"Ya ampun, kasihan sekali." Seorang wanita muda berkata sambil mundur kembali dari tepi jalan.
Ariel melihat berpuluh-puluh orang berlarian menuju tempat kejadian. Seruan-seruan panik dan berbagai gumaman berdengung di telinganya. Keringat dingin bahkan telah bermunculan di pelipis dan sela-sela rambutnya. Bayangan akan Denis tergeletak di pinggir jalan terpampang jelas di ingatan.
Ariel yang sudah bangkit dari bangku bawah payung berusaha mencari pegangan. Pandangannya semakin kebingungan. Ia hampir-hampir ambruk diterpa keramaian orang.
"Giga," sebut Ariel seperti bisikan. Sejenak ia berjongkok, tak peduli biarpun sempat tertabrak kaki orang. Ia harus pergi menjauh dari tempatnya sekarang. Ia tak mau melihat adanya kecelakaan.
"Giga, lo di mana?" Ariel berusaha berdiri lagi sambil mengedarkan pandangan. Giga pasti kesulitan menemukannya kalau keadaan begini kacau. Ariel jongkok lagi karena gemetaran. Segera ia membuka tas lalu mengambil ponsel.
Belum sampai telpon Ariel tersambung pada kontak Giga, tiba-tiba cewek yang tadi duduk satu payung dengannya berlari menghampiri. Sebelumnya Ariel sempat melihat cewek itu dan cowok yang bersamanya ikut menghambur ke jalan saat mendengar ada yang tertabrak.
"Mbak!" seru anak itu dengan wajah pucat. "Teman Mbak..." ucapnya tersendat-sendat karena kehabisan napas. "Teman Mbak kecelakaan!"
Ariel mendongak dengan mulut setengah terbuka. Tadinya ia mau bersuara, tapi tak ada yang keluar sedikitpun dari celah bibirnya.
"Tadi saya lihat, Mbak datang sama cowok pakai baju putih. Itu benar, kan?"
Ariel memandang cewek yang ditaksir sebaya dengannya itu dengan jantung menghentak-hentak. "A-apa?" sahutnya gagap.
"Teman Mbak kecelakaan. Yang barusan ketabrak itu..."
"Nggak!" potong Ariel, hampir seperti membentak. "Nggak mungkin. Nggak ada teman saya yang ketabrak."
Sesaat cewek itu menoleh ke samping, tampak tak enak. Namun ia tak juga meninggalkan Ariel. Agaknya ia yakin dengan apa yang menjadi pendapatnya.
"Teman saya habis beli minuman. Saya akan susul dia sekarang." Dengan melawan segala rasa yang menyiksa akhirnya Ariel kembali bangkit. "Itu bukan Giga," ucapnya pelan, tak menghiraukan sorot gelisah dari cewek di hadapannya.
Disertai langkah berat yang seperti diseret-seret Ariel memaksakan diri berjalan menuju jalan raya. Jantungnya berdegup kencang waktu ia mendekati keributan. Ariel meneguk ludah yang terasa pahit. Bau anyir darah dan kerumunan orang membuatnya menggigil ketakutan. Baik kaki maupun kedua tangannya telah gemetaran. Suasana di sekelilingnya benar-benar mirip dengan kejadian sore itu di depan gerbang SMPnya.
"Apa sudah ada yang memanggil polisi?" Seorang bapak-bapak penjual es buah bertanya pada orang di sebelahnya.
"Sudah. Kebetulan ada polisi yang memang lagi jaga di sini," jawab orang itu. "Harusnya ambulans juga sudah datang. Depan situ kan ada rumah sakit. Kasihan anak itu."
"Apa dia masih bernapas?" Seorang anak kecil berkata ngeri saat Ariel melewati. Namun tak ada yang menjawab sama sekali.
Kerumunan itu pelan-pelan memudar saat suara sirene ambulans datang meski masih dari kejauhan. Ariel yang telah berdiri di lokasi kecelakaan terpaku. Dirinya tengah menyaksikan sosok dalam posisi tengkurap terbujur di jalan dekat garis zebra, menyebabkan kemacetan. Sosok itu memakai pakaian putih yang sebagian besar kainnya telah menjadi merah karena darah. Meski begitu, Ariel masih bisa mengenali pakaian tersebut sebelumnya dikenakan siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Fiksi Remaja(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...