45. Graduation

9.6K 575 34
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Insyaallah dua part lagi end

Bintangnya di warnai ya.. sama kolom komentarnya di penuhi.
.
.
.

Tepat pukul enam lebih sepuluh pagi kami sampai kampus. Para mahasiswa dengan baju wisuda disana berduyun-duyun menuju auditorium, menempatkan diri pada kursi masing-masing.

Tidak ada Abi atau pun Umi yang menemaniku, hanya Mas Amir yang duduk pada barisan orang tua dan Azam yang menunggu di luar. Sempat banyak mahasiswa yang bingung melihat Mas Amir duduk pada barisan wali mahasiswa, tapi yang namanya Mas Amir pasti hanya dibalas senyum atas ucapan mereka.

Berulangkali aku tersenyum, mengingat pujian Mas Amir atas penampilanku hari ini. Tanpa make up tebal, hanya sedikit polesan bedak dan sedikit sapuan lip balm di bibir. Sederhana, jauh dari kata menor. Bahkan lebih pantas disebut tanpa make up karena saking tipisnya berbeda dengan yang lain. Tapi baginya aku tetap mahasiswinya yang paling cantik.

Setelah lebih dari empat jam acara wisuda usai. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Berada pada tempat ramai terlalu lama membuatku pusing, apalagi sejak memasuki ruangan luas itu aku merasa mual. Berkali-kali mengoleskan minyak angin di hidung dan pelipis sebagai antisipasi sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti muntah dan pingsan. 

"Adek sudah ndak mual sama pusing lagi?" Jemari besar Mas Amir mengusapkan minyak angin pada pelipisku. Memberikan sedikit pijatan disana.

"Alhamdulillah sudah ndak, Mas. Fany sama Nadya pasti yang lapor."

Mas Amir hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman. Sepertinya ia lebih suka memamerkan tarikan dua sudut bibirnya ketimbang menjawab.

Sebelum menuju tempat istirahat yang sudah Azam siapkan, kami berjalan-jalan sebentar di sekitar taman kampus. Bersua foto dengan Fany dan Nadya diakhiri aku berfoto berdua dengan Mas Amir.

Ketika foto akan diambil, tiba-tiba Cintya datang. Menarik tanganku kasar lalu berdiri di samping Mas Amir menggantikan posisiku.

"Aku mau foto sama Pak Rahman," ujarnya sembari mengeluarkan ponsel.

Menyadari Cintya ada di sampingnya, Mas Amir memberi jarak antara ia dengan Cintya kemudian menarik tanganku hingga berada diantara mereka.

"Sama Fia juga." Mas Amir mengedipkan sebelah matanya, memberi kode.

Aku tersenyum, ada-ada saja caranya menolak. "Iya, aku juga mau foto sama Mas Amir," balasku tak mau kalah.

"Mas Amir?" Cintya mengernyitkan dahi, bingung.

Aku mengangguk. Fany tersenyum penuh kemenangan ke arah Cintya sedang Nadya hanya memamerkan deretan gigi putihnya.

"Iya, Gus Amir sama Ning Fia," balas Fany menahan tawa melihat ekspresi bingung Cintya.

"Ini jadi ambil foto ndak? Udah capek lho tangan aku kayak gini." Nadya mundur seraya menurunkan kamera yang sempat fokus akan membidik kami.

"Ya jadi lah. Tapi aku maunya sama Pak Rahman aja. Gak mau sama Fia."

Tawa Fany yang sempat tertahan akhirnya pecah. Tak jauh berbeda dengan Fany, Nadya nyengir hingga membuat matanya terlihat segaris sambil berjalan mendekati Cintya.

"Ngapunten, Gus. Teman saya ini perlu sedikit penjelasan." Mas Amir mengulas senyum sambil mengangguk.

"Begini Cin, kalo kamu mau foto sama pak Rahman atau Gus Amir. Kamu harus meminta ijin dulu sama istrinya," jelas Nadya.

"Istrinya?" Cintya membeo.

Fany mengangguk mantab. " Iya, istrinya. Ning Luthfia Nur Habibah Ar Rasyid binti Abdullah Ar-Rasyid. Istri Gus Amir Faqih Rahman bin Saifullah Yusuf."

Cintya menggeleng, masih tak mengerti.

Mas Amir memberi isyarat agar dia saja yang menjawab. "Maaf, keinginan kamu tidak bisa saya turuti Cintya. Jika saya menuruti permintaan kamu, saya takut istri saya memasang wajah masam," balas Mas Amir akhirnya sembari melingkarkan tangan kirinya pada pundakku.

"Mas, wajah Fia ndak masam," sahutku malu-malu.

"Ja... jadi suami Fia itu... Pak Rahman." Cintya terbata. Menutup mulut serta menggeleng tak percaya.

"Jadi dulu waktu Fia hamil dan keguguran itu adalah anak bapak?" Sambungnya lagi.

"Saya dan istri mohon doanya untuk kehamilan kedua istri saya."

Tanpa sepatah kata, Cintya pergi dari hadapan kami. Setelah Cintya pergi, secara tiba-tiba Nady mengulurkan sebuah kertas undangan warna emas pada kami.

"Undangan pernikahan siapa ini, Nad?" Ku amati undangan itu baik-baik. Pada covernya tercetak inisial N dan F di sana.

"Maaf sebelumnya jika terkesan mendadak. Sebenarnya satu bulan yang lalu aku sudah dilamar oleh seseorang. Aku yakin kalian pasti mengenalnya," ucap Nadya tampak salah tingkah.

Karena penasaran, Fany cepat-cepat membuka undangan itu. Tertulis nama pria yang akan bersanding dengan Nadya. Seketika mata Fany membelalak.

"Gus Fauzan."

Nadya membalas ucapan Fany dengan anggukan lemah.

"Iya, Fan. Mohon doanya ya."

****

Setelah wisuda usai, kami bergegas pulang ke rumah. Kata mas Amir dirumah sudah ada tamu istimewa yang telah menanti.

Cepat-cepat aku turun dari mobil ketika mobil berhenti tepat di depan ndalem. Menjinjing gambis navy yang ku kenakan agar tidak menganggu ketika berjalan cepat. Penasaran siapa tamu istimewa itu.

Tangisku seketika pecah, disana telah duduk Abi Umi dan ada Abah dan ibu. Semua tersenyum menyambut. Ku cium punggung tangan mereka satu persatu.

"Nduk, umi sama abi ndak bisa lama. Setelah ini Abi mau ngisi pengaosan di Pemalang." Umi mengelus jemariku lalu beralih pada perutku.

Tangan abi mengikuti Umi mengelus perutku. "Abi bawa pesanan kamu sama Mas Fahmi. Kemarin Masmu baru pulang dari Kudus. Alhamdulillah sempet ziarah ke makam Sunan Muria sekalian beli Parijoto."

Senyumku mengembang. Buah warna merah dengan sensasi rasa asam itu sudah kudapatkan. Senangnya.

"Ibu sama Abah juga ndak bisa lama, nduk. Abah juga mengisi pengaosan di tempat yang sama dengan Abi mu," ucap ibu sembari mengusap puncak kepalaku.

"Ngger, istrinya di jaga baik-baik. Jangan sampai kejadian lalu terulang lagi." Sambung ibu, menasehati mas Amir.

Betapa bahagianya aku, mendapat perhatian dari orang-orang tersayang. Mendapatkan suami yang selalu menghujaniku dengan cinta dan kasih sayang. Seorang pria yang awalnya sering ku sebut dosen tembok es, telah menjelma menjadi suami yang begitu besar cintanya. Selalu mendekatkan ku pada sang Pencipta. Dialah Mas Amir.

****
Pengaosan => pengajian

Semarang 24 Juli 2019
Revisi 25 November 2022

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang