28. Sesak yang begitu menyiksa

8.1K 559 56
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam sambil menahan linangan air mata yang siap tumpah dari netra. Tak hanya sampai disitu efek dari ucapan yang tanpa disadari menyayat ulu hatiku, buku jariku memutih untuk menahan suatu gejolak yang ada dalam hati. Mencoba meredam dengan mengepalkannya kuat-kuat. Tak peduli usapan yang dia berikan pada puncak kepalaku.

Aku turun dari mobil Mas Amir tanpa berucap padanya, rasa sakit itu saat ini benar-benar menguasaiku. Bergegas masuk ke rumah kemudian menuju kamar mandi untuk berwudhu sesuai anjuran Nabi Muhammad dalam meredam amarah.

Dengan kerudung yang tak lagi terpasang rapi, aku keluar dari kamar mandi. Berjalan menuju sudut kamar, mengambil baju dalam lemari lalu mengganti pakaian.

Selesai berganti aku keluar mengambil mushaf di ruang tengah dan lagi-lagi hatiku dibuat tergores. Belum cukup sepertinya aku merasa tak dianggap tadi, kali ini terjadi hal yang lebih menyakitkan.

Saat aku berusaha meredam amarah dengan diam, dengan santainya Mas Amir dan Mbak Fatma berbincang ria dengan wajah bahagia didekat teras. Aku melihat dan mendengarnya, mereka tampak saling mengumbar senyum tanpa sungkan, tak peduli rasa sakitku, rasa sakit yang muncul karena ulah mereka.

Apa sebenarnya yang terjadi saat ini? Disaat kerikil kecil dalam kehidupan rumah tanggaku dapat disingkirkan, sekarang malah berganti batu karang yang menghantam kehidupan rumah tanggaku. Apakah ini yang dinamakan ujian yang sesungguhnya dalam berumah tangga?

Ketika hatiku benar-benar tak kuasa mendengar suara dua insan itu, aku memilih untuk masuk kedalam kamar. Menutup pintu kemudian menguncinya dari dalam. Apa aku ini hanya pelarian Mas Amir saat sosok idaman tak kunjung kembali datang?

"Aku adalah hamba yang lemah ya Allah." Luahku dengan linangan air terkumpul semakin banyak di pelukan, tak mampu kutahan lebih lama lagi.

Tangisku tak lagi dapat terbendung, suara isakan pecah  mengisi kamar. Aku terduduk pada lantai kamar, dingin keramik yang biasanya tak mampu kutahan seakan tak lagi terasa. Dengan pipi basah aku bangkit lalu meraih mushaf kecil warna hijau tosca yang ada diantara tumpukan kitab pada almari kecil disamping ranjang. Membukanya, mencoba melupakan sesak yang begitu menyiksa hatiku dengan muraja'ah. Berharap hatiku bisa lebih tenang dan segera membawaku menuju alam mimpi, karena saat ini hatiku benar-benar sakit dan perih jika dalam setiap hembusan angin membawa suara saling berbahagia dua insan itu.

Apa kasih sayangnya padaku selama ini hanya wujud tanggung jawab semata? Dan mungkin juga  pengakuan cintanya hanya bualan saja.

Hai, hati. Apakah goresan itu sekarang mulai berdarah lagi? Jika iya, apakah luka itu menganga lebar hingga aku sendiri merasakan sakit yang begitu luar biasa? Atau Allah saat ini sedang menegurku?

Jika itu benar, Ya Allah ampuni aku karena terlampau sering melupakan-Mu. Aku ridho terhadap apapun yang telah Engkau berikan kepadaku. Mungkin inilah sentilan halus dari-Mu untuk menyadarkanku.

Engkau uji diriku dengan rasa sesak yang begitu menyiksa ini. Karena Kau yakin pada akhirnya aku kan kembali mengingat-Mu dengan menautkan kening pada tempat sujudku, mengemis ampunan, hingga Engkau sendiri yang akan memberi balasan yang indah bagiku jika menjalaninya dengan lapang dada.

****

2 Ramadhan 1440 H

Semarang, 7 Mei 2019
Revisi 3 Januari 2022

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang