"Hm... Di mana tempat yang cocok?" gumamku sambil menggaruk janggut. "Kalau bisa harganya juga terjangkau."
Baru saja aku berpisah dari mama selepas mengantar mereka ke taman bermain plaza untuk mencari sebuah kafe. Sementara mama menjaga cucu-cucunya bermain, aku akan bekerja. Soalnya aku sedang kejar target. Boleh saja aku jadi supir pribadi di hari Minggu yang cerah ini, tapi waktu menunggui mereka tetap bakal kumanfaatkan sebaik mungkin.
Kepalaku melirik ke kiri kanan kala menuruni eskalator. Setiap turunan esklator mengumandangkan berbagai toko plaza dengan aneka pernak pernik mereka. Ada toko penjual makanan ringan, penjual kerangka ponsel, aksesoris, restauran, supermarket, dan lain-lain sebagainya. Yang kutuju adalah kafe kopi atau jajanan ringan karena aku sudah makan siang, namun belum ketemu yang pas. Rata-rata kurang ramah pada dompet, belum lagi cuma bisa makan sebentar sebelum diusir terang-terangan atau disuruh memesan lagi. Wajar. Plaza di hari Minggu amat ramai. Semuanya mau cari untung secara maksimal walau kadang metode mereka kasar.
"Bang, apakah ada kafe es krim sekitar sini?" tanyaku ke seorang satpam. "Yang maskotnya sebuah bola salju."
"Tentu." Bang satpam berjenggot lebat menunjuk ke ujung plaza. "Pas mentok, belok kanan.
Nanti ketemu tempatnya."
Aku menunduk pelan. "Makasih, Mas."
"Sama-sama."
Penuh semangat aku mengikuti arahan satpam. Selama perjalanan aku menemukan berbagai macam orang dengan beragam busana baik laki-laki maupun perempuan sampai anak-anak. Mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Dipikir-pikir, penampilanku agak norak. Aku memandang ke bawah mendapati diriku memakai kaos oblong super ketat yang membaluti badan kekarku diikuti celana pendek bermotif batik sambil merangkul sebuah ransel besar di belakang punggung. Lebih mirip orang binaraga atau tentara pikirku. Tidak sedikit para perempuan melirik ke arahku lalu memalingkan wajah merah merona saat kubalas dengam sebuah senyum.
Aku menggeleng kepala. "Aduh, ramai sekali."
Kafe es krim tujuanku disesaki puluhan keluarga. Para ibu dan bapak menduduki semua kursi diiringi jeritan atau tangis anak-anak mereka yang sangat memekakkan telinga. Biarpun bisa duduk, aku pasti ngak bisa konsentrasi. Terakhir aku memalingkan pandangan ke arah lain.
"Ah," seruku saat menemukan sebuah kafe berlogo sebuah donut putih sedang dicelupkan ke dalam kopi hitam. Tempatnya lumayan sepi. "Walau sedikit mahal, harusnya ada stok kontak."
Tas belakangku isinya seperangkat alat elektronik. Terdiri dari laptop, alat cas, mouse, keyboard, dan lain-lain. Pekerjaanku menuntut mempunyai komputer dengan koneksi internet sehingga kafe satu ini terbilang cocok. Untuk memastikan adanya tempat stok kontak, aku mensurvei kafenya terlebih dahulu. Suhunya lebih adem oleh tambahan AC dibarengi meja-meja kayu artistik yang disinari puluhan lampu sehingga tampak elegan. Aku suka kafe semacam ini, sayangnya, semua tempat duduk berfasilitas stok kontak sudah diduduki orang. Kayaknya aku perlu cari tempat lain lagi.
"Untuk berapa orang yah, Bang?"
Aku menoleh ke samping. Seorang perempuan bercelemek cokelat di atas kaos putih lengan panjang menyapaku ramah. Seorang pelayan kafe.
"Satu orang." Aku menghela napas. "Hanya tempat duduk berstok kontak sudah ngak ada."
Pelayan tersebut memindai sekelilingnya. Orang-orang pada duduk di dekat dinding sambil tertawa riang menikmati makanan maupun minuman dengan kabel-kabel putih terjulur panjang dari ponsel atau laptop ke stok kontak masing-masing. Dia mengangguk pelan tanda setuju.
"Tak apa, Bang. Ke meja itu saja."
Dahiku mengernyit mengikuti arah telunjuk jarinya. Ke sebuah meja bundar kosong yang dihimpit empat kursi di area tengah kafe tanpa terlihat adanya stok kontak satupun. Pelayan ini mencoba membohongiku atau mataku yang salah lihat. Aku tidak tahu.
"Di mana stok kontaknya?"
"Mari kutunjukkan." Pelayan tersebut menghampiri meja tadi dan perlahan berjongkok. Setelah mengeser sebuah kursi, jari jemarinya merabaki lantai dan menarik keluar sebuah kerangka plastik putih persegi sampai sebuah stok kontak muncul. "Ini stok kontak lantai, Bang."
Sontak aku melihat semua lantai meja yang ada. Rupanya masing-masing difasilitasi stok kontak tanah tersebut, hanya tidak semuanya tertarik keluar. Banyak masih tertutup seperti stok kontak meja ini yang baru ditarik keluar oleh si pelayan. Sungguh unik."Terima kasih." Aku menduduki kursiku. "Tolong menunya. Aku mau pesan kopi.
"Ok, Bang."
Jika pelayan tadi tidak membantuku, tentu aku sudah pergi ke kafe lain. Jarang-jarang ada pelayanan sedetail ini hanya untuk membujuk seorang pelanggan kalau bukan si pemiliknya langsung. Berarti kafe ini bagus. Pemilik ataupun para manajer telah melatih lebih karyawannya demi memenuhi kebutuhan para pelanggan. Kalau saja semua tempat seperti ini, kalau saja. Aku hanya tersenyum kecil sambil membuka laptopku.
Pelayanan yang baik akan membuat si pelanggan terbantu dan puas
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...