Hari yang cerah, tapi tidak dengan hati Ariel. Semenjak pagi setibanya di sekolah, ia tak beranjak sedikitpun dari bangku kelas. Wajahnya yang selalu datar bahkan terlihat suram kali ini.
"Riel, ngantin nggak nih?" Pada istirahat pertama, Rubby dan teman-teman mengajak Ariel keluar. Jika Maya tidak datang ke kelas, Ariel memang biasa bergabung dengan mereka.
"Gue bawa bekal dari rumah." Namun kali ini Ariel menolak. "Nenek gue bawain," ujarnya sembari mengeluarkan kotak makan dari ransel.
"Riel, titip minuman nggak? Gue sama temen-temen mau ke kantin, lho." Pada istirahat kedua, Rubby dan yang lain coba mengajak lagi.
"Gue udah bawa minuman sendiri. Nenek gue yang nyiapin." Dan lagi-lagi ajakan itu ditolak. Sebuah botol minuman warna ungu sengaja Ariel letakkan di atas meja supaya mereka melihatnya.
"Beneran heran gue sama Ariel. Apa-apa bawa bekal dari rumah. Sampai air putih aja dimasukin botol," ujar Rubby sesampainya di kantin.
"Mungkin dia lagi nggak mau uangnya berkurang. Hematnya dia kan kadang kelewatan," sahut seorang anak. "Bisa-bisanya bawa bekal sekomplit itu. Kayak orang susah aja."
"Siapa tahu neneknya Ariel sangat protektif." Anak lain berpendapat. "Bisa aja Ariel dibawain bekal biar nggak jajan makanan dan minuman sembarangan. Keluarga kaya kan biasanya gitu, apa-apa harus serba steril."
"Masuk akal sih," Rubby menanggapi. "Sayangnya itu nggak setiap hari. Yang jelas gue rasa Ariel lagi bad mood hari ini. Kelihatan banget dari rautnya."
"Ah, perasaan lagi seneng apa lagi bad mood muka Ariel gitu-gitu aja. Nggak ada perubahan yang kentara," komentar salah satu anak tadi.
"Nggak juga ah," timpal Rubby. "Kalau lagi kesel atau bete, biasanya Ariel nggak mau natap siapapun yang ngajak bicara. Dari pengalaman gue selama duduk di depannya sih gitu."
Giga yang tak sengaja mendengar percakapan Rubby dan kawan-kawan di kantin termenung. Mengetahui keadaan terbaru Ariel ia jadi tergoda untuk main ke kelasnya. Lagipula jam istirahat kedua baru lima menit berlalu. Kelas mereka juga bertetangga.
"Ngapain lo ke sini?" Kenji menyapa waktu melihat Giga masuk ke kelas 10 IPS 3. Meskipun tidak akrab, tapi dulu ia dan Giga bersekolah di SMP yang sama.
"Mau nyamperin orang," jawab Giga sambil mencari-cari meja yang dihuni Ariel.
"Lo punya gebetan anak kelas gue apa?" tanya Kenji heran.
"Gue bilang nyari orang, sob. Bukan gebetan." Giga menepuk pundak Kenji lalu menghampiri di mana sosok yang ia cari duduk seorang diri.
"Ehem!" deham Giga keras sebagai basa-basi. "Gue denger lo lagi bete hari ini," ujarnya sambil menyeret bangku terdekat ke depan meja cewek itu.
Ariel yang baru saja melamun serta merta melirik cowok yang tiba-tiba telah duduk di hadapannya. Tahu orang itu Giga, sorot muak langsung terpancar dari matanya.
"Hai," Giga tak ambil pusing atas ekspresi Ariel dan malah nyengir. "Iya, gue tahu lo lagi kesel sama gue. Lo marah. Lo sebel. Lo benci. Gue ngerti," ucapnya dengan suara kalem.
"Gue datang ke sini buat minta maaf," lanjut cowok itu . "Gue bener-bener nggak nyangka kalau sikap gue kemarin bakal bikin lo bete seharian begini. Niat gue kan cuma bercanda."
"Lo tahu nggak sih, kata-kata lo soal orang asing itu nyantel banget di otak gue." Kembali Giga berujar meski Ariel cuma diam. "Nggak tahu kenapa, sejak hari itu gue jadi terobsesi pengen balikin kata-katanya buat lo. Penasaran aja reaksi lo bakal gimana kalau orang lain ngomong kayak gitu." Ia nyengir lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Novela Juvenil(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...