Malam hari yang mulai sepi ini, Emil menapaki kakinya dikoridor rumah sakit tempat Rena dirawat.
Emil merogoh saku celananya, mengambil ponselnya yang tadi sempat bergetar.
"Dira?" gumamnya pelan.
Tanpa menghentikan langkahnya Emil membuka pesan dari Dira.
"Mil?"
"Rena mil"
Emil semakin gelisah dan khawatir setelah membaca pesan tersebut dari Dira.
Dipercepat jalannya sampai akhirnya ia sampai didepan ruang ICU dan tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka lebar dan terlihatlah sosok seseorang yang sudah dilapisi kain putih diseluruh tubuhnya sampai kepala, dan didekatnya ada sosok wanita paruh baya yang menangis histeris juga seorang teman sejati yang selalu menemani.
Seketika tubuh Emil bergetar ponsel yang dipegangnya berusaha ia genggam kuat agar tak jatuh. Matanya sudah memerah dibukanya kain yang menutupi kepala, dilihatnya seorang wanita yang sudah pucat, bibir yang tak lagi memerah dan menampakkan senyum, nafas yang tak lagi berhembus dan jiwa yang tak lagi bernyawa.
Tanpa terasa Emil meneteskan air matanya dan terisak disana.
"Rena, elo masih hidupkan Ren?, kenapa elo pergi secepat ini Ren? Rena! Rena! Bangun Ren bangun! Gue gak mau elo pergi! Renaaa!!," jerit Emil seraya menguncangkan tubuh Rena berharap cewek itu bisa terbangun dan tetap disini.
"Mas, maaf mas, pasien ini bukan bernama Rena," Emil menoleh kearah suster yang membawa mayit tersebut dan menganga kearahnya.
"Serius mas?," tanya Emil seraya memandang wajah Mayit itu lagi.
Setelah dilihat ia menelan ludahnya berat, dan tersenyum kikuk kearah perawat serta suster juga keluarga yang berduka.
"Maaf ya mas, bu, saya pikir teman saya," ucap Emil seraya mengangguk sopan.
Perawatpun melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena Emil itu.
Emil duduk disalah satu kursi yang sudah berderet disana. Menekan nomor Dira dan mendekatkan ponselnya ditelinga.
"Hallo mil? Elo dimana, udah dirumah sakit belom?," tanya Dira terdengar santai.
"Udah, Rena baik-baik aja kan?," sahut Emil masih merasa tegang.
"Elo kenapa? Tegang gitu, santai aja kali sama gue mah," ucap Dira.
"Gimana gak tegang! Gue takut nih disini, apalagi tadi gue tangisin mayit orang lain!,"
"Hah! Kok bisa?," tanya Dira yang sempat tersentak.
"Gue pikir mayit itu Rena," nada terakhir ia sengaja dipelankan.
"Astagfirullah mil, Rena baik-baik aja kok! Hehe...elo kocak deh masa sama temen sendiri gak bisa ngenalin," sahut Dira terkekeh.
Emil jadi merasa malu, terlebih lagi malu karna sudah membuat orang yang sedang berlalu lalang memperhatikannya dengaan tatapan sendu dan kasihan tetapi ketika tau Emil salah orang semua menertawakan bahkan ada yang geleng kepala melihat aksi Emil yang membuat heboh.
"Jangan tawa lu!," decak Emil kesal juga malu.
Dira masih terkekeh. "Terus mayitnya kabur gak?," goda Dira membuat Emil semakin geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔My Stupid Bad Boy (END)
Teen Fiction(Sedang proses revisi) Benci adalah sebuah rasa cinta yang malu untuk diungkapkan. Bermula dari acara MOS ketika Bella Amalia Wikrama memergoki peserta MOS yang diajak nongkrong bareng dikantin oleh Emilliazyano Al Fariz pada saat jam Istirahat yang...