Part 48, Sebuah Keputusan

832 49 4
                                    


Esoknya...

Karena kondisi Jingga yang tidak terlalu buruk, maka keesokan harinya Jingga sudah di ijinkan untuk kembali ke rumah.

Beberapa orang meluangkan waktu untuk menjemputnya di rumah sakit, di antaranya ada Aryo-Papa Jingga, Jemmy, Syelon, Dafira dan juga Bintang. Sedangkan Tia dan Rena tidak bisa ikut hadir sekedar menjenguk Jingga karena mereka sedang ada kunjungan study di luar kota.

Jingga berjalan agak tertatih di bantu Dafira, di luar gedung sudah menunggu Fajar yang pagi itu juga ikut hadir bersama Dafira. Fajar sendiri terkejut mendapati kabar tentang Jingga, dan mengetahui sebegitu putus asa nya Jingga setelah kehilangan Senja, padahal ini sudah berjalan satu bulan sejak berita kepergian Senja untuk selamanya.

Fajar menyapa Jingga seadanya, lalu membukakan pintu mobil untuk Jingga yang duduk di kursi penumpang bersama Syelon dan juga Jemmy. Sedangkan Dafira duduk di samping Fajar yang mengemudi.

Di sisi lain, Aryo dan Bintang mengendarai mobilnya masing-masing. Mengekor di belakang mobil Fajar.

Fajar mengemudikan mobilnya dengan tenang. Sesekali dia menoleh ke arah Jingga melalui spion di atas kepalanya.

"Gue tau banget kaya gimana Senja, Ngga, dia sayang banget sama lo. Dan dia engga akan suka ngeliat cewek yang di cintainya jadi selemah ini." Ucap Fajar tiba-tiba.

Jingga sedikit tersentak, dia melirik ke arah spion di atas kepala Fajar, menadapati pria itu juga telah menatapnya.

"Iya Kak, aku juga tau itu. Dan aku engga tau kenapa kemarin aku bener bener lepas kontrol. Yang ada di kepalaku saat itu, cuma supaya aku bisa ketemu Kak Senja lagi." Jawab Jingga terdengar putus asa.

Hampir semua orang yang ada di dalam mobil menghela nafas pelan. Mereka semua tau bagaimana beratnya ada di posisi Jingga.

"Gue ngerti, mungkin kalau gue yang ada di posisi lo juga akan sama. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Dafira, mungkin gue juga akan berpikir buat mati aja. Tapi di sisi lainnya, kita hidup juga bukan untuk satu orang kan?" Kata Fajar lagi.

Dan tepat sasaran. Jingga tergoyahkan. Dia memejamkan matanya sebentar, lalu menarik nafas pelan.

"Aku akan coba melupakan semuanya. Kak Senja harus tenang disana, aku engga mau cuma karena aku yang kaya gini justru memberatkan langkah Kak Senja untuk pergi." Ucap Jingga berusaha tegar, namun masih terdengar keraguan dari dalam dirinya.

Terlihat Fajar tersenyum tipis, lalu mengangguk. Yang lainnya pun sama, mereka berharap agar Jingga benar-benar bisa merelakan Senja sepenuhnya dan membuka lembaran baru daripada harus berlarut-larut dengan segala kenangan nya bersama Senja.

****

Jingga sedang duduk di taman, memangku laptopnya saat seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya.

Jingga menoleh, mendapati Bintang yang tersenyum tulus ke arahnya. Entah, sejak tadi pagi mengantar Jingga pulang, Bintang tidak beranjak juga dari rumahnya. Bahkan saat semua teman-teman nya pamit pulang dan Jingga yang pergi untuk tidur siang pun, Bintang lebih memilih untuk tetap disana dan berbincang dengan Jemmy maupun Aryo.

Jingga balas tersenyum, lalu kembali sibuk dengan tugas kuliahnya. Niatnya untuk melepas Senja benar-benar dia realisasikan, dengan langkah awal memberanikan diri membuka lagi laptopnya. Salah satu media yang menyimpan banyak sekali segala sesuatu tentang dia dan Senja.

"Ada yang bisa aku bantu Jingga?" Tanya Bintang membuka suara.

Jingga menoleh, lalu menggeleng pelan.

"Sejauh ini aku masih bisa ngerjain sendiri kok kak. Makasih ya." Jawab Jingga.

Bintang mengangguk, dia menyadari ada situasi canggung di antara dirinya dan Jingga. Bagaimana pun status nya sebagai kakak dari Senja tidak bisa terelakkan.

"Aku boleh minta tolong?" Tanya Bintang lagi.

Jingga menaikan alisnya, lalu mengangguk ragu.

"Tolong apa kak?"

Bintang berdehem pelan, lalu menatap lurus ke arah depan.

"Tolong jangan bangun batasan apapun di antara kita, Jingga. Jangan buat pertahanan apapun, supaya aku engga sulit untuk mulai berjuang lagi." Katanya hampir terdengar seperti gumaman.

Tapi Jingga mendengarnya dengan jelas. Jingga menatap ke arah Bintang, melihat senyum di wajah pria itu. Wajah yang hampir mirip dengan wajah pria yang di cintai nya setengah mati. Dan senyum itu, juga senyum yang nyaris sama. Tapi kenapa hati nya tidak berdebar? Kenapa jantungnya tidak berulah seperti saat dia berada di dekat Senja dulu? Apa yang salah? Bintang dan Senja mungkin sama-sama memiliki perasaan kepadanya yang sama besar. Tapi kenapa dia tidak bisa jatuh cinta juga kepada Bintang seperti dia jatuh cinta pada Senja? Bukankan Bintang juga sama baiknya?

Oh Hati... Mengapa kau begitu rumit dan sulit di mengerti?

"Aku engga akan pernah maksa kamu untuk membalas perasaan aku sama besarnya. hanya meminta kamu menerima saja, tanpa harus kamu balas." Kata Bintang lagi, merenggut paksa kesadaran Jingga dari lamunannya.

Sedikit sisi hati Jingga terenyuh, betapa tulus pria ini kepadanya. Bahkan saat dia sudah sempurna seperti sekarang, pilihannya tetaplah Jingga.

"Aku...aku..aku takut engga bisa kak. Takut hanya nyakitin kakak." Ucap Jingga lirih.

Bintang mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah Jingga sepenuhnya. Dengan sedikit keberanian, dia meraih tangan Jingga dan menggenggam nya pelan.

"Anggap aku sebagai pria yang mencintai kamu, bukan kakak dari kekasihmu.. Tolong." Ujarnya penuh harap.

Jingga menggigit bibir bawahnya, berusaha meredam perasaannya yang bergejolak.

Dia bingung, sungguh! Satu sisi, dia ingin berkata YA dan memberikan lelaki baik ini kesempatan. Tapi di sisi lain, hatinya berkata bahwa dia mengkhianati Senja jika sampai menerima Bintang menggantikannya.

"Aku engga akan pernah berani maju kalau Senja memang masih ada, bagaimana pun juga aku menyayangi nya lebih dari aku menyayangimu Jingga. Tapi saat ini, dia sudah tenang di alam sana. Dan aku mau, kita sama-sama bangkit dan membiarkan Senja melangkah dengan ringan. Tanpa beban lagi." Kata Bintang lebih meyakinkan.

Jingga terdiam. Hangatnya tangan Bintang berhasil membuatnya sedikit lebih tenang, seakan-akan dia sudah menemukan pegangan sehingga dia merasa bisa berjalan lagi. Tidak lagi terseok dan tertatih.

Helaan demi helaan nafas, Jingga ambil guna menetralkan pikirannya, dia butuh oksigen lebih banyak untuk mengurangi sesak di rongga dadanya. Sekali lagi, dia menarik nafas dengan dalam hingga matanya terpejam.

Dan saat membuka mata, dia telah mengambil keputusan dan dengan sekali tarikan nafas dia mengatakan..

"Ayo kita mulai semuanya bersama-sama."

******












SENJA DAN JINGGA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang