*
Karena kupikir aku sudah tau segalanya. Nyatanya, aku masih tidak tau apa-apa.
*
Kayla menatap sekelilingnya dengan gusar. Melirik ke arah jam dinding berkali-kali. Sudah lewat lima belas menit setelah Airlangga pergi dari sini bersama yang lain. Dan dia belum mendapat kabar sama sekali mengenai keadaan Airlangga.
"Gak usah takut" Rio menarik seulas senyum. Menaruh aqua gelas di depan Kayla, "Minum aja. Gak ada racunnya kok, sumpah."
Kepalanya mengangguk. Meminum air mineral itu hingga habis lantaran sejak tadi kerongkongannya terasa kering.
"Baru kali ini gue liat bos bawa cewek kesini"
"Maaf?"
Rio nyengir lebar. Menaikkan kedua kakinya ke atas sofa dan duduk bersila, "Sori kalo gue gak sopan. Tapi gue nyaman duduk kek gini"
Kayla hanya mengiyakan. Toh, dia hanyalah tamu asing disini.
"Oiya, nama gue Rio"
Cowok itu mengulurkan tangan. Segera di sambut Kayla hangat, "Kayla"
"Kelas 11?" tanyanya.
Kayla mengangguk.
Rio ber-oh kecil. Lantas menatap ponsel sebentar. Mengecek apakah ada panggilan atau tidak karena dia diminta tetap disini menemani Kayla.
"Kalian.. beneran Rawaja ya?" Kayla menatap ragu. Menyesal bertanya seperti itu.
"Iya, kita Rawaja"
"Dan Airlangga-"
"Dia ketua kami"
Seketika Kayla bungkam.
Mampus sudah hidupnya.
Rio tertawa melihat ekspresi Kayla. Kenapa semua yang dilihatnya selalu takut tiap kali mendengar nama Rawaja? Padahal Rawaja tidak akan menyakiti mereka.
"Berarti yang di depan itu beneran-" Suaranya tertahan di kerongkongan.
Demi apapun juga... kenapa hidupnya bisa terjebak seperti ini?
"Udah gue bilang gak usah takut. Selagi ada Airlangga, lo aman"
Kayla ingin membuka suara tidak mengerti. Tapi suara ketukan pintu di depan membuatnya batal.
"Bos udah ngirim pesan. Gue di suruh bawa lo keluar lewat jalan belakang"
*
Berkali-kali Kayla menoleh ke belakang. Merasa asing dengan tempat ini karena dia tidak pernah lewat sini sebelumnya.
"Kalo lewat sini bisa tembus ke gang II di depan, deket mini market"
Dua tahun menjejaki daerah sini, Kayla baru tau hal ini. Benar saja, ketika tiba di depan, sebuah mini market samping sekolah menyambutnya.
"Gue bantuin lo masuk lewat pura"
Letak minimarket yang satu tembok dengan pembatas pura di sekolahnya membuatnya mudah untuk masuk. Di tambah Rio membantunya.
"Terus kamu gimana" Dia menatap Rio cemas.
Cowok itu menggeleng, "Gue mau nyusul mereka" Menunjuk dimana gerombolan Bramastra dan Rawaja masih beradu kekuatan.
Kayla bergidik ngeri. Cepat-cepat turun darisana dan berlari menuju ruang teater.
Beberapa anggota osis dan senior yang masih ada di sekolah menonton dari balik jendela kelas. Tidak berani keluar sampai kepala sekolah dan pemimpin kesiswaan keluar dan melerai, barulah mereka di ringkus menjadi satu.
"Kayla!"
Freya memeluk Kayla erat, "Gue kira lo kejebak di depan"
"Enggak. Tadi Kay di tolong sama anak itu"
"Siapapun itu yang pentin lo masih ada disini" leganya melihat Kayla baik-baik saja.
Mereka menepi memberikan jalan untuk Bramastra dan Rawaja yang tertahan. Bahkan ada yang mengambil gambar mereka diam-diam tanpa berani mempostingnya di sosial media. Bisa-bisa besoknya mereka yang dijadikan sasaran Bramastra.
"Damar"
Menoleh cepat Kayla menemukan Damar berdiri di atas tangga. Keempat kawannya mengikuti. Menepuk pundak cowok itu dengan seulas senyum tipis.
Kayla ingin menyapa saat Damar turun dan melewatinya. Tapi baru kali ini dia melihat tatapan benci dan kemarahan meluap menjadi satu di mata tenang milik Damar.
Sebenarnya, ada hal apa yang tidak Kayla ketahui tentang cowok itu?
**
"Sudah berapa kali bunda bilang, jangan pernah ikut perkumpulan itu lagi!"
Sejak tadi Airlangga hanya diam. Membiarkan bunda Rea mengeluarkan seluruh amarahnya. Memang dia yang salah karena tidak menurut. Tapi, ada alasan tersendiri mengapa Airlangga mau menjabat sebagai ketua Rawaja, menggantikan ketua sebelumnya yang-
Tidak bertanggung jawab sama sekali.
"Apa manfaat yang kamu dapat sekarang? Dipandang jagoan sama semua orang, iya?!"
Rea memijit pelipisnya pelan. Lelah menasihati putranya itu.
"Maaf, Arlang gak maksud gitu"
"Memang bunda bukan ibu kandung kamu."
Airlangga bungkam. Merasa menyesal tiap kali mendengar bundanya berkata demikian.
"Tapi bunda mau masa depan kamu cerah. Mana ada seorang ibu yang mau masa depan anaknya hancur"
Namun lagi-lagi Airlangga tau, dia tidak bisa tetap berada di tempat. Ada hal yang lebih penting, yang harus membuatnya berjalan ke arah berlawanan. Lagi-lagi dia harus melawan.
"Bun, adek kayak gitu karena mereka salah"
"Dek" Rea memotong, "Salah atau benar, itu tidak penting"
Airlangga hanya bisa menghela napas, memilih untuk tidak menjawab dan menatap Rea yang kini menatapnya tenang.
"Mengalah bukan berarti kita kalah. Kalau tidak ada yang mau menahan ego mereka untuk minta maaf, kapan masalahnya akan selesai?" Rea mengusap punggung tangan putranya, "Janji ya sama bunda. Adek jangan main pukul-pukulan lagi"
Airlangga diam sesaat, menatap pandangan bunda yang penuh harap, "Iya bun" jawabnya. Meski berat, Airlangga tahu dia harus melakukan ini. Berbohong dengan bundanya, adalah hal paling menyesakkan yang terpaksa Airlangga lakukan.
**
Sejauh ini gimana?
BelindAbl | Revisi - 1 Maret 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior Junior [SELESAI]
Fiksi Remaja#Revisi 1 Maret 2019 "Harusnya aku tidak pernah datang. Tidak pernah mencoba untuk menerobos masuk. Mengenalmu, adalah kesalahan terbesar yang seharusnya tidak pernah kulakukan"