City Center

1.8K 126 4
                                    

     "Kenapa kau datang kemari!" Betty sedikit menjauh ketika pria itu mendekatinya.

     "Maafkan aku Betty, aku menyesal," ucap pria itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. "Maukah kau menikah denganku?"

     Betty terkejut dengan pria itu. Dia memberikan Betty sebuah cincin yang masih berada di dalam kotak. Cincin itu begitu menarik sekali, sepertinya harganya mahal. Tidak, Betty tentu akan menolak pada pria yang telah menyakitinya. Dia Usep Deden Kosasih, mantan kekasihnya saat di GMT(Gluomby Meth Terania).

     "Kau melamarku?" Betty terkekeh. "Maaf aku tidak bisa menerimamu kembali. Kau sudah menyakiti hatiku. Aku tidak akan membuka hatiku kembali untuk seseorang yang tidak mengerti keadaanku."

     "Tapi aku benar-benar akan menikahimu. Aku tidak akan menyimpan wanita lain. Percayalah, aku hanya ingin hidup bersamamu."

     Betty melipat tangan Usep dan membuat cincin itu terpenggal dalam kepalan tangan. Betty menatap bola mata Usep yang berkaca-kaca, sepertinya pria itu sakit hati dengan respek penolakan.

     "Maaf, lebih baik kau mencari wanita lain yang lebih sempurna, yang memiliki kedua orang tua, yang tidak pernah lupa dengan uangmu."

     Betty berlari memasuki apartemennya, tetapi lagi-lagi penjaga lobi muncul dan menghalangi Betty untuk masuk.

     "Kenapa kau menghalangi jalanku? Permisi, aku harus tidur agar besok tidak terlambat bekerja."

     "Tidak nona, kau masih memiliki waktu 1 menit lagi."

     "Apa-apaan ini, walaupun tersisa satu menit lagi aku tetap tidak bisa masuk? Kau bercanda?"

     "Aku hanya menjalankan perintah." Penjaga lobi itu menutup pintu dan Betty kini harus menunggu setidaknya 60 detik agar dapat masuk ke dalam apartemennya.

      Dia menatap Usep yang masih berdiri di sana. Betty benar-benar tidak mengerti dengan sikap pria itu. Jika memang cinta seharusnya dikejar, bukan diam saja. Betty sekarang semakin yakin bahwa Usep hanya ingin mempermainkan perasaanya lagi. Sayangnya Betty bukanlah wanita bodoh, dia lebih pintar daripada sebelumnya.

      "Masih tersisa 30 detik, aku harap kau tidak pergi kemana-mana."

      Betty jenuh mendengar penjaga lobi itu. Dia ingin segera masuk ke dalam kamarnya dan tidur. Di luar sangat dingin sekali, tetapi 30 detik terasa begitu lama. Betty beralih untuk duduk di atas teras sambil menunggu pintu terbuka.

      "Kau membutuhkan kehangatan?" Seorang pria menyodorkan sebuah syal pada Betty. Wanita itu menatap lekat-lekat wajah pria pemberi syal itu, dia Aripin. Betty tersenyum dan mengambilnya, cukup hangat.

     Aripin duduk disamping Betty, ia membenarkan syal yang mengalung pada leher Betty. Seketika hatinya terasa tersentuh. Kehadiran Betty membuatnya merasakan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan kata-kata. Betty menghilangkan perasaannya.

     "Silahkan masuk nona!" Penjaga lobi membukakan pintu dan Betty segera masuk.

     "Tunggu! Jangan mengikutiku, kau pulang saja," imbuh Betty sembari menahan Aripin yang hendak masuk ke dalam apartemen.

     "Aku harus memastikan syal itu tidak hilang."

      Betty melepas syal yang mengalung di lehernya kemudian memberikannya pada Aripin.

     "Ambilah, jangan mengikutiku."

     Betty segera berlari menuju kamarnya sedangkan Aripin hanya diam sambil menatap penjaga lobi yang masih membukakan pintu.

     "Kenapa tidak kau kejar?"

     Tidak pikir panjang, Aripin masuk ke dalam lobi dan menyusul Betty. Penjaga lobi itu seperti menghipnotisnya sehingga dia melakukan apa yang dia perintahkan. Tetapi letak masalahnya bukanlah disana, Aripin ingin dekat dengan Betty. Wanita itu terlalu sulit untuk dijadikan target hingga berulang kali Aripin harus memasang berbagai rencana.

      Betty membuka pintu dan menyimpan sandal yang dipakainya ke dalan rak sepatu. Dia segera berlari menuju kamar tidur adiknya untuk memastikan bahwa keadaanya benar-benar baik.

     Hatinya begitu tenang sekali ketika melihat Netty masih tertidur pulas. Dia memutar badannya untuk segera mencuci muka dan menggosok gigi.

     Betty melangkahkan kaki kirinya ke dalam kamar mandi dan mengambil sikat gigi yang kemudian diberi pasta gigi. Dia mulai melakukan gerakan bolak-balik menggosok giginya dan berkumur sambil membasuh wajah. Dia mengangakat kembali wajahnya dan menatap cermin, memperhatikan seseorang pria tengah berdiri dibelakangnya sambil memegang pisau.

     "Kenapa kau bisa ada di dalam apartemenku?" tanya Betty tanpa menoleh pada Aripin. Aripin sontak menyembunyikan pisau yang dia pegang ke belakang punggungnya. "Aku sudah melihatnya. Jika ingin mencuci pisau bukan disini tempatnya, di dapur. Tepat dibawah air keran."

     Aripin melangkah keluar kamar mandi dengan gugup. Perasaan untuk membunuh Bettu selalu saja terhalang, Aripin tidak menyukai itu. Dia hanya ingin rencananya berjalan mulus tanpa satupun kendala.

     Betty membasuh kembali membasuh wajahnya dan dielap menggunakan handuk kecil yang tergantung disamping cermin. Dia melangkah keluar dari dalam kamar mandi dan melihat Aripin sedang berdiri menutupi pandangannya. Pria itu sibuk membersihkan noda darah pada pisau dengan air keran yang mengalir.

      "Sepertinya tajam sekali." Betty membuat Aripin terkejut dan dia menutup keran air agar air itu berhenti melangalir.

      "I-iya, tajam sekali. Lumayan untuk memotong lobak tua," ucapnya sambil tersenyum pada Betty.

     "Bagaimana kau bisa masuk ke dalam kamarku? Kau mengikutiku?"

     Aripin hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan Betty. Dia berjalan menjauhi Betty dan membuka balkon, menatap pemandangan kota yang penuh dengan cahaya.

     "Aku mengikutimu," katanya pelan membuat Betty berjalan menghampirinya untuk mendengar dengan lebih jelas.

     "Pantas. Oh iya, bagaimana dengan permainan kita? Tentang siapa yang kalah dia harus mati terlebih dahulu."

     "Tidak, kau berhasil membuat hasratku untuk membunuhmu menghilang."

     "Apa? Jadi selama ini kau_"

     "Tidak! Maksudku, aku akan membuhmu dalam permainan itu. Lagi pula, sekarang aku sedang tidak ingin bermain." Aripin menatap gedung-gedung pencakar langit. "Hasratku menghilang, karena kau."

     "Hasrat?" Betty mendekatkan tubuhnya membuat Aripin semakin gugup. "Hasrat itu apa?"

     Aripin kembali menjauh dari Betty. Dia berjalan ke sudut balkon dan kembali menatap pemandangan kota Welis.

     "Hasrat itu sama halnya dengan perasaan dan kemauan, contohnya kau ingin memotong buah namun tidak jadi kerena takut terluka."

     "Berarti selama ini aku masih menyimpan hasratku."

     "Apa hasratmu?"

     "Membuat semua orang menderita."

     Aripin menatap wajah Betty yang sepertinya tidak bermain-main dengan ucapannya. Kalimat itu membuat pikirannya menerka-nerka apa yang selanjutnya akan terjadi. Ya, Aripin harus menjaga Betty agar wanita itu tidak hilang kendali.

     "Sepertinya kau begitu menyukai pemandangan kota." Betty kembali mendekatkan tubuhnya dengan Aripin hanya diam sambil sedikit demi sedikit menggeset tubuh wanita itu agar ia tidak terdesak.

     "Aku tidak menyukai kota. Orang-orang kota tidak pernah memedulikan satu sama lain, mereka egois. Aku tetap tidak menyukai pemandangan kota. Mungkin kau tahu maksudku, antara gedung pencakar langit dan jiwa berperikemanusiaan."

     Betty tersenyum pada Aripin. Dia banyak berhutang pada Aripin. Betty harus segera membayarnya dengan mengikuti apa yang dilakukannya, sekarang hingga selamanya.

 
                                    🕯️🕯️🕯️

THE PSYCHOPATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang