بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صلى على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
Setelah pertemuannya dengan kang Fikri, Fatma tak habis pikir. Bagaimana mungkin Kang Fikri berniat seperti itu? Atas dasar apa dia begitu yakin dengan keputusannya. Kembali membaca kertas yang diberikan lagi padanya lewat Latifah tadi.
"Aku tidak bisa." Pada akhirnya Fatma meremas kertas itu. Melemparnya masuk ke tempat sampah.
"Jika dia serius, seharusnya bukan hanya lewat kertas itu. Dia sendiri yang harus mengucapkan secara langsung."
Masih terekam jelas ketika salah seorang santri yang dulu pria itu lamar dan dijadikan sebagai pasangan. Sosok itu langsung datang dengan permintaan ijin menemui keluarganya, bukan dengan cara seperti yang ditunjukkan padanya semalam. Tampak sekali dia tidak sepenuhnya menginginkan hal ini. Kenapa terkesan begitu menginginkan penerimaannya? Dengan tujuan apa dia memutuskan itu?
Kalau boleh jujur dia memang sempat memiliki perasaan pada pria itu, tapi itu dulu sekali sebelum Gus Amir datang. Terlebih perasaan tertarik itu tak bisa diberikan secara paksa walau dengan cara apapun.
Mengabaikan semua pikiran itu, bergegas meninggalkan kamar menuju aula untuk mengikuti kajian kitab Ihya' Ulumuddin.
"Akan lebih baik mengikuti pilihan hati ketimbang memikirkan permintaan Kang Fikri."
****
Cermin pada lemari memantulkan bayanganku di sana. Balutan kemeja putih yang tertutup jas almamater dan kerudung hitam melekat pada tubuhku.Aku harus siap. Inilah yang kutunggu setelah tiga tahun lebih mengenyam bangku pendidikan di perguruan tinggi. Namun, entah kenapa sekarang aku kurang bersemangat.
Tubuhku rasanya lemas, kepalaku kembali berdenyut meskipun tadi telah meminum obat.
Bibir dan wajah pucatku belum sepenuhnya tersamarkan meski telah dipoles dengan sedikit make up. Ah, mungkin karena aku tak pandai bersolek.
"Dek, yakin bisa ikut sidang?" Dari cermin, kutangkap pantulan bayangan Mas Amir yang berdiri tepat di belakangku sambil mengusap kepalaku yang dibalut kerudung hitam.
"Adek baik-baik saja, kan?" sambungnya dengan pandangan menelisik setiap inci wajahku.
Aku hanya memberi senyum atas ucapannya. Tidak mungkin aku berkata terus terang mengenai sakit kepala dan tubuh lemasku. Tidak mungkin juga aku berkata baik-baik saja, itu sama halnya aku berbohong. Lebih baik diam, cukup beri senyuman. Setidaknya itu bisa membuat hatinya tenang.
"Mas, berangkat yuk! Ndak lucu kalau dosen penguji telat bersamaan dengan yang diuji." Kembali mengukir senyum. Berjalan menuju mobil yang sudah ada di depan ndalem dengan tangan terpaut. Inilah sentuhan yang membuatku nyaman.
Perlahan mobil keluar dari area pondok. Bergerak menembus keramaian jalanan yang dipadati lalu lalang kendaraan.
Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di parkiran khusus dosen. Sebenarnya aku ingin protes jika tubuhku dalam keadaan sehat. Sejak masuk mobil saat berangkat dari ndalem aku sudah menahan mual. Puncaknya tadi tepat saat kami sampai di gerbang kampus, aku memuntahkan isi perutku. Itulah yang membuat mas Amir menghentikan mobil di parkiran dosen dengan alasan dekat ruang sidang.
"Mas tunggu kamu di ruangan sidang," ucapannya tak rela setelah kupaksa keluar mobil lebih dulu. Helaan napas berat juga terdengar jelas darinya pertanda dia cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
EspiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...