بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صلي على سيدنا محمدJADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****
Dalam kamar dengan tulisan Kaligrafi pada dindingnya saat ini aku berada. Di kamar yang telah resmi menjadi kamarku lima bulan yang lalu ini pikiranku kembali melayang, memutar adegan perbincangan yang terdengar sangat menyenangkan antara Mas Amir dan Mbak Fatma. Mengingat itu hatiku kebas, merayap pada semua sisi tanpa terlewati.
Setelah tadi sempat merasakan mual, aku dibantu Mas Amir berbaring sebelum dia beranjak ke dapur untuk membuat wedang.
Aku tak tahu bagaimana kondisi hatiku saat ini. Sedih, kesal, tak terima dan marah berkumpul menjadi satu. Semua diaduk hingga rasa sakitnya begitu terasa.
Seolah semua baik-baik saja, dia memberi senyum tulus ketika tadi memasuki kamar. Mengantar semangkok bubur ayam dan mengulurkan tangannya hendak menyuapiku.
Aku bergeming, membalas perlakuannya dengan diam. Hatiku sebenarnya berontak dengan tindakanku, tapi semua itu terus saja kutahan. Maafkan aku jika kali ini ego lebih kuturuti.
Ya Allah, hamba mohon ampun atas semua tindakan buruk hamba kali ini pada suami hamba. Merasa belum mampu menghapus bayang percakapan dua insan itu dari pikiran. Hatiku lemah, melihat pria yang kucintai memberi perhatian lebih pada sosok lain. Aku hamba daif ya Allah.
Ditempat lain, pintu kayu yang bertuliskan Al firdaus tertutup sempurna. Dalam kamar yang berukuran tidak begitu besar itu terlihat seorang gadis yang masih terisak. Air mata terus saja berlomba membanjiri wajahnya.
"Sudah Lat, kamu tidak salah. Kamu peduli pada Mbak Fatma dan kamu juga tidak ingin Fia terluka, itu bukan kesalahan," ucap gadis yang duduk bersila di depannya.
"Tapi Mbak, aku bingung bagaimana menjelaskan ini pada Ning Fia. Aku akui Mbak Fatma memang salah karena menedekti Gus Amir yang sudah jelas beristri, tapi dia melakukan itu karena tidak tahu. Tapi aku juga tidak mungkin langsung mengatakan secara gamblang pada Mbak Fatma kalau Ning Fia itu istri Gus Amir." Tangan Latifah terangkat menghapus sisa air mata di pipinya.
"Yang Mbak Fatma tahu, Ning Fia itu adik dari Gus Amir. Tapi aku belum berani mengatakan yang sebenarnya, apalagi kondisi Mbak Fatma baru saja sembuh dari depresi dan trauma. Ucapan Gus Amir beberapa waktu lalu hanya untuk membuatnya lebih tenang. Aku takut penyakit itu kumat jika aku mengatakan semuanya," sambungnya lagi.
Fany memutar otak, mencari cara bagaimana mengatakan semua itu pada Fatma.
"Untuk urusan Fia biarlah Gus Amir yang menjelaskan. Sedangkan untuk memberitahu Mbak Fatma, kita minta tolong salah seorang santri putra yang dekat dengan Gus Amir untuk menyampaikan itu. Aku yakin, jika yang mengatakan itu orang terdekat dari Gus Amir, pasti Mbak Fatma bisa percaya."
Latifah tersenyum, inilah yang selama ini dibutuhkan. Solusi menyelesaikan masalah rumit ini.
"Kalau begitu kita minta tolong Kang Fikri saja Mbak, dia orang yang paling tepat menurutku," usul Latifah pada Fany.
Mendengar nama Fikri disebut mood Fany tiba-tiba menghilang. Kenapa harus Kang Fikri, sosok menyebalkan itu.
Fany mengembuskan napas berat. "Apa ndak ada yang lain, Lat?"
"Ayolah Mbak, hanya Kang Fikri santri putra yang paling dekat dengan Gus Amir. Apalagi dia juga sudah tau mengenai masalah ini sejak lama."
"Baiklah." Putus Fany pada akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...