بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمدJADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***I'am come back dibulan Sya'ban ini. Kalo orang Jawa bilangnya wulan ruwah. Yuk perbanyak puasa sunnah, karena pada bulan ini tepatnya pada malam Nisfu Sya'ban, segala amal kita satu tahun ini akan diangkat.
.
.
.Dalam ikatan pernikahan bukanlah mencari kesempurnaan, melainkan menyempurnakan kekurangan antara dua insan berlandaskan keimanan pada Allah sebagai Tuhan.
~My Future Gus~
_______
Azam memacu motornya dengan kecepatan sedang. Masih dengan tampang kesal, dia memfokuskan pandangan menatap jalanan yang cukup padat. Seolah kejadian tadi sangat membuat amarahnya naik ke ubun-ubun.
Wajah kesal itu jarang terlihat, bahkan hampir tidak pernah sekalipun tampak pada Azam. Namun kurasa, kali ini dia tak terima atas apa yang pernah terjadi padaku dulu. Memang dia membalas perkataan Gus Fauzan sarkas, dapat kusaksikan juga dia berusaha agar tidak tersulut emosi. Sikapnya itu adalah bukti rasa sayangnya padaku. Dia tak mau aku terlibat masalah jika melakukan tindakan buruk di kampusku. Karena sikapnya itu, aku tak pernah meragukan rasa sayangnya padaku.Perlahan motor tua yang kami tumpangi memasuki pelataran pondok. Azam menurunkanku tepat di depan pintu masuk rumah, memarkirkan motor di parkiran pondok putra.
Azam berjalan masuk ke ndalem mendahuluiku. "Mbak Pia kita bicara di dalam." Titahnya padaku dengan wajah serius.
Kuikuti langkah besarnya memasuki ruang tengah. Ia duduk lesehan di atas karpet sambil menengok kanan kiri memastikan tidak ada santri yang mendengar saat kami berbicara. Terlihat dari gerak geriknya, sepertinya dia akan membicarakan hal yang serius.
"Ada apa, Zam? Jangan pasang wajah jelek kayak gitu. Tambah Ndak enak sawanganne. Senyum dong," ucapku mencoba membuatnya menarik sudut bibir.
Walau enggan, garis lurus pada bibir Azam perlahan membentuk lengkungan tipis meski tidak kentara. "Mbak Pia, aku pesan sama mbak. Jelasin semuanya sama Gus Fauzan kalo mbak sudah menikah." Azam menjeda ucapannya.
"Azam ndak mau, hal ini jadi badai dalam hubungan Mbak dan Mas Amir," sambungnya dengan tampang kesal.
Benar firasatku, arah pembicaraan kami pasti berpusaran pada hal itu.
Ucapan Azam mengingatkanku pada pesan Bang Hasan tatkala aku menceritakan hal itu. Dia mewanti-wanti agar aku tidak lagi menutupi status pernikahanku dengan Mas Amir. Menyuruhku untuk segera mengatakan hal itu pada Gus Fauzan.
Flashback on
"Fauzan." Tebak Bang Hasan.
Kuanggukkan kepala sebagai balasan.Kudengar Bang Hasan menghela napas berat. Namun tak berselang lama, ukiran manis dari bibirnya tercetak.
Sembari mengusap kepalaku, dia berpesan dan mewanti-wanti. "Kabarkanlah padanya bahwa adek sekarang sudah menjadi seorang isteri. Jangan tutupi status pernikahan mu dengan Amir."
Aku tak merespon ucapan Bang Hasan, karena sungguh aku bingung bagaimana cara mengatakannya. Sedangkan diriku saja tidak tahu bagaimana bisa menemuinya kembali.
Setelah mengucapkan itu, Bang Hasan mengecup puncak kepalaku kemudian berlalu. Masuk ke dalam rumah.
Flashback off
Ucapan Bang Hasan kala itu selalu terlintas dalam benakku. Namun sayangnya, hingga kini aku belum menemukan kapan dan dimana waktu yang tepat berbicara dari hati ke hati dengannya. Bagai benang kusut, jika bertemu dengannya pun diriku malah kehilangan mood dan jadi enggan mengatakan itu. Entahlah, aku terkadang tidak mengerti dengan suasana hatiku sendiri.
Sebenarnya tadi adalah waktu yang tepat, dimana kami berada dalam satu tempat. Namun saat aku ingin mengatakan, Azam tiba-tiba datang dan menarik tanganku. Terpaksa aku menurutinya, sebab aku tidak ingin berusan dengan Mas Amir karena Azam adalah mata-mata sukarelawan yang bertugas melaporkan hal tentangku yang menyangkut rambu peringatannya.
"Mbak Pia, denger apa yang barusan Azam omongin, kan." Aku anggukkan kepala tanda mengerti.
Aku yakin setelah menjelaskan semua pada Gus Fauzan, Insyaallah permasalahan ini akan selesai. Bisa bernafas lega tentunya.
Jujur, dari lubuk hatiku terdalam rasa tak tega kerap kali muncul. Mengingat wajah penuh pengharapan yang diperlihatkan pada kala itu, ada sedikit keraguan untuk mengatakan itu. Tapi bukan berarti aku masih menyimpan rasa untuknya.
Aku juga tidak membencinya, malah dengan berlapang dada aku sudah memaafkannya. Tapi untuk persoalan rasa, aku tak ingin berdusta.
Sosok dosen yang bernama Amir Faqih Rahman itulah yang berhasil menduduki peringkat pertama sebagai pria yang sukses menaklukkan hatiku. Meskipun dengan sifat dingin tentunya. Apa boleh buat, hatiku telah terperangkap dalam pesona cintanya yang menggiringku mendekat pada sang pencipta.
Mas Amir adalah jawaban yang Allah berikan dari setiap sujudku. Menyempurnakan agamaku, menerima kurangku, membawaku pada cinta yang berlandaskan keimanan dan takwa pada Allah.
Dalam hati, aku berulangkali mengucap takbir, tahmid, dan tasbih. Tepat saat kata sah terucap dari para saksi dalam pernikahanku saat itu.
La haula Wa la kuwwata illa billah....
Hanya Allah yang berkuasa mengatur setiap alur kehidupan.****
Semarang, 12 April 2019
Revisi 13 Desember 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...