Biarkan takdir Allah yang bertindak setelah ikhtiar maksimal. Hanya perlu tawakkal dan menunggu kejutan yang Allah gariskan nanti.
~ My Future Gus ~
****
Antara bingung dan asing. Sebuah janur kuning melengkung telah berdiri kokoh di depan rumah menyambut kedatanganku. Semua tersenyum padaku, setiap santri yang lewat tak ada satu pun yang menjawab ketika aku bertanya. Mereka pamit lantas pergi begitu saja. Kedua temanku yang baru saja tahu kediamanku tak kalah bingung. Mereka bahkan sempat menepuk kedua pipinya, memastikan apa yang baru dilihat.
Bukan perkara mudah menjelaskan statusku yang notabene anak seorang pengasuh pondok pesantren yang baru saja mereka tahu. Fany dan Nadya sempat melontarkan kata kecewa karena masalah itu. Ketika sampai di dalam kamarku, mereka bahkan tidak mengajakku bicara. Memang itu kesalahanku, tapi mereka tidak tahu posisiku. Banyak dari kaum adam yang mendekat karena statusku, aku ingin dia yang datang bukan karena statusku tapi karena benar-benar tulus dan menerima apa adanya. Terlebih aku harus belajar dari pengalaman, dia yang kita tuju belum tentu menyambut, apalagi membalas perasaan kita dengan impas.
"Maaf. Aku cuma takut, banyak yang datang menawarkan pertemanan karena statusku itu." Aku yakin, bukan perkara mudah mendapatkan senyum dari mereka jika belum ada penjelasan tuntas dariku.
"Tapi kenapa harus tiga tahun kami baru tahu ini. Lalu apa maksud janur tadi, kamu akan menikah dan baru memberitahu kami. Kami ini sahabatmu, Fia." Sorot kecewa nampak begitu jelas dari wajah Fany. Di antara kami bertiga dialah yang paling perasa, walau dia sebenarnya tipikal sedikit kaku tapi paling perhatian pada kami.
"Maaf, untuk janur itu aku sama sekali tidak tahu. Sungguh." Aku tertunduk, menjelaskan sejelas-jelasnya pada mereka hingga ceritaku mulai mengalir.
Suara ketukan pintu menghentikan tawa kami. Usai penjelasan cukup panjang, akhirnya mereka memberi maaf, tersenyum dan kembali guyonan seperti biasa.
"Nduk, Mas mu mau bicara," ucap Umi seraya menunjuk pria bersarung yang berdiri di tangga. Aku mengangguk, pamit pada kedua temanku untuk berjumpa dengan Mas Fahmi.
Pria dengan sarung batik dan kaos berwarna putih itu tampak berjalan mendekat. Saat tiba di depanku, dia mengusap puncak kepalaku dan mencium disana lalu memelukku erat. Aku tersenyum, membalas pelukan hangat Mas Fahmi.
"Nduk, baru sampai?" tanyanya, menggiringku duduk di sofa ruang tengah yang kala itu sepi. Jangan aneh dan heran dengan panggilan mereka padaku, seluruh keluargaku sering memanggilku dengan sebutan Nduk, mulai dari Abi, Umi serta Mas Fahmi.
"Iya, Mas. Siang baru sampai, maklum tadi macet."
Mas Fahmi terkekeh, tahu itu hanya alasanku. Karena bukan sebab macet pun, aku sering sampai ndalem siang meski dari kost selepas subuh, padahal hanya menempuh jarak dua jam. Mampir dulu ke tempat yang bisa dikunjungi sebelum menuju sangkar emas.
" Masih ingat dengan ucapanmu dulu, Nduk?"
Entah, atmosfer hangat tiba-tiba berubah sedikit tegang. Sepertinya ucapanku itu akan segera direalisasikan Abi, melihat bukti sudah ada di depan mata.
Aku hanya menunduk, bingung menjawab. Semua ucapanku mengenai pasangan dulu akan segera terjawab. Rasanya Abi telah mendapatkan kandidat yang tepat.
"Mas, Fia rasanya belum siap. Ini terlalu mendadak."
Mas Fahmi mengusap punggungku, merapatkan duduknya yang awalnya agak jauh menjadi lebih dekat. "Insyaallah kamu siap. Abi memilih yang terbaik. Menurut Mas yang dipilihkan Abi sangat cocok dengan kamu. Jadi jangan risau. Bismillah."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...