بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمدJADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****
'jangan khawatirkan sesuatu yang sudah Allah jaga. Entah saat bersamamu atau telah pergi meninggalkanmu.'
~ My Future Gus ~
__________
Hamparan pepohonan rindang nan elok terpampang di hadapanku. Hembusan angin begitu segar menyapa. Menyentuh kulit dengan lembutnya membuatku terbuai.
Aku terduduk pada kursi kayu panjang. Berteman bunga mawar merah yang berjajar rapi di sampingnya.
Indah, bahkan sangat-sangat indah. Aku merasa sangat nyaman berada disini.
Kupejamkan mataku, benar-benar menikmati suasana yang ada. Perlahan mataku kembali terbuka, menyapu pandangan di hadapan untuk memanjakan mata. Aku seperti berada di negeri dongeng. Sungguh, luar biasa. Segala puji bagi Allah, Sang Pencinta yang tiada tanding dan duanya.
Bangkit dari duduk, aku mulai berjalan mendekati sebuah danau kecil dengan air yang begitu jernih. Ketika sampai di sana, sayup-sayup suara terdengar dari arah belakang pepohonan rindang. Kakiku bergerak, berjalan mencari dari mana suara itu datang.
Suara itu semakin jelas terdengar ketika aku sampai pada hamparan rerumputan hijau di dekat pepohonan rindang itu. Tak berselang lama muncul seorang pria paruh baya dengan wajah elok dan berseri datang menghampiriku.
"Nduk, duduklah." Pintanya padaku sambil menepuk sebuah karpet kecil yang dia jadikan alas duduk.
Wajahnya seperti tak asing bagiku. Aku seakan familiar dengan wajahnya. Aku sangat-sangat mengenal wajahnya, tapi tidak tau siapa beliau sebenarnya?
Kucoba terus mencari keping ingatanku tentang pria paruh baya ini. Memoriku kembali memutar setiap kejadian yang bisa menjadi kata kunci untuk mengetahui siapa dirinya. Mataku terbelalak tak percaya manakala kudapati kepingan memoriku ketika memandang sebuah foto yang terpajang di ruang tengah. Foto seorang yang begitu disegani dan berwibawa. Wajah sepuh dan pakaian sederhana melekat padanya. Dialah Abuya Yusuf, Kakek dari mas Amir.
Kuraih tangannya, mencium dengan penuh takdzim. "Abuya," panggilan itu keluar begitu saja dari bibirku. Aku masih tak percaya kami dipertemukan disini.
Tangannya terangkat, mengusap puncak kepalaku. "Nduk, jangan khawatirkan sesuatu yang sudah Allah jaga. Entah saat bersamamu atau telah pergi meninggalkanmu. Yakinlah pada Allah, setiap keputusan-Nya pasti yang terbaik bagi kita. Sabar, baik dalam ujian, meninggalkan maksiat ataupun dalam kesenangan. Selalu ingat, bahwa Allah itu Maha Baik. Sambutlah kehadiran buah kesabaran dengan tetap selalu mengingat Allah. Jangan lupa selalu sertakan Allah dalam setiap langkahmu." Tangan Abuya masih setia mengusap kepalaku. Seakan memberi semangat dan kekuatan mengarungi setiap rintangan dalam kehidupan melalui pertuah barusan.
Wajah berkarismanya memandangku. Terbit ukiran kecil berupa lengkungan tipis dari bibirnya. Subhanallah, wajah teduh itu sungguh menenangkan.
Namun ada hal yang tak bisa ditepis dari wajah beliau. Benar-benar begitu mirip dengan Mas Amir. Bahkan cara bertutur kata beliau pun juga tidak jauh berbeda dengan Mas Amir.
Terlalu hanyut dalam karisma Abuya hingga membuatku tak menyadari telah duduk seorang anak kecil di pangkuanku.
"Umi," ucapnya sambil menyentuh pipiku dengan jemari mungilnya.
Siapakah anak kecil ini? Mengapa hatiku terasa nyaman ketika dia duduk di pangkuanku dan menggenggam tanganku, bahkan aku senang dia memanggilku Umi. Tangan mungilnya begitu lembut dan lemah. Dan ya, wajah lucunya yang memandangku bagai salinan dari perpaduan wajahku dan mas Amir. Apakah dia anakku? Bagaimana mungkin, bahkan aku tidak sedang hamil. Sebenarnya mimpi apa ini? Seakan semua begitu nyata, tapi juga terlihat seperti fatamorgana.
Mengerti dengan kebingunganku, Abuya mengangguk tipis. "Dia putramu dan Amir, Nduk. Namanya Ja'far, dia akan bersama Abuya disini."
Aku sekarang mengerti, anak kecil ini memang anakku. Kehangatan menggenggam jemarinya adalah bukti kekuatan ikatan darah antara ibu dan anak. Tidak salah lagi.
"Ja'far." Kupeluk tubuhnya erat dengan air mata berlomba membanjiri pipi. Isakan terdengar pedih keluar dari bibirku. Aku terluka, bagaimana bisa tidak mengetahui kehadirannya. Aku bodoh, bagaimana seorang ibu tidak bisa menjaga putranya. Dia akan pergi bersama Abuya. Lalu bagaimana denganku? Apa aku siap kehilangannya?
Tubuh mungil dalam dekapanku bergerak. Melonggarkan pelukanku, mengusap butir bening yang ada di pipiku. "Umi, jangan menangis. Ja'far sedih melihat Umi menangis. Ja'far sayang Umi dan Abi. Disini ada Abuya, Umi jangan sedih, ya." Suara itu, ah! aku tidak bisa berkata apapun selain menangis.
"Umi sayang banget sama Ja'far. Maafkan Umi ya, jika Umi membuat Ja'far tidak bisa bertemu Abi. Maafkan Umi.." Betapa pedih hati ini, buah cinta yang diam-diam kami dambakan harus pergi sebelum terlahir ke dunia.
"Umi pulang, ya. Abi sudah menunggu Umi," ucapannya lirih. Aku menggeleng. Kembali hati ini harus menanggung pedih. Retak, bahkan hancur.
Hati ibu mana yang tidak sedih jika harus berpisah dengan anaknya.
"Pulanglah, nduk. Kasihan suamimu. Ja'far akan baik-baik saja bersama Abuya." Pinta Abuya padaku.
Sungguh aku tak rela harus berpisah dengan Ja'far. Bagaimana mungkin aku menjalani kehidupan tanpa Ja'far. Dialah buah cintaku, lambang cintaku dan mas Amir. Anugerah Allah yang dititipkan pada kami.
"Tapi Fia ingin bersama Ja'far, Abuya. Fia ingin kembali bersama Ja'far." Rengekku pada Abuya.
"Tidak bisa, nduk. Kembalilah, biarkan Ja'far bersama Abuya."
Tangan mungil Ja'far tak pernah terlepas dari genggamanku karena aku tidak ingin berpisah dengannya. Dia putraku. Ya Allah, ijinkan Ja'far bersamaku.
"Umi, Ja'far tidak bisa ikut Umi. Tempat Ja'far disini, tapi tempat Umi tidak disini. Ja'far sayang Umi dan Abi." Dikecup bergantian kedua pipiku olehnya, perlahan melepas genggamanku kemudian bangkit dari pangkuanku. Berjalan bersama Abuya menuju cahaya putih yang begitu terang lalu perlahan lenyap.
Tinggallah aku sendiri, memanggil-manggil Ja'far berulang-ulang hingga suaraku menghilang. Sampai kudengar suara Mas Amir memanggil namaku. Suara itu terdengar jelas oleh telingaku bahkan sangat keras dan tepat ketika mataku terbuka, wajah suamiku itu yang ada di depanku dengan senyuman berlatar dinding ruangan bercat putih.
****
Semarang, 6 Juni 2019
Revisi 4 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...