Elsa tersenyum manis ketika semua hasil masakannya selesai di susun rapi di atas meja. Mata cokelatnya beralih menatap ke arah Adam yang masih sibuk terlelap. Perlahan Elsa melepaskan celemeknya. Berjalan ke arah di mana Adam tidur.
Elsa sama sekali tak berniat membangunkan laki-laki tampan itu. Elsa memilih duduk di atas permadani yang di gunakan untuk menjadi alas meja kaca di tengah-tengah sofa. Elsa tersenyum tipis, melipat kedua tangannya di atas meja dan menopang dagu di atas lipatan tangan itu.
Elsa tersenyum sangat manis ketika wajah damai Adam bisa ia nikmati dengan leluasa seperti ini. Laki-laki di hadapannya itu memang sangat tampan. Hampir semua lekukan wajahnya tergambar sempurna. Elsa meraih ponselnya yang sejak tadi berada di dalam saku. Menyalakan kamera dan sekali tekan foto wajah Adam sudah menjadi salah satu koleksi di dalam galeri foto Elsa.
Merasa nyaman memandangi Adam yang tertidur pulas saat ini. Elsa sesekali terperanjat ketika Adam menggeliat atau pun merubah posisi kepalanya. Elsa hanya takut jika Adam terbangun dan menanyakan maksudnya memandangi laki-laki itu.
Tapi, senyuman Elsa kembali mengembang saat Adam kembali tak bergerak. Hanya napasnya yang teratur.
Terkadang Elsa merasa ingin menjadi Shiren. Ada di posisi Shiren. Mendapat kasih sayang penuh dari Adam. Di cintai laki-laki berwajah malaikat seperti Adam. Bahkan laki-laki itu selalu memberikan yang terbaik dari yang terbaik untuk Shiren.
Elsa memang baru mengakui jika ia mencintai Adam. Tapi, sebenarnya sejak dua bulan setelah ia di nikahi Adam. Elsa mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan aneh selalu muncul ketika berhadapan dengan Adam. Dan Elsa baru benar-benar mengakuinya saat Bunda Rika memeluknya di pantai beberapa bulan yang lalu.
Elsa terus memandangi Adam sampai ia merasa puas. Rasanya ingin memandangi laki-laki itu selamanya. Saat Adam tertidur, Elsa tidak melihat tatapan tak suka Adam pada Elsa, ekspresi wajah datar milik Adam tampak lenyap begitu saja ketika laki-laki itu memejamkan matanya dan merangkai mimpi sesuka hatinya.
-ourdestiny-
Tiara terdiam menatap foto Elsa yang terpajang sangat rapi di rumah Raka. Tiara sudah mengetahui semuanya. Semua perasaan tentang Raka pada Elsa yang bahkan sampai saat ini menyimpan perasaan terlarangnya untuk Elsa.
"Kenapa Raka harus suka sama kamu? Adiknya sendiri? Bahkan Raka sampai sekarang cuma nganggep aku gak lebih dari sahabat. Aku iri sama kamu. Di cintai kakak yang baik hati kayak Raka. Raka laki-laki terbaik yang aku kenal, dia bertanggung jawab meskipun kesalahan yang ia buat itu sangat kecil. Tapi kenapa perempuan beruntung itu harus kamu? Adiknya sendiri? Kenapa bukan, Aku?" lirih Tiara.
Raka tak ada di sini, laki-laki bermata sipit itu tengah bersiap di kamarnya. Tiara hanya di minta menunggu di sini. Sebenarnya, Tiara sedikit bahagia malam ini. Raka kembali mengajaknya makan malam. Dan seingat Tiara ini adalah kali pertama Raka membawanya ketika hari sudah gelap.
"Ara?"
Tiara menyingkap poninya yang sedikit turun dan segera memutar tubuhnya. Menatap Raka yang kini sudah rapi dengan setelan kemeja kotak-kotak merah yang berpadu dengan garis hitam dan juga celana jeans.
"Kita berangkat sekarang ya? Kita jalan cuma sampai jam delapan. Aku gak mau kamu ada di luar kos lebih malam dari itu." ucap Raka.
Tiara terdiam sejenak. Merasa beruntung mengenal sosok Raka yang begitu melindungi seorang perempuan. Menurut Tiara sosok seperti Raka sangat sulit di temukan di tengah maraknya budaya berat yang saat ini tengah mempengaruhi anak-anak remaja dan dewasa indonesia.
Tiara mengangguk. Melangkah mendekat ke arah Raka dan laki-laki itu meraih tangan Tiara. Membawa gadis itu pergi bersamanya. Menghabiskan waktu bersamanya. Yah walaupun hanya sampai jam delapan malam.
-ourdestiny-
Adam merasa terusik dengan bunyi telepon rumah yang terus berdering. Dalam hati ia mengumpat Elsa yang tak segera mengangkat telepon itu dan menghentikan Suara dering menyebalkan itu. Adam mengerjapkan matanya beberapa kali. Mendapati seluruh ruangan rumah ini gelap total. Hanya cahaya dari luar yang terlihat berusaha mengusir gelap.
"ELSA!" Adam berteriak. Berharap Elsa mendengarnya dan segera menyalakan lampu.
"WOY CEMPRENG! NYALAIN LAMPUNYA!" Adam kembali berteriak.
Tapi tetap saja tak ada respon. Adam mengacak rambutnya kesal. Menyibak selimut yang sejak tadi melindunginya dari hawa dingin. Adam bahkan tak peduli siapa yang memberinya selimut. Adam melangkah menuju telepon yang terus berdering dan membuatnya kesal.
"Hallo?"
'...'
"Maaf salah sambung!"
Adam segera menutup telepon itu dengan kesal. Pasalnya seseorang di seberang sana bertanya mengenai tempat makan. Adam melangkah dengan kesal menuju saklar lampu sembari mengumpat Elsa yang saat ini sepertinya tak ada di rumah.
Adam sempat melirik keluar kaca jendela yang basah. Adam bisa menebak jika tadi sempat terjadi hujan lebat. Itu terlihat dari pohon-pohon yang hampir semua batang dan daunnya kini merunduk ke bawah.
Adam segera menekan saklar lampu di hadapannya. Menatap keadaan sekitar yang terlihat rapi. Adam lalu menatap meja makan yang sampai saat ini masih rapi dengan berbagai makanan yang tersusun rapi di sana.
"Elsa? Elsa? Lo dimana sih?" Adam mencoba memanggil Elsa dengan nada sedikit lembut.
Tapi gadis itu tetap tak muncul. Adam berdecak kesal. Melangkah menuju meja makan. Tapi langkahnya tiba-tiba melambat saat Adam melihat ada tetesan darah di lantai. Tetesan itu berurutan dan menuju ke dapur.
"Elsa? Cempreng?" Adam kembali memanggil Elsa. Setahu Adam, rumah ini tidak horor. Tapi kenapa Adam menjadi sedikit takut?
Adam segera mempercepat langkahnya menuju dapur. Adam sempat mengalihkan pandangannya ke beberapa arah saat sampai di dapur. Tapi tatapan Adam saat ini terhenti. Adam terfokus pada seorang gadis yang kini tergeletak di dekat wastafel.
"ELSA?!"
Bersambung...
Vote dan komen,
Follow;
rtarisa_
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny
Fiksi Remaja'INI TAKDIR KITA. KITA YANG DISATUKAN OLEH HAL KONYOL, DAN KITA YANG DI PISAHKAN OLEH HAL YANG SUNGGUH MENYAKITKAN' Sebuah cerita yang berawal dari sebuah kekonyolan dan salah paham. Cerita itu berlanjut dengan tidak serius. Tapi, kisah ini berakhir...