12. Muqoddimah yang berat

11.4K 595 17
                                    

Tak seperti biasanya, kali ini libur tiga hari yaitu Jumat disambung akhir pekan nyatanya tak membuat Dosen melonggarkan pikirannya ketika memberi tugas. Tugas merangkum tiga bab sekaligus adalah santapan utama yang harus kami lahap pada pertemuan kali ini.

Muqoddimah masuk setelah libur tiga hari kali ini sungguh berat dan melelahkan. Beruntungnya diriku hanya menyisakan dua matkul saja pada semester ini. Jadi, membuatku bisa sedikit bernafas lega walau nyatanya tugas merangkum itu seratus dua puluh halaman bacaan yang harus kupahami untuk menarik sebuah kesimpulan dari rentetan kata yang panjang pada setiap bab. Waktu mengumpulkan pun hanya diberikan sampai Dzuhur, usai Salat. Dua jam waktu yang diberikan oleh dosen kami.

Tahukah kalian siapa dosen yang dengan murah hati memberikan tugas mulia merangkum tiga bab itu? Dialah Gus kesayanganku. Gus Amir, alias Pak Rahman.

Sudahlah, mungkin ini salah satu jalan berliku yang harus kami lalui dengan gagah agar tak tumbang di tengah jalan berjihad tholabul ilmi dan menggapai cita-cita.

Semoga dengan ini kami bisa belajar lebih bersabar dan sami'na wa atho'na pada guru-guru yang ikhlas memberikan ilmunya pada kami. Berharap semoga ilmu yang diperoleh dari para guru kami menjadi barokah dan bermanfaat.

"Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga," seruku bersamaan dengan adegan peregangan otot jemariku yang sempat keriting.

"Aku juga udah selesai. Habis ini kamu langsung pulang apa mau ikut aku sama Nadya ke toko buku?" tawar Fany padaku.

"Kayaknya aku langsung pulang deh, Fan. Ndak enak kalau sering keluar dan masrahin tugas masak sama Mbak-mbak."

"Fia, bukannya kita nanti ada jam nya pak Haris?" tanya Nadya padaku dengan ekspresi aneh sok mikirnya sembari meletakkan telunjuk kanannya di pelipis.

"Masyaallah, Pak Haris ndak masuk. Jadi kali ini kosong. Kalo nggak kosong mana mungkin kamu bisa punya rencana pergi ke toko buku. Udah aku ke ruangannya Mas Am.. eh! Pak Rahman, ngumpulin tugas ini." Hampir saja aku keceplosan. Untungnya segera kuhentikan. Habislah diriku jika aku meneruskan ucapanku tadi.

"Cie yang udah punya Mas istimewa, alias Mas suami," balas Nadya menggodaku. Namun, hanya kuanggap angin lalu saja.

Dalam hal mengumpulkan tugas dan melobi dosen, memang akulah yang mengemban mandat itu dari teman sekelas.

Tak mau membuang waktu. Langsung saja aku menuju ruangan Pak Rahman. Karena aku yakin, saat ini pasti dia sudah menunggu.

****
"Mas, Fia mau tanya boleh?" tanyaku sembari memperhatikannya yang serius menatap jalanan.

"Boleh, tapi nanti di rumah saja. Mas lagi fokus nyetir, Dek," balasnya, sesekali melirikku dengan ekor matanya.

Tak membutuhkan waktu lama, cukup lima belas menit untuk sampai di rumah. Rasa penasaranku yang belum sempat kutanyakan padanya sejak dulu kali ini kerap muncul dalam benakku. Pertanyaan dari mana Pak Rahman memilki keberanian besar langsung memintaku pada orang tuaku dan bagaimana dia tahu alamat rumahku.

Kuletakkan tas di atas meja belajar lalu merebahkan tubuhku di tempat tidur. Menunggu Mas Amir mengurus sedikit masalah di pondok putra bersama Kang Fikri.
Tak lama, kulihat Mas Amir sudah masuk ke kamar masih dengan pakaiannya yang tadi digunakan di kampus. Ketar-ketir sebenarnya diriku melepaskannya dengan penampilan seperti itu. Karena dia terlihat seperti model tampan jika mengenakan pakaian itu.

"Maaf, Mas lama tadi di pondoknya. Adek tadi mau tanya apa?" ujarnya sambil merebahkan tubuhnya di sampingku.

"Ehm,.. anu Mas, gimana ya ngomongnya. Fia bingung, Mas," ucapku. Kebingungan merangkai kata untuk membentuk sebuah pertanyaan baginya.

"Anu opo sih Dek? Yang jelas tho ngomongnya." Dia menertawakan ucapanku yang terdengar aneh.

Baiklah, bismillah. "Mas kok bisa lamar Fia ke Abi? Padahal Fia ndak pernah ngasih alamat Fia pada Mas."

Mendengar penuturanku Mas Amir bangkit dari posisi berbaringnya, berjalan mendekati lemari kayu, membukanya dan mengambil kotak kecil berwarna pastel yang tersimpan rapi didekat lipatan baju miliknya.
Mas Amir berjalan mandekat lalu menyerahkan kotak itu padaku.

"Dibuka Dek, insyaallah kamu pasti inget kejadian dibalik kertas yang ada di dalamnya."

Perlahan tapi pasti, tanganku bergerak membuka kotak kecil itu. Di dalamnya kutemukan sepucuk surat dengan tinta warna biru bertuliskan Lentera Emas.
Seketika memoriku akan tulisan itu muncul dalam pikiran. Kulirik Mas Amir yang tersenyum sambil sesekali menahan geli melihat ekspresi wajahku. Merah merona dengan kepala tertunduk.

****
Sayur asem pindang dan tempe goreng sudah tersaji cantik di meja makan. Tinggal menunggu Mas Amir datang untuk menyantapnya hingga ludes.

"Mas, monggo didahar," ucapku padanya sambil menunduk. Masih malu melihatnya ketika mengingat kejadian tadi. Aku seperti seorang maling yang terciduk oleh warga.

Kurasakan pinggangku direngkuh dari arah belakang olehnya bersamaan dengan memutar tubuhku hingga posisi kami saling berhadapan.

"Kenapa malu? Mas suka cara kamu mengungkapkan kekaguman pada seseorang. Yah, walaupun itu tergolong ekstrim."

Kusembunyikan wajahku di dada bidangnya. "Itu udah lama banget lho Mas. Jangan dibahas lagi. Aku malu."

"Kenapa mesti malu sih, Dek. Kan yang dikasih surat ndak mempermalukan kamu. Malah sekarang dadanya jadi tempat sembunyi wajah merona kamu." Kelakarnya padaku.

"Pokoknya aku malu, Mas. Salah Mas juga nunjukkin itu."

"Hahaha, kalo ndak ditunjukkan nanti kamu makin penasaran alesan Mas melamar kamu. Jawabannya ya karena Mas udah terlanjur suka sama penulis puisi Lentera Emas itu." Luluh lantak sudah hatiku. Kau porak porandakan benteng pertahanan hatiku dengan nuklir cintamu Mas.

"Mas Amir!!" Pekikku masih dengan wajah merona seperti tomat.

****
Alhamdulillah...up lagi
Monggo diwarnai bintangnya

Semarang 21 Januari 2019

Revisi 31 Desember 2021

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG UTAMA

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang