بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صلي على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****
'Husnudzon membawa ketenangan, sebaliknya su'udzon membawa kekhawatiran dan kesedihan. Karena su'udzon, kebahagiaan akan terhalang'
~My Future Gus~
________
Tabir rahasia yang selama ini terhalang perlahan terbuka. Semua kebenaran yang tersimpan rapi sudah terpampang nyata. Kebenaran yang sempat menyiksa ulu hati mulai berganti dengan rasa lega.
Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Itulah janji Allah dalam kalam-Nya. Dan semua itu sekarang terbukti.
Semua cerita Mas Amir sudah kudengar. Kenyataan itu ternyata tak seburuk yang kukira. Mas Amir menjelaskan secara detail mengenai ucapannya pada Mbak Fatma untuk mengenal lebih dekat. Benar-benar bukan perihal rasa cinta, hanya iba dan ingin membantu menenangkannya yang tengah sakit. Namun, dia sendiri salah karena ucapannya malah ditanggapi dengan serius dan berakhir seperti ini. Duduk permasalahan denganku berakhir, sekarang tinggal menjelaskan pada Mbak Fatma.
Pada hari pertama kepulanganku, masih teringat betul raut cemas Mbak Fatma dari arah dapur ketika melihat pintu kamar kami. Apalagi dia yang memasak bubur untuk Mas Amir meski bukan keinginannya sendiri tapi perintah Kang Fikri. Hatiku cukup terusik saat itu, ditambah lagi Mas Amir yang tanpa sengaja mengingatnya saat bersamaku.
Saat itu santri putra yang biasa masak juga sedang mendapat tugas lain dari Mas Amir ketika dia sakit. Beberapa hari terakhir sempat ada masalah hama tikus di gudang beras, akhirnya Mas Amir memutuskan menugaskan beberapa santri untuk mengurus masalah itu, sampai akhirnya kesalahpahaman itu terjadi.
"Mas, aku minta maaf. Sudah su'udzon dahulu."
Dia tersenyum mendengar ucapan maaf dariku. "Seharusnya Mas yang minta maaf. Karena perbuatan Mas, kamu harus merasakan sakit seperti ini. Kamu harus kecewa karena mendengar pengakuan dari Fatma."
Manik kelamnya menatapku. Sorot penyesalan tersimpan di sana. Bahkan tangan besarnya masih saja mengusap lenganku dengan lembut.
"Dia sebenarnya baik, hanya kondisi yang membuat sikapnya begitu."
Aku mengangguk pelan. "Semoga Mbak Fatma bisa menerima kebenaran ini, Mas. Dan penyakitnya juga segera sembuh." Kuberikan senyum menenangkan untuknya hingga dua sudut bibirnya pun ikut terangkat.
"Aamiin. Semoga dia bisa menerima kebenaran ini dengan lapang dada," balasnya sambil meraih kembali tubuhku untuk masuk dalam dekapan.
"Iya, Mas. Semoga dia menerimanya dengan mudah."
"Fikri dan yang lain akan menjadi perantara penyelesaian masalah ini," ujarnya samar tapi masih dapat kudengar jelas. Entahlah, aku terkadang tidak mengerti maksud dari ucapannya. Karena jujur saja, ucapan anehnya kadang berujung kebenaran.
***
Semburat senja berpadu gelap terlukis di ufuk barat. Sang surya segera meninggalkan peraduan. Bergilir dengan rembulan yang tak sabar menempati singgasananya.Dengan berbekal gulungan kertas kecil, pria berkulit sawo matang itu berjalan menyusuri lorong penghubung antara pondok putri dan pondok putra untuk menemui seorang santriwati Entah mendapat keberanian dari mana dia bisa memutuskan hal itu seketika.
Ditemani seorang santri putra baru, dia berdiri menunggu seseorang yang akan menjadi penerima gulungan kertas yang saat ini ada ditangannya.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, seseorang yang ditunggu akhirnya datang. Wajah ayunya terlihat lebih menawan dengan balutan mukena putih tulang lajur sederhana yang dikenakan.
"Assalamualaikum, Kang. Maaf, ada apa ya njenengan panggil saya kemari?" Tanya gadis itu tepat ketika sampai di depan pria berkulit sawo matang itu.
Mendengar pertanyaan barusan, sosok itu tidak langsung membalas. Dia malah berbisik meminta santri putra yang menemaninya untuk sedikit mundur ke belakang, memberi ruang padanya untuk berbicara secara pribadi dengan gadis di hadapannya ini. Setelah santri putra itu mundur, tangannya langsung mengulurkan gulungan kertas itu pada santriwati di depannya.
"Jangan dibuka! Dengarkan dulu ucapan saya baik-baik." Tungkasnya ketika melihat sang lawan bicara hendak membuka gulungan kertas yang baru saja diberikan.
Santriwati itu mengangguk. "Monggo, njenengan mau bicara apa?"
"Boleh saya minta tolong sama sampean?" Pria itu berucap dengan lirih sebelum mengatakan maksud sebenarnya.
"Insyaallah, jika saya mampu akan saya bantu." Gadis itu heran, tak biasanya seorang Kang Fikri berkata lirih seperti itu. Biasanya suara yang mencerminkan ketegasan selalu keluar dari mulutnya, tapi kali ini tampak berbeda meski dengan raut wajah serius.
"Saya minta tolong sama sampean untuk berhenti mengharap memiliki sesuatu yang sudah bertuan."
Kata itu ambigu, gadis itu sama sekali belum mengerti maksud dari ucapan Kang Fikri.
"Maksud njenengan apa?"
"Gus Amir sudah beristri. Jangan terlalu dekat dengannya. Jaga perasaan istrinya."
Dia menggeleng, menolak penuturan kang Fikri.
"Tidak mungkin, Kang. Saya bahkan tidak mendengar kabar pernikahannya. Njenengan jangan bercanda." Kalimat terakhir yang diucapkannya terdengar penuh penekanan.
"Untuk apa saya bercanda, inilah kebenarannya."
Gadis itu masih tak percaya. Dia tetap pada pendiriannya dengan tidak percaya pada ucapan Kang Fikri sebelum Gus Amir sendiri yang mengatakan padanya.
"Sekarang buka gulungan kertas itu, Fatma." Pinta Kang Fikri pada Fatma.
Sedikit ragu meski akhirnya perlahan Fatma membuka gulungan kertas itu. Alangkah terkejutnya dia dengan tulisan yang ada di sana.
"Jangan bercanda! Apa maksud tulisan ini?" Suara Fatma meninggi. Tidak percaya dengan apa yang tertulis dalam kertas itu.
"Saya sungguh-sungguh dengan tulisan itu. Saya tidak pernah bercanda dengan hal yang sangat penting meski tanpa ucapan lisan sekalipun."
Mendengar balasan dari Kang Fikri, Fatma malah mengembalikan gulungan kertas itu padanya. Berlalu begitu saja dengan wajah memerah menahan gejolak amarah.
****
Semarang, 1 Juni 2019
Revisi 4 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...