13. Mendua?

13.6K 599 60
                                    

Flasback On

Kerumunan orang berdesak-desakan memenuhi barisan paling depan tempat duduk untuk melihat lebih dekat pemilik suara merdu yang melantunkan ayat suci di atas panggung.
Seluruh pasang mata tertuju padanya kala melantunkan Kalamullah yang mulia itu. Makhorijul huruf yang tepat, ditambah suara merdunya berhasil membius siapapun yang mendengarnya.
Dengan wajah rupawan khas orang Indonesia berpadu dengan kulit putih, membuatnya bagai gambaran pria sempurna bagi kaum hawa.

Siapa sangka pria itu masih berusia lima belas tahun. Dengan sarung batik motif parang dan baju Koko serta peci hitam miliknya, mampu membuatnya terkesan lebih dewasa dari umurnya.

Terlihat dari kejauhan seorang gadis kecil berkerudung merah jambu berjalan tergopoh-gopoh menembus kerumunan orang yang ingin sekedar melihat atau mengambil gambar pria yang melantunkan ayat suci tadi.
Sekuat tenaga dia menembus kerumunan orang hingga akhirnya berhasil sampai di ujung barisan kemudian berlari menghampiri pria yang baru turun dari panggung sembari menyerahkan amplop merah jambu pada pria itu.

"Ini buat sampean, Kang," ucap gadis kecil itu dengan wajah polosnya kemudian berlari meninggalkan tanya bagi pria yang diberi amplop olehnya.
Karena penasaran, dibukalah amplop itu oleh penerimanya sambil duduk di kursi paling kanan barisan terdepan.
"Lentera Emas," ucapnya lirih sambil memegang sepucuk surat dengan tinta warna biru itu.
Dibacalah tiap kata yang tergores di dalamnya.

Lentera Emas
Suara sampean bagus kang...
Aku iri sama suara sampean kang..
Sampe Mbak Rani ndak fokus main sama aku. Memang suara sampean indah kang,
Indahnya sama kayak Lentera Emas favoritku yang aku terbangkan bersama Mas Fahmi dan Azam.

Seutas senyum terukir dari wajah pria itu. Tak disangka gadis yang dia taksir berumur sembilan tahun itu mampu menuliskan rangakaian kata yang tersusun rapi.

Ungkapan bentuk kekaguman dari seorang gadis kecil yang lugu dan berani. Ya, berani mengungkap kekagumannya dengan langsung memberikan surat.

Namun ada hal yang lebih mengejutkannya. Tulisan terakhir bagian pojok bawah kanan menunjukkan siapa penulis dan alamat tempat tinggalnya.

Fia.
Dari ndalem pondok Nurul Qomar.

Sang Penulis puisi itu, tak lain adalah anak pemilik pondok tempat dia saat ini berada. Sungguh gadis kecil yang polos.
"Gadis kecil cantik. Semoga Allah satukan kita kelak," ucap pria itu dengan senyum merekah.

Flasback off

Suara tabuh terdengar membelah sepi. Sahut-sahutan suara adzan mulai menderu. Memecahkan sunyinya subuh hari yang masih tertutup langit yang gelap.

"Dek, Mas ke masjid dulu. Assalamualaikum." Diulurkanlah punggung tangan kanannya padaku untuk kucium.
Jangan salah paham, Mas Amir selalu melakukan itu karena dia mengambil wudhu di masjid. Jadi tak takut batal wudhunya karena bersentuhan denganku.

"Waalaikummussalam."
Setelah usai melakukan kewajibanku pada sang Kholik, aku kembali berkecimpung dengan bumbu dapur.

" Alhamdulillah selesai juga. Nasi goreng telur ala Fia."
Tak berselang lama terdengar suara seseorang yang kutunggu menguluk salam.

"Assalamualaikum." 

"Waalaikummussalam, Monggo mas dimakan nasi gorengnya mumpung masih anget."
Setelah itu suasana menjadi hening. Kami memang tak berbicara jika sedang menyantap makanan. Alhasil hanya suara sendok dan piring yang saling beradu yang terdengar.

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang