42. Bahagia dan Luka

8.2K 541 46
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

'Semua telah digariskan oleh sang Pencipta. Kita hanya perlu menerima dengan lapang dada.'

~My Future Gus~
____________

Terima kasih bagi semua yang masih setia menunggu dan memberi apresiasi.😘😘

Tak ada suara terdengar, hanya keheningan yang tercipta sesaat setelah kami tiba. Sepasang suami istri yang duduk berhadapan dengan Kang Fikri menatap kami dengan mata berkaca-kaca. Berdiri dari duduknya, menyambut lalu berjalan mendekati kami.

Wanita cantik dengan sedikit keriput di keningnya mengulurkan tangan. Kusambut ulurannya dengan mencium sekilas punggung tangan itu kemudian mundur. Mempersilakan keluarga kecil itu melepas kerinduan. Meluruskan permasalahan yang menjadi dasar hubungan mereka renggang.

Tubuh Fany mematung, kucuran air dari kedua matanya semakin deras. Tanpa kata wanita itu membawa tubuh putrinya dalam dekapan lalu disusul suami dari wanita itu yang tak lain adalah Ayah kandung Fany.

Ketiganya kehilangan aksara. Dengan kebungkaman serta isakan kerinduan yang mendalam, melebur oleh hangatnya dekapan.

"Maafkan Ayah dan Bunda, nak. Kami selama ini telah dzolim padamu. Mengabaikan semua tanggung jawab atasmu karena mengejar harta dunia."

Tangis Fany kian menjadi, mengeratkan pelukan pada tubuh wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Dia meresapi kepedihan yang selama ini dirasa hingga melupakan bagian kecil dari kebahagiaan yang pernah dimiliki

"Bunda tidak bisa jauh darimu lagi, mau dengan alasan apapun nantinya yang bisa saja membuatmu benci pada kami dan terpaksa pergi." Kedua tangan besar milik Ayah dari Fany itu bergerak mengusap punggung sang putri.

Doamu diijabah oleh Allah Fan, bersyukurlah pada sang pencipta kebahagiaan ini. Berbahagialah dengan keluarga kecilmu.

Entah apa yang di katakan Kang Fikri tadi hingga membuat kedua mata orang tua Fany basah air mata

****

Setitik bulir bening jatuh mengenai tanganku. Aku tertegun, menggeleng tak percaya. Begitu cepat balasan Allah berikan atas kesabaranku. Ke ridhoan ku pada takdir-Nya.

Kuhampiri mas Amir tengah duduk di ujung ranjang memangku laptop.
Wajah serius itu menatap laptop tanpa berkedip. Tak menyadari kehadiranku yang berdiri tepat dihadapannya.

"Assalamu'alaikum, pak Rahman." Mendengar suaraku, tatapan yang awalnya pada laptop beralih padaku. Mengulum senyum, menarikku hingga duduk di sampingnya.

"Wa'alaikumussalam. Ada yang bisa saya bantu?" balasnya dengan seringai pada bibir.

Aku menggeleng lemah. "Saya hanya ingin menunjukkan sesuatu pada bapak. Semoga bapak senang."

Dahinya mengernyit. Menatapku seolah bertanya ada apa. "Sesuatu apa?"

Aku tersenyum. Meraih tangan kanannya, mengecup punggung tangannya singkat lalu menuntunnya menyentuh perut rataku.

Mas Amir menatapku bingung. "Sesuatu apa?"

Kuberikan benda kecil dengan dua garis merah padanya. "Hadiah untuk bapak yang berbaik hati memberikan nilai bagus pada sidang saya."

Matanya membulat sempurna. Seketika meraih tubuhku kedalam dekapannya disertai kecupan pada puncak kepalaku.

"Alhamdulillah, Allah kembali percayakan kita seorang anak."

Perlahan mas Amir mengurai pelukan kami. Menatap dua bola mataku intens lalu menundukkan badan mencium perutku yang masih rata.

"Semoga Allah jadikan anak turun kita menjadi hamba Allah yang Sholeh dan sholekhah," ucapnya lembut sembari mengusap perutku.

Ku aminkan doa yang ia panjatkan. Setitik bulir bening luruh dari kedua mataku. Doa itu begitu menggetarkan jiwa, menarik setiap kesadaranku untuk menatap sorot mata penuh kebahagiaannya.

'Ja'far, kau akan memiliki seorang adik. Semoga kau bahagia di sana, nak.' Batinku, mengingat putra pertamaku yang telah tiada.

Janji-Mu nyata Ya Allah.

****

Suara riuh dari kamar pengurus mengundang rasa penasaran Fany. Baru beberapa jam meninggalkan tempat itu sekarang berubah menjadi tempat tontonan para santri putri.

"Atikah, ada apa di dalam? Kok rame banget." Tanyanya pada salah seorang santri putri yang berdiri di depannya.

Tak ada jawaban, Fany mengikuti arah pandang mereka pada sebuah objek. Sedikit berjinjit untuk melihat apa yang ada di depan sana. Salah seorang dari mereka mengarahkan jarinya menunjuk ke depan. Pandangan Fany mengikuti kemana arah jari itu, terpusat pada sebuah gaun pengantin berwarna putih berpadu dengan payetan warna merah jambu.

Sangat cantik. Hanya itu deskripsinya pada gaun pengantin itu. Dalam hati ia bertanya, siapakah pemilik gaun indah yang tergantung di sana. Sungguh beruntung dia.

"Bagus banget ya gaunnya mbak Fatma. Duh, beruntung nya bisa menikah dengan kang Fikri." Gumam samar dari santri putri yang ada di sampingnya namun dapat di dengar dengan jelas oleh Fany.

Seketika Fany menggeleng kuat. Semua itu tidak benar. Batinnya berontak pada kenyataan. Mundur dari himpitan kerumunan disana. Berlari menuju aula dengan air mata mengalir deras.

Baru beberapa jam ia mendapat kebahagiaan berkumpul dengan keluarganya. Kembali ke pondok untuk mengambil beberapa helai baju yang akan di bawa pulang satu minggu ke rumah orang tuanya. Tapi kenapa harus mendapatkan kabar yang membuat hatinya terluka.

Baru saja ia merasakan cinta, tapi harus berakhir dengan luka menganga. Batinnya terus bertanya-tanya.

Bolehkah ia berharap pernikahan itu tak akan pernah terjadi? Salahkah jika ia mencintai pria yang akan beristri? Apakah jatuh cinta harus sesakit ini?

****

Semarang 15 Juli 2019

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang