Kakinya masih melangkah menuju tempat pelelangan. Dia berhenti ketika melihat kakek itu hendak pergi mengunakan truknya.
"Kek!" Kakek itu berbalik dan melihat seorang pemuda yang sedang menenteng manekin.
"Jangan kasar padanya," ujar sang kakek sambil melepas tangan Aripin dari manekin yang sangat ingin dia milikki.
Aripin menatap kakek itu dengan bingung. Bibirnya berulang kali bergetar hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia mengurungkan niatnya.
"Kau harus memperlakukan dia dengan sangat baik. Kau tidak boleh menyakitinya." Kakek itu memangku manekin yang dipegangnya dan diletakan di atas bak mobil yang terbuka.
"Kau siapa?" tanyanya sambil mengepruk-ngeprukkan telapak tangannya. "Sepertinya kau pemuda yang baik. Aku antarkan pulang, bagaimana?"
"Boleh." Aripin tersenyum manis kemudian mendekati kakek itu.
Mereka berdua masuk ke dalam truk dan duduk berdampingan. Sang kakek mulai menyalakan mesin truk dan menginjak pedal gas meninggalkan tempat pelelangan.
"Bagaimana bisa kau mendapatkan patung itu?" tanya sang kakek sambil menatap jalan dan Aripin bergantian.
"Aku sering melakukannya. Aku tidak ingin orang lain merasakan pedih."
"Oh.... Tapi terimakasih kau telah menolongku. Aku sangat menginginkan patung itu sejak aku remaja. Sama sepertimu," sang kakek masih mengemudi. Dia tidak menatap Aripin untuk saat ini.
"Seperti aku?"
"Aku sangat suka membantu orang lain, apapun resikonya aku akan terima. Itu semua aku lakukan agar aku bisa dikenal orang banyak. Bagaimana denganmu? Apakah kau juga ingin mendapatkan pujian?"
"Tidak," Aripin tertawa kecil. "Aku hanya membantu mereka untuk pulang. Kebanyakan orang yang aku bantu memilikki masalah hidup, dan aku tidak ingin melihat mereka mati sia-sia."
Mereka berdua kemudian diam karena topik pembicaraannya sudah habis dibahas. Kakek itu sangat bahagia mendapatkan manekin yang sangat dia impikan. Aripin membantu sekali, pemuda itu sangat disukai si kakek.
"Oh iya, dimana rumahmu?" Kakek itu kembali membuka percakapan.
"Bersebelahan dengan rumahmu," ucap Aripin sambil memberikan senyum manis, sangat manis sekali sehingga dapat menutupi kebohongannya.
Kakek itu menggangguk. Dia membanting setir untuk berpindah jalur menuju rumahnya. Cahaya kota Welis begitu terang dan ramai. Kota Welis memang memiliki banyak sekali penerangan, sehingga terlihat seperti tempat pembelanjaan terbuka. Begitupun, kota Welis menyimpan banyak misteri yang tidak diketahui warganya.
Kakek itu memasukan mobilnya ke dalam garasi dan mereka berdua turun, untuk pulang. Aripin menatap kakek tua yang sedang sibuk mengurusi manekin. Dia membantunya, mengangkat manekin itu ke dalam rumah sang kakek.
"Kenapa tiba-tiba menjadi berat?" keluhnya pada Aripin.
Aripin hanya mendelik sambil tersenyum. Hatinya tertawa melihat tingkah kakek-kakek yang sudah pikun dan tidak kuat mengangkat barang. Dia tertawa, dan Aripin ingin berbuat baik pada sang kakek.
"Ayok masuk!" Aripin berjalan memasuki rumah sang kakek yang terlihat mewah.
Beberapa hiasan dinding menempel dan membuat ruangan itu terasa sangat rapi. Desainnya tidak monoton, mengaksyikan. Membuat Aripin tidak takut jika terjadi sesuatu.
"Tunggu disitu, aku akan mengambil air untukmu."
Aripin duduk dengan ragu pada kursi kayu di dekat televisi. Dia menatap kakek tua yang datang dengan membawa air. Itu terlihat seperti kopi panas.
Aripin berdiri dan mengambilnya, namun belum sempat kopi itu larut ke dalam lambungnya, airnya tumpah menyiram dada sang kakek.
"Aduh maaf!"
Kakek itu mengusap-usap kemejanya yang basah karena air kopi. Dia menatap Aripin, pemuda itu tidak sengaja menyiramnya. Dia sangat terkejut karena kopi panas itu bisa saja membakar dadanya.
"Tidak apa-apa, aku akan mengambilkannya lagi."
Kakek itu berbalik namun Aripin melemparkan gelas yang dipegangnya tepat mengenai kepala sang kakek. Kakek itu memegang bagian kepala belakangnya yang terasa sakit. Dia menatap cairan merah di jari tangannya. Darah, kepalanya berdarah.
"Sepertinya di rumahmu banyak makhluk halus, dan aku akan memperbanyak mereka."
Aripin menendang lutuk kakek itu dari belakang hingga dia terjatuh. Aripin menarik kedua tangan sang kakek dan menariknya memasuki kamar mandi. Dia melekatan kakek itu dekat dengan bak air. Aripin mengambil gayung yang sudah terisi air dan menyiram kakek itu berulang-ulang.
"Setidaknya ini dapat membuat otakmu fresh," ucapnya tanpa berhenti menyiram sang kakek.
Kakek itu tidak bicara, dia mengigil kedinginan. Aripin menyudahi kegiatannya. Dia menarik sang kakek keluar dalam kamar mandi menuju dapur. Matanya menyusuri ruangan sekitar, mewah dan bersih.
Aripin mendekati lemari es dan memasukan kakek itu ke dalam. Sementara minuman dan sayuran yang ada disana, dia lempar ke sembarang tempat agar kakek tua itu dapat tenang menikmati musim salju.
"Jangan lupa untuk bermain ski," ujar Aripin sambil menutup pintu lemari es dan mendorong meja makan agar sang kakek tidak dapat keluar.
Dia mengambil buah apel yang tergeletak di atas dan lantai mengupasnya dengan pisau. Dia malangkah keluar rumah sambil memakan aple itu.
"Si-siapa kau!"
Nenek tua itu sangat mengganggu Aripin. Dia segera menusuk dadanya.
"Katakan pada suamimu, agar tidak mengkhianati persahabatan." Aripin menekan pisaunya hingga ujungnya mengenai jantu sang nenek.
Aripin mencabut kembali pisau itu dan melanjutkan perjalanannya dengan menikmati sebuah apel. Aripin memang baik bukan? Dia membantu lansia untuk segera menghadap tuhan mereka.
🕯️🕯️🕯️
Betty terdiam di balkon apartemennya. Dia memikirkan Netty yang sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bahkan berulang kali Netty mengigau tanpa memedulikan siapa yang ada di dekatnya.
Benar apa yang Aripin katakan. Netty mabuk berat sampai menyusahkan Betty. Betty tidak percaya adiknya akan melakukan hal gila yang jarang orang normal pikirkan. Meminum anggur hanya untuk kepuasan semata tidak akan membuat seseorang merasa terpenuhi. Dia hanya menambah masalah bagi dirinya sendiri maupun oranglain.
Betty mengalihkan pandangannya dan menatap seorang pria yang sedang melambaikan tangan padanya. Sepertinya dia kenal dengan orang itu. Betty segera menutup pintu balkonnya dan berjalan keluar apartemen meninggalkan Netty yang masih tertidur.
Dia berlari untuk mempersingkat waktu hingga melupak sweeter yang tidak pernah lepas dari tubuhnya. Tetapi malam itu, Betty tidak memedulikan apapun selain pria itu.
"Kau tidak bisa keluar malam nona, silahkan kembali ke apartemenmu," ucap seorang penjaga lobi menghentikan Betty.
"A-aku harus menemuinya. Ini penting sekali." Betty berulang kali mendorong tangan penjaga lobi tetapi itu sia-sia. "Tolong biarkan aku keluar malam ini saja, ini demi adikku."
Pria itu menatap jam analog yang bertengker di lengannya.
"Baiklah, kau hanya diberi waktu 3 menit."
Itulah kota welis, tidak ada wanita atau anak gadis yang boleh keluar sesudah jam delapan malam. Kota itu memang memiliki peranan besar terhadap kehidupan.
Betty segera berlari menemui seseorang yang memanggilnya. Dia menemukan apa yang seharusnya tidak dilihat. Pria itu kembali datang.
🕯️🕯️🕯️

KAMU SEDANG MEMBACA
THE PSYCHOPATH
Mystery / ThrillerKehausan dalam dirinya untuk membunuh semakin tidak normal ketika bertemu dengan pria dingin dan juga bengis. ---------------------=[PSYCHO]=--------------------- 🚫TIDAK DIPERUNTUKAN UNTUK MANUSIA PENGIDAP PHOBIA DARAH DLL. 🚫TIDAK DIPERBOLEHKAN U...