38. Hanya ada satu cinta

8.8K 523 16
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Hanya ada satu cinta yang mampu dia berikan ijin menduduki tahta permaisuri. Tanpa mendua atau berbagai. Sebenarnya hati kecilnya terkunci satu nama yang datang tiba-tiba dan berhasil meluluh lantakkan segalanya. Hanya cinta itu yang seharusnya terpilih. Bukan cinta lama yang entah masih tersisa atau telah sirna tersapu waktu.

Kang Fikri mengembuskan napas berat. Bingung menentukan pilihan. "Hah, Ya Allah ..."

Flashback on

Isak dua orang sahabat itu terdengar pilu. Menelusup hingga ulu hati paling dalam. Air mata keduanya meluncur deras manakala mendapati berita duka.

Bukan sang sahabat yang pergi, tapi buah cintanya lah yang tidak mampu bertahan. Benturan keras membuat janin itu luruh, darah bercucuran deras hingga membuat nyawa janin itu tak lagi tertolong.

Mungkin mereka sangat kehilangan, tapi ada yang lebih merasa kehilangan lagi yaitu suami dari sahabatnya. Sekarang yang diharapkan adalah sang ibu dari jabang bayi yang telah tiada itu baik-baik saja. Khawatir dengan satu nyawa yang masih  terbaring di atas brankar ruang operasi.

Jemari besar suami Fia tak berhenti memutar butir tasbih yang digenggam. Bibirnya tak luput dari dzikir. Berharap satu nyawa itu tetap bertahan.

"Gus, saya sama Nadya ke pondok dulu mau mengabari Gus Azam," ucap Fany mengingat warga pondok belum tahu tentang musibah ini.

Kepala Gus Amir yang awalnya tertunduk perlahan terangkat. "Tolong kamu minta tolong Azam menyiapkan beberapa baju ganti untuk saya dan Fia."

Fany mengangguk disela  memandang wajah Gus Amir. Dia  melihat ekspresi wajah dosennya itu yang tampak tegar menghadapi musibah ini meski sorot matanya tak mampu berbohong bahwa sesungguhnya merasakan kesedihan.

Tak ada air mata yang lolos dari matanya. Wajah tegasnya masih nampak kokoh menyembunyikan kerapuhan.

Fany dan Nadya masuk ke ndalem setelah mendapat pesan dari Azam untuk mengambil tas berisi baju yang sudah disiapkan di ruang tengah. Keduanya berjalan bersama menjinjing tas besar itu menuju tujuan mereka, teras.

Sesampai di sana ada beberapa pengurus pondok yang datang. Berita Fia keguguran telah tersebar. Azam adalah juru berita atas tersebarnya berita ini. Entah dimana Azam sekarang, sungguh penyebar berita tak bertanggung jawab. Harusnya dia turut serta membantu menjawab bukan malah pergi.

Tak berselang lama seorang pria yang dihindari Fany datang.  Dengan penuh keyakinan dia  berdiri di depan kumpulan kepala yang ingin tahu keabsahan berita yang beredar. Suara beratnya menjawab pertanyaan yang ada pada benak orang-orang tersebut. "Minta doanya untuk Ning Fia yang sedang menjalankan operasi pengangkatan janin. Dan saya juga minta tolong agar warga pondok tetap menjalankan aktivitas seperti biasa."

Setelah pembacaan Ummul kitab yang dikhususkan untuk kelancaran operasi Fia, satu persatu membubarkan diri. Tersisa beberapa santri putra yang diminta tolong oleh pria itu menyiapkan pemakaman putra pengasuh pondok mereka.

"Kalian sama saya ke rumah sakitnya. Gus Amir pesan begitu. Masalah ndalem ada Azam yang urus." Tanpa menunggu jawaban Fany dan Nadya pria itu langsung masuk ke ndalem menyambar kunci mobil yang tergantung di dekat ruang tamu.

"Kang, apa keluarga Fia dan Gus Amir sudah tau kabar ini?"

"Sudah, Azam yang mengabarkan."

Dengan langkah besar dia meminta kami mengikuti, berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pohon mangga samping ndalem. Kepala Kang Fikri terangkat, memberi isyarat pada Fany dan Nadya untuk segera masuk.

Sambil menjinjing tas yang cukup besar, dua orang dengan jenis kelamin berbeda itu berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Ya, hanya mereka berdua, Fany dan Kang Fikri. Nadya tidak bisa ikut serta dikarenakan sang ibu  dikabarkan pingsan oleh tetangganya. Dia diminta segera  pulang untuk melihat kondisi ibunya.

Hanya keheningan yang mengisi selama mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang rawat Fia. Keduanya fokus pada pikiran masing-masing.

"Ih, berat tenyata. Tahu begini mending aku minta Azam bawakan koper." Fany berdecak, kenapa tak terpikir meminta Azam membawakan koper saja tadi.

Kang Fikri menoleh ke belakang, menggeleng pelan. Melihat Fany tampak kesusahan membawa tas besar yang dijinjing. Berjalan menghampiri.

"Kamu bisa meminta tolong pada saya. Bila kesusahan mintalah bantuan, bukan malah terus mengeluh saja." Kang Fikri  mengambil tas yang dibawa oleh Fany.

"Begini kan enak. Sekarang bilang apa sama pria tampan seperti saya?" Goda Kang Fikri pada Fany.

Tidak ada jawaban dari Fany, dia malah memalingkan wajah. Malas berurusan dengan pria yang ada di depannya.

Kang Fikri terkekeh geli melihat tingkah Fany. Ternyata gadis di hadapannya ini lucu juga.  "Biasakan berucap terima kasih, maaf dan tolong," sambungnya.

Masih dengan wajah masam Fany berjalan mendahului kang Fikri. Meninggalkan pria itu yang kali ini menarik tipis kedua sudut bibirnya, bahkan disertai desiran lembut dalam hatinya tapi begitu mengusik.

"Hanya ada satu cinta. Kurasa cintaku mulai terpaut padamu." Gumamnya melihat punggung Fany kian menjauh.

Flashback off

Semua masalah tentang dua gadis itu berputar dalam pikirannya. Keyakinan, hatinya tertuju pada satu nama. Namun pada kenyataannya dia dihadapkan antara dua pilihan.

"Sekarang aku hanya ingin meneruskan apa yang telah berjalan, Zam," ucap Kang Fikri menepis keyakinan hatinya.

Mungkin saat ini dia bisa menepis, tapi esok atau lusa jika jawaban pinangan iya itu telah diterima dia tak akan pernah bisa lagi menolak keputusan mendadaknya itu.

"Semoga tidak ada penyesalan, Kang," balas Azam.

***

"Mbak, jangan seperti ini." Tangan gadis itu mencengkram bahu lawan bicara yang duduk di hadapannya.

Hancur, benar-benar menyedihkan. Seharusnya sejak awal dia percaya bukan malah mengelak kenyataan. Lihatlah, dia merasa menjadi tokoh jahat dalam kisah ini.

"Aku bodoh." Gadis itu terus saja memukul kepalanya. Meluapkan amarah pada dirinya sendiri.

"Mbak Fatma, cukup! Sekarang bukan waktunya menyalahkan diri sendiri."

Tangis gadis itu kembali pecah mengingat betapa bodoh atas  tingkahnya selama ini. "Aku merasa bersalah, Latifah."

Latifah membawa tubuh sosok yang dianggap Kakak olehnya itu  dalam pelukan. "Sekarang lebih baik kita berdoa. Minta pada Allah agar operasi Ning Fia berjalan lancar dan semua keluarga ndalem di beri kesabaran. Itu yang paling dibutuhkan olehnya saat ini."

"Apa Ning Fia akan memaafkanku?"

Latifah mengangguk. "Insyaallah, Mbak. Ning Fia bukan sosok pendendam."

Latifah sadar, sosok yang dewasa ini sekalipun jika dihadapkan dalam kondisi seperti ini akan lemah. Ini tugasnya untuk menguatkan, bukan menyalahkan.

"Apakah ini waktu yang tepat menjawab pinangan dari Kang Fikri, Latifah?"

"Ini saatnya Mbak Fatma berhenti mengejar bayangan semu. Bangunlah kebahagian baru bersama dia yang menanti kehadiran cinta dari Mbak."

***

Alur mulai mundur.. nikmati saja, cerita berjalan sesuai ide saya. Ending happy or sad sesuai keinginan saya. 😊

Semarang, 23 Juni 2019
Revisi 5 Januari 2022

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang