Sebuah kotak kecil bersuara nyaring itu membangunkannya. Betty meringis menahan rasa sakit. Pandangannya nanar menatap seluruh isi ruangan. Ia menoleh ke sebelah kanan, merasakan ada sesuatu yang mencubit punggung tangannya.
"Kenapa aku ada di sini?" gumamnya pelan.
Tatapannya kini beralih pada pintu ruangan yang ditutup gorden hijau. Ia merasa tidak enak di sini. Tagihan perawatan yang ditakuti kini datang dengan sendirinya.
Betty mengerjap ketika merasakan sakit di punggungnya. Ia merenung setelah sadar bahwa Netty tidak ada di sana. Hal itu menjadikan sebuah penekanan batin tersendiri.
Pintu terbuka; dua orang perawat masuk ke dalam ruangan dan menghampiri Betty. Gaya berpakaian mereka sangat berbeda, terlihat sekali saat keduanya berjalan menghampiri Betty. Salah satunya memiliki bibir seperti delima merekah. Satunya lagi seperti kaca pecah—mungkin sedang sariawan.
Perawat yang mempunyai bibir delima terseyum kikuk. Ia meletakkan punggung tangannya di kening Betty.
"Kau hanya kelelahan. Lainkali, usahakan untuk istirahat yang cukup," ucapnya kemudian mengambil sarung tangan hijau di atas nakas dan pergi meninggalkan perawat satunya lagi.
"Kau tidak ikut pergi?" tanya Betty pelan. Kini tenggorokannya terasa sesak. Seperti ditusuki jarum es.
Perawat itu menatap sebal, "Sangat menyedihkan. Perempuan muda sepertimu harusnya berada di luar, bukannya sakit-sakitan seperti orangtua." Perawat itu tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan kanan.
Betty berdehem, "aku ingin berbicara denganmu!"
"Tunggu, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku," perawat itu membuka kertas yang memuat biodata pasiennya saat ini.
Betty kembali menatap sekitar. Sepi, tanpa ada Netty yang selalu berteriak-teriak karena pobhia terhadap tulang ikan. Tanpa Netty hidupnya terasa hampa. Ditambah dengan suasana tidak mengenakkan membuatnya muak, ingin segera pergi dan meninggalkan tempat itu.
"Baiklah, sekarang aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Apa yang kau mau?" tanya perawat itu mengkaburkan pandangan Betty.
Betty kembali memalingkan wajahnya. Memandangi setiap inci dari bentuk fisik orang yang ada dihadapannya. Nurani dan logika berkerja di sana. Memikirkan apakah perawat itu memiliki tujuan yang baik untuk tetap hidup ataukah sebaliknya.
"Kau sudah lama bekerja di sini?" tanya Betty berusaha membuka sebuah percakapan.
"Kenapa kau menanyakan itu padaku?" tunjuknya menggunakan pena.
"Tidak. Aku hanya ingin memastikan jika kau benar dalam bekerja. Ya... Jika kau adalah orang baru di sini, mungkin saja pekerjaan yang kau lakukan hanya membuat pasien-pasien menjadi bosan akibat tingkah lambanmu dalam bekerja."
Perawat itu melipat kedua lengan di depan dadanya yang empuk. Bibirnya monyong ke depan, mengatup-ngatup menahan emosi. "Apa maksudmu?"
Betty terkekeh, "Bersikaplah profesional agar orang lain dapat menghargaimu!"
Perawat itu marah, ia melempar penanya ke arah Betty; tepat mengenai batangan hidungnya. "Dasar anak buangan!" Perawat itu berbalik dan berjalan menghampiri pintu dengan perasaan marah yang memuncak.
Satu kata yang diucapkan oleh perawat itu membuat Betty merasakan denyutan di kepalanya. Ia berontak. Tangannya tidak berhenti melemparkan apa yang ada di sekitarnya. Ia menjerit keras, rambutnya yang lurus kini kusut karena dijambaki.
Perawat yang hendak keluar ruangan itupun berbalik. Ia berlari menyimpan biodata pasiennya di atas nakas. Sebuah tombol hijau di dekat ranjang pasien tak henti ia tekan.
Tidak ada seorangpun yang datang untuk menolong. Perawat itu sangat panik, ia mendekati Betty, mencari sesuatu untuk dia berikan.
"Bisakah kau tenang sedikit!?" teriak perawat itu namun tidak digubris.Perawat itu mengambil jarum suntik, berharap agar Betty bisa tenang. Perlahan ia mengatur dosis yang akan dimasukkan. Namun, tangan Betty yang berontak secara tidak sengaja menyenggol tiang penambah darah yang ada di sampingnya. Belum sempat perawat itu menghindar, ia terjatuh bersama dengan matanya yang tak sengaja tertusuk jarum suntik.
"Arghh!!!" Teriakannya memenuhi seisi ruangan. Ia berdiri tertatih-tatih dengan pandangan yang tidak sempurna—buram.
Perawat itu berjalan menghampiri pintu. Ia perlahan mencabut jarum suntik yang menusuk bola matanya. Tetapi malah memperburuk keadaan. Entah karena panik atau apa, jarum suntik itu justru patah, membuat kornea matanya pecah.
Ia menjerit tak kuat. Badannya terhoyong-hoyong membukakan pintu. Orang-orang yang berlalu-lalang segera berhenti untuk melihat apa yang sedang terjadi. Beberapa orang berlari liar. Perawat itu dibopong, lalu dibaringkan di atas sebuah tandu besi dan dia di bawa teman sepekerjaanya memasuki ruangan oprasi.
Crak...
Alat yang memiliki banyak lampu itu mulai dinyalakan. Seorang dokter berseragam hijau datang terburu-buru sambil mengenakan masker medis. Sebuah suntikan diambilnya. Ujung jarumnya dijentik-jentik sampai mengeluarkan cairan.
•••
Tiga orang perawat dan dokter bedah memasuki ruangan tempat Betty dirawat. Di dalam sangat berantakan, sudah mirip kapal pecah. Salah satu perawat membereskan alat-alat yang Betty lemparkan. Sedangkan dua perawat lainnya memegangi Betty yang tidak berhenti berontak.
"Tolong pegang tangan dan kakinya! Aku akan menyuntikan obat penenang," ucap dokter itu terengah-engah. Ia mengambil sebuah suntikan yang sudah terisi obat penenang dan mulai menyuntikannya pada Betty.
Perlahan Betty mulai diam. Tubuhnya lemas tanpa adanya pergerakkan. Ia tertidur dalam khayalannya yang palsu.
Dokter itu mencabut jarum yang menusuk kulit lengan Betty. "Ambilkan darah A yang baru!"
"Oke, Dok!" jawab perawat yang sedang membereskan barang-barang.
"Dan, tolong tutup pintunya! Tidak boleh ada seorangpun yang masuk ke dalam ruangan ini selain petugas," titahnya sebelum perawat itu benar-benar pergi.
•••
![](https://img.wattpad.com/cover/150444512-288-k191892.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PSYCHOPATH
Misterio / SuspensoKehausan dalam dirinya untuk membunuh semakin tidak normal ketika bertemu dengan pria dingin dan juga bengis. ---------------------=[PSYCHO]=--------------------- 🚫TIDAK DIPERUNTUKAN UNTUK MANUSIA PENGIDAP PHOBIA DARAH DLL. 🚫TIDAK DIPERBOLEHKAN U...