Jingga memilih untuk berdiam diri di kamarnya, dia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Baginya, semakin sering menangis maka akan semakin sakit juga luka yang dia rasakan.
Jingga masih berpikir positif di tengah kesakitan hatinya, bahwa Senja tidak benar-benar ingin melukai nya. Pasti ada hal yang membuat Senja-nya berubah secepat kilat. Ya, Jingga hanya meyakini itu sebagai obat sakit hati nya.
Langit mulai gelap, bukan karena malam tapi mendung yang datang. Jam menunjukan pukul 5.30 menit dimana seharusnya Senja sudah terbentang di langit sana. Hah! Jingga tersenyum miris, bahkan hari ini Senja pun tidak ingin menghiasi langit. Dan mendung yang mewakili nya.
Sebegitu tidak ingin kah kamu untuk aku lihat? Pikiran konyol itu muncul begitu saja di kepala Jingga. Seakan memang Tuhan sudah menggariskan, bahwa Senja tidak akan lagi ada di cerita hidupnya. Mungkin bagian Senja di hidup Jingga hanya sampai disini.
Jingga beranjak menuju lemari, dia menarik laci paling bawah dan mengambil sebuah buku yang sudah sangat usang dan berdebu.
Tiupan pelan Jingga berhasil mengikis sebagain debu yang menebal di atas sampulnya, perlahan Jingga membuka dan tersenyum melihat apa yang ada di halaman pertama. Fotonya bersama Papa dan Mamanya juga Jemmy dulu, saat semua nya masih baik-baik saja.
Jingga menekuri setiap lekuk wajah Mama nya di foto itu. Begitu cantik dan keibuan, sungguh bodoh Papanya berpaling dan menyakiti Mamanya hanya karena orang asing. Mata Jingga terpejam, mengingat saat di awal perkenalan nya dengan Senja dia bahkan dengan mudah menceritakan tentang keluarganya. Mau bagaimana lagi, Senja begitu nyaman dan bisa di percaya.
"Bodoh.. " Gumam Jingga. Tanganya memegang dada yang mulai merasa sesak hanya karena mengingat nya sedikit saja.
Beberapa kali Jingga mengerjapkan matanya dan menarik nafas pelan saat terdengar bunyi bel rumah nya di tekan.
Jingga merapikan penampilannya dan bergegas keluar, dia yakin bukan kakaknya yang datang. Karena kalau memang kakaknya, dia pasti akan langsung masuk tanpa menekan bel.
Sisi hati Jingga sangat berharap bahwa yang datang adalah Senja yang akan minta maaf dan mengatakan semua baik-baik saja.
Tapi begitu pintu di buka, sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya justru membuat tubuhnya seketika menjadi gemetar dan menggigil.
"Ternyata benar, kamu disini Jingga... "
*****
"Senja habis darimana?"
Pertanyaan itu berhasil mengurungkan langkah Senja yang hendak menuju kamar. Senja berbalik dan membalas senyum dari cinta pertamanya, Bunda nya.
"Habis dari rumah temen Bun. Bunda lagi apa?" Tanya Senja.
Bunda nya hanya tersenyum, "Bunda tadi nunggu Senja, karena engga biasanya Senja baru pulang maghrib begini."
Senja menggaruk tengkuknya, dia tidak mungkin mengatakan pada Bunda bahwa dirinya baru saja pulang dari rumah Jingga, walaupun dia hanya diam di rumah tetangga Jingga dan menatapi rumah gadis itu seperti orang bodoh.
Senja berjalan mendekat ke arah Bunda nya yang duduk di sofa ruang keluarga.
"Maafin Senja udah bikin Bunda nunggu, tadi Senja ada urusan sama temen makanya agak lama." Ucap Senja bohong.
Bundanya tersenyum dan mengusap pundak anak bungsunya itu pelan, "Iya engga apa-apa, sekarang Senja langsung mandi terus Sholat ya. Bunda juga mau sholat. Kalau mau makan, ada lauk di meja makan."
Setelah mengucapkan itu, Bunda nya lalu beranjak dan masuk ke kamar nya meninggalkan Senja yang masih duduk termenung memandangi Bundanya yang sudah semakin tua. Senja pun beranjak dari duduknya, menimbang-nimbang akankah dia langsung ke kamar atau melihat keadaan Kakaknya terlebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DAN JINGGA (COMPLETE)
Teen FictionJika jatuh cinta adalah sebuah pilihan, maka Jingga memutuskan untuk memilih jatuh kepada Senja. Karena dia yakin Senja akan menangkapnya, tidak akan membiarkan dia terjatuh sendirian. Semburat orange yang muncul di penghujung sore, datang sekilas n...