بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
Belum sesuai target vote tapi sudah Fia update. Maaf buat yang nunggu lama. Ngapunten..
Kemarin Sabtu saya sekeluarga baru ditimpa musibah, Mbah Putri saya dipundut kalih Gusti Allah. Meninggal
Sekali lagi maaf nggeh buat yang pada nunggu lama. Maaf kemarin mood kurang baik, jdi minta vote biar semangat. Sekarang saya ndak pasang target vote lagi....
.
.
.
.'Harapan boleh menjulang, ambisi bolehlah tinggi. Namun, ketahuilah bahwa takdir yang Maha Kuasa tidak mampu terlawan dengan itu semua.'
~My Future Gus~
🌸🌸🌸
Hanya tatapan kosong, pandangan sayu serta raut lesu yang ada diwajahnya. Bagai sebuah patung, raganya tak bergerak. Jiwanya kosong, melalang buana tanpa tujuan.
Setitik harapan bahkan tak terpancar dari mata hitamnya. Hampa, baginya semua hanya suara yang lewat tanpa singgah ke gendang telinga. Pupus, harapan menimang buah cintanya sirna.
"Nduk, sudah. Jangan melamun seperti ini. Kita semua juga kehilangan. Kita harus ridho dengan ketetapan Allah, Dia tahu yang terbaik untuk Ja'far." Suara wanita yang melahirkannya memecah lamunannya.
"Iya, Umi. Fia masih tidak menyangka saja, sebuah kehidupan dalam rahim Fia sudah pergi." Isaknya tertahan. Berusaha menyembunyikan kesedihan yang mendalam dengan menggigit pelan bibir bawahnya.
Satu minggu sudah berlalu, tragedi pedih yang membuat Ja'far tidak bertahan dalam rahimnya telah sedikit ia lupakan. Menghibur diri dengan banyak melakukan kegiatan meski hanya sejenak bisa sedikit melupakan kesedihan itu.
"Umi, Fia ke kamar pengurus dulu nggeh."
"Ya sudah. Fia derek simak an alqur'an, kan?"
"Nggeh, Umi." Setelah menjawab pertanyaan sang ibu, Fia melenggang menuju kamar pengurus putri.
Deretan tanaman bunga melati yang tumbuh di depan kamar santri bagai manik putih yang bertebaran. Pondok ini memiliki banyak koleksi bunga yang tumbuh di sana. Itu semua tidak dapat di temukan jika berada di pondok tempat ia tinggal bersama suaminya. Saat ini Fia sedang berada di kediaman orang tuanya.
Setelah insiden yang menimpanya beberapa waktu lalu, keluarga dari pihak Gus Amir maupun keluarganya sepakat untuk meminta Fia sementara waktu tinggal bersama orang tuanya setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Itu semua mereka lakukan dengan harapan Fia segera pulih dan bisa melupakan kejadian beberapa waktu yang lalu. Semoga kesedihannya segera tersapu dengan kebahagiaan berkumpul dengan keluarganya.
****
Seperti biasa, dua pria bersarung itu selalu menyempatkan diri berbincang di teras ndalem selepas shalat Dzuhur. Namun kali ini mereka tak hanya berdua, ada Azam yang juga ikut serta.
"Mantapkan hati kembali sebelum mengambil keputusan. Jangan sampai sampean berhenti di tengah jalan ketika hal itu sudah menuju pada puncaknya. Pikirkan kembali sebelum timbul penyesalan. " Gus Amir tahu pasti bagaimana sifat sahabatnya ini.
Mendengar Gus Amir angkat bicara ia hanya mampu menghela nafas panjang. "Keraguan memang ada, Gus. Tapi, saya ndak bisa terlalu lama berkutat pada masa lalu. Saya ingin membuka lembaran baru."
Giliran Azam yang menghela nafas. Sungguh, permasalahan tentang pinangan saja ternyata sudah begitu rumit. Untungnya sekarang keinginan segera menikah diusia muda sudah perlahan pudar dari impiannya. Ternyata tidak hanya kesiapan dari salah satu aspek saja yang harus terpenuhi, melainkan banyak aspek lain yang juga harus dipenuhi. Misalnya masalah hati atau perasaan dan nafkah. Nafkah? dirinya saja belum bekerja, mau diberi makan apa generasi penerus bangsa nanti.
"Gini ya, kang. Sebelumnya maaf, kalau saya terkesan sok tahu. Walau saya belum berpengalaman dalam hal ini, tapi setidaknya pikirkan matang-matang sebelum njenengan meminang seorang wanita. Ini akan menjadi masalah yang pelik pada akhirnya jika niat awalnya kurang tepat. Tapi, kalau sudah terjadi maka jalankan saja. Sekali lagi maaf, bukan maksud saya menggurui." Kang Fikri mengangguk, membenarkan ucapan Azam barusan.
"Saya hanya mencoba menanam kembali rasa yang pernah saya miliki padanya. Hanya saja kali ini entah terasa berbeda, ada rasa lain yang berbagi menduduki singgasana yang sama. Bingung, Gus." Kang Fikri mendengus, tangannya terangkat memijit kepalanya sambil menyandarkan punggungnya pada dinding.
"Apapun itu asal baik untuk sampean, saya setuju. Tapi jangan lupa sholat, minta petunjuk Allah dan mantapkan hati. Semoga Allah beri yang terbaik untuk sampean."
"Aamiin," jawab Kang Fikri dan Azam.
"Ya sudah, saya mau jemput dek Fia. Sementara saya pergi, tolong pondok di urus dengan baik." Gus Amir bangkit, berjalan meninggalkan dua orang yang masih setia duduk di sana.
Belum sampai pada pintu masuk ndalem, langkah Gus Amir tersendat. Memutar balik badan menghadap dua orang itu. "Zam, kamu ndak mau ikut?"
Azam menggeleng. "Azam titip salam aja buat abi, Umi sama mbak Pia."
Gus Amir mengangguk, kembali melanjutkan langkah menuju ndalem mengambil kunci mobil kemudian bergegas menuju ke garasi.
Setelah kepergian Gus Amir, sesaat suasana menjadi hening. Sekelebat bayangan seorang gadis cantik berputar dalam benak Kang Fikri.
Kang Fikri mengusap wajahnya kasar. "Kenapa aku semakin ragu, harusnya keyakinan ini semakin kuat." Kang Fikri bergumam, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Njenengan tidak bisa begini, Kang. Harus ada keputusan pasti jika tidak ingin menyakiti salah satunya. Belum terlambat, Kang. Meski sulit tapi tetap harus dilakukan." Pandangan Azam menerawang ke depan. Harus ada satu hati yang menduduki singgasana cinta, sulit jika harus berbagi. Adil dengan keduanya bukan perkara mudah.
Wajah frustasi Kang Fikri begitu kentara ditambah lagi dengan tingkahnya. Dia tak pandai menyembunyikan apa yang sekarang dirasakan. "Aku sudah meminangnya, Zam. Tidak mudah bagiku untuk mundur walau belum ada kepastian darinya. Pengecut aku jika mundur hanya karena rasa yang tiba-tiba muncul dan merubah segalanya." Balas kang Fikri berusaha menepis keraguan. Terus meyakinkan dirinya bahwa keputusannya sudah benar.
Niat awalnya adalah mencoba menggali rasa yang dulu sempat ada. Berharap dapat mengubur duka kelam yang selama ini bermukim dalam pikirannya. Melambai pada masa lalu yang membayang. Namun di luar perkiraan, ada rasa lain yang hadir serta menyusup sedikit ruang kosong hatinya hingga ia meragukan keputusannya sendiri.
"Hampir satu bulan belum ada kepastian. Dia bahkan enggan membicarakan hal itu. Lebih baik mundur atau menunggu keputusannya, semua itu ada di tangan njenengan." Hanya sedikit nasihat itu yang saat ini mampu Azam berikan.
Kang Fikri semakin dilema. Jika dia mundur itu sama saja membuang waktu percuma untuk menunggu selama ini. Tapi jika ia lanjut hanya ada dua kemungkinan, diterima atau ditolak. Jikalau pinangannya diterima, lalu bagaimana dengan benih cintanya pada gadis lain yang mulai bersemi? Bahkan kuncupnya pun telah sempurna mekar.
Seperti dua logam mulia, yang satu berlian yang satu lagi emas. Harus memilih satu diantara keduanya itu sulit. Keduanya sama-sama berharga. Kenapa oa harus dihadapkan dengan dua pilihan sulit ini?
****
Setelah ini alur akan aku tarik mundur.. kejadian-kejadian sebelum Fia sadar.
Semarang, 18 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...