5. Dua sisi

22.7K 946 17
                                    

Hari ini Pak Rahman memboyongku ke rumahnya. Dengan semua persiapan yang ternyata sudah disiapkan Umi Farah jauh hari. Membuka lembaran kisah baru dengan pria yang ada di sampingku.

Setelah kejadian tadi malam, aku tidak berani angkat suara. Kecupan semalam cukup membuat pikiranku tak keruan. Ada gelenjar aneh yang tiba-tiba hadir ketika Pak Rahman berhasil mendaratkan kecupan di  keningku.

Setelah dua jam lebih, akhirnya mobil berwarna hitam yang kami tumpangi memasuki pekarangan sebuah pondok pesantren. Disana tertera nama pondok pesantren yang tak asing bagiku. Pondok pesantren An-Najah, pesantren yang didirikan oleh K.H. Shalahuddin Yusuf. Semua bangunannya memang telah permanen,tapi kesan sederhana tetap melekat.

Sekarang mungkin sebagian masyarakat lebih memilih tidak memondokkan anaknya dipondok pesantren karena dianggap katrok. Padahal sebenarnya pondok pesantren adalah paket komplit. Tidak hanya mengajarkan pendidikan agama saja, melaikan melatih kemandirian serta kesabaran para santrinya dengan segala kegiatan yang ada didalamnya. Dan yang tak ketinggalan adalah pendidikan tata krama, tawadluk, sopan santun atau orang jawa menyebutnya unggah-ungguh yang diajarkan kepada para santri. Itulah nilai lebih dari pondok pesantren yang sudah dilupakan oleh sebagian besar masyarakat sekarang.

Selain hal itu, belajar agama di pondok pesantren lebih mengutamakan kejelasan redaksi sanad ilmu yang diperoleh hingga sampai pada Rosulullah. Contohnya seperti kita mengaji salah satunya kitab al Muwatta' karya Imam Malik. Dari kitab itu jika kita mengaji di pesantren maka kita dijelaskan oleh seorang guru, dan dari situlah kita paham apa yang ada didalamnya. Pejelasan guru tersebut berasal dari gurunya kemudian gurunya lagi berasal dari gurunya lagi terus hingga sampai pada pengarang kitab. Dan pengarang kitab tersebut dapat menuliskan apa yang ada di dalam kitabnya berdasarkan ilmu yang diperoleh dari gurunya hingga sanadnya sampai pada Rosulullah SAW. Hal itu tidak akan diperoleh jika seseorang tidak belajar langsung dari seorang guru yang benar-benar memiliki kapasitas dalam mengajarkan ilmu tersebut dan memiliki sanad ilmu yang jelas.

Sebuah suara dengan nada datar mulai menggusurku dari lamunan.

"Kita sudah sampai. Kamu bisa ganti baju dahulu, setelah itu kita berangkat ke kampus."

Aku tersentak ketika merasakan sebuah sentilan di keningku. "Astaghfirullah. Maaf, Pak. Ada apa?" tanyaku yang memang tidak tahu apa yang tadi dia ucapkan.

Tak ada balasan, Pak Rahman malah mendekatkan wajahnya mengikis jarak kami.

"Apa yang mau bapak lakukan?" Pikiranku mendadak eror. Tanganku secara refleks menyilang di dada.

Tak!

Kembali satu sentilan mendarat mulus dikeningku.

"Bersihkan pikiran kotor dari kepala kamu. Saya cuma mengingatkan kamu untuk ganti baju, atau kamu memang mau ke kampus menggunakan baju tidur dengan bawahan sarung batik seperti itu? Saya tidak masalah kalau kamu berpenampilan seperti itu."

Aku yakin saat ini wajahku pasti sudah memerah, menahan malu dan kesal dengan perbuatan Pak Rahman. Tidak adakah cara yang lebih lembut ketimbang menyentil?

"Cepat masuk rumah dan ganti baju. Kalau terlalu lama nanti saya tinggal. Apa mungkin kamu memang ingin saya suruh angkat kaki dari kelas saya karena terlambat?"

Ternyata sifat hangatnya kemarin usai akad sudah menguap begitu saja.

Tanpa menjawab pertanyaan darinya, aku keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju sebuah rumah sederhana dengan gaya jawa klasik yang akan menjadi tempat tinggal baruku.

Langkahku terhenti tepat di depan pintu rumah itu. Bukan melanjutkan langkah, namun aku malah berbalik mendekati mobil hitam yang tadi kutumpangi. Terlihat wajah bingung dari seseorang yang ada di dalam mobil ketika melihatku berjalan mendekatinya lagi.

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang