Aku gemes baca komentar kalian, pada su'udzon sama Gus Amir. Jangan gitu, kasihan lho Gus Amir nya. Misua yang sabar ya...😄
Part Ini buat meluruskan saja. Jadi aku sengaja buat singkat.
Karena komentar and vote kalian, notif wp aku muncul terus. Aku ndak jadi jeda update buat hari ini...
Tapi makasih juga udah mau meramaikan😁, matur suwun...
Alqurannya jangan lupa dibaca, baca wp buat hiburan aja ya😊
______بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صلي على سيدنا محمدJADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****
Pria itu terlihat begitu terkejut ketika membuka pintu kamarnya yang tadinya terkunci. Tampak wanita yang amat dicintainya tertindur dilantai dengan posisi bersandar pada ranjang dengan memeluk mushaf sambil menangis. Tangisannya terdengar begitu menyiksa, air matanya mengalir deras membasahi pipi. Mungkin hatinya begitu terluka hingga dalam tidurnya pun dia sampai menangis seperti itu.
Dengan perasaan campur aduk pria itu berjalan mendekat, tanpa aba-aba langsung memeluk erat sang istri. Menenggelamkan tubuh mungil wanitanya pada dada bidangnya. Merasa ini semua adalah kesalahannya, seharusnya dia bisa menjaga hati wanita yang ada di dekapannya sekarang. Hatinya terlalu lembut untuk menerima semua kenyataan ini.
"Maafkan aku, Dek. Aku terima semua pikiran burukmu tentang semua sikapku selama ini. Aku tahu kamu berpikir suamimu ini adalah orang yang suka mempermainkan hati. Tapi percayalah, sebenarnya tidak seperti itu. Kondisi yang memaksaku melakukan itu. Jadi kumohon, jangan siksa dirimu dengan menangis seperti ini. Akan aku jelaskan semuanya ketika pikiran dan hatimu lebih tenang nanti." Gus Amir mengecup puncak kepala sang istri berkali-kali.
Setelah tangis istrinya berhenti, Gus Amir perlahan melepaskan pelukannya. Mengangkat tubuh mungil Fia yang ada dipeluknya dari lantai lalu merebahkannya di atas ranjang.
Tangan sosok berjambang tipis itu terulur, menghapus jejak kesedihan di wajah wanitanya yang tengah tertidur. Dia terkejut ketika tangannya menyentuh pipi mulus itu ternyata panas.
Rasa bersalah dalam dirinya kian membuncah manakala mendapati wanita yang telah sah menjadi istrinya beberapa bulan yang lalu kecewa hingga sakit seperti saat ini. Bukan hanya hatinya yang terluka, tapi raganya turut andil merasakan.
"Dek, maafkan Mas."
Gus Amir bangkit, berjalan mendekati lemari lalu membukanya kemudian mengambil selimut warna biru dari sana. Menutup sebagian tubuh istrinya itu, memposisikan selimut itu agar nyaman. Tak berhenti sampai disitu, tangannya kemudian beralih melepaskan kerudung yang dipakai istrinya.
Memandang lekat wajah istrinya itu. Kedua telapaknya meraup wajah kasar, mendengus pelan. Dia beranjak ketika napas teratur sang istri terdengar, pertanda tertidur dengan pulas."Mas keluar sebentar. Nanti Mas bawakan bubur buat adek." Pria itu kembali merapikan selimut Fia.
Sebelum keluar Gus Amir mengecup kedua pipi Fia bergantian. Mengusap keningnya lembut.
"Pak Rahman mu ini akan menjaga hatinya untukmu, Ning Fia," gumamnya sebelum melenggang keluar kamar.
****
Pria bertubuh jangkung berjalan cepat memasuki rumah dengan ukiran di pintu kayunya. Kekhawatiran mendominasi wajah tampannya itu. Sepenggal kabar diperoleh dari kakak iparnya bahwa kakaknya sedang sakit.Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat sang kakak ipar berdiri di depan pintu kamarnya. Banyak pertanyaan berputar dalam pikirannya. Setahunya, esok tadi Mbak Pia, kakaknya masih baik-baik saja. Kenapa sekarang malah terkapar lemas dalam kamar.
"Mas Amir, Mbak Pia sakit apa?" tanyanya tepat saat orang yang di panggil Mas Amir ada di depannya.
"Mungkin kurang istirahat, badannya panas," jelas Gus Amir kurang bersemangat.
"Azam, kamu masih ingat cerita Mas kemarin?" tanya Gus Amir sambil menggiring Azam duduk di atas karpet yang terhampar di ruang tengah.
"Iya, Azam masih ingat. Kok Mas tiba-tiba tanya itu?" Azam mengerutkan keningnya. Merasa sesuatu telah terjadi.
"Atau jangan-jangan Mbak Pia sudah tahu kalau Mbak Fatma suka sama Mas." Tebaknya yang tepat sasaran.
Gus Amir mengangguk lemah, membenarkan apa yang Azam ucapkan barusan.
"Fia tahu itu sejak pertama melihat Fatma begitu perhatian dengan Mas, Zam. Apalagi Fatma sempat mengaku aku pernah ingin dekat dengannya. Mas merasa sangat bersalah, tapi mau bagaimana lagi. Harus perlahan menyelesaikan masalah ini." Azam menepuk pelan pundak kakak iparnya itu. Baru kali ini dia melihat wajah Gus Amir begitu muram.
"Saran Azam sih, Mas cerita aja semuanya sama Mbak Pia, termasuk mengenai Mbak Fatma yang baru saja sembuh dari penyakitnya." Azam tersenyum sambil melihat kakak iparnya.
Azam sebenarnya merasa geli melihat tingkah kakak iparnya yang tampak kusut seperti tadi. Seorang Gus Amir yang datar bisa seperti itu karena sebuah rasa yang tidak diketahui definisinya, yaitu cinta.
Ucapan Azam tadi mungkin lebih dewasa dari umurnya memang benar. Semua salah paham itu harus segera diluruskan agar tidak semakin rumit.
"Ya sudah, Mas keluar sebentar. Mau beli bubur ayam buat Fia. Tolong dijaga baik-baik kakakmu. Jangan sampai kenapa-kenapa." Setelah mengatakan itu, Gus Amir bangkit lalu menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja ruang tengah.
"Nggih, Mas. Tolong berikan saya upah segelas capuccino dan sebungkus gorengan," jawab Azam yang dibalas oleh Gus Amir dengan mengacukan jari jempolnya ke udara. Berjalan menuju samping rumah tempatnya memarkirkan motor.
****
Ig: luthfi_luthfia63
7 Ramadhan 1440 H
Semarang, 12 Mei 2019
Revisi 3 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...