بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
Mohon maaf buat yang nunggu lama epilognya. Maklumi nggeh kegiatan saya di dunia nyata padat merayap. Hari libur pun ttep harus ngajar. Tugas kuliah juga lagi banyak.
Maaf typo bertebaran, nulis disela break matkul.
Semoga kalian suka. Happy reading. Votement jangan lupa. Ini part ending, semoga ada ekstra part-nya.
Syukron katsir buat para pembaca setia cerita ini. Bagi yg berbaik hati vote and komentar semoga kalian diberikan kemudahan dalam segala urusan. Bagi yg hanya pembaca semoga kalian dilimpahkan kebaikan. Doa terbaik untuk kalian semua.
Salam dari saya لطفيةالعزيزة
(Luthfia). 😊😊****
Semakin siang bukan semakin terang, melainkan semakin gelap. Awan mendung berjajar menggantung di langit, bersiap menumpahkan air mengguyur bumi. Benar saja, tak lama bau khas tanah terkena air hujan tercium.
Tanganku terus mengusap puncak kepala Putri kecilku. Sebenarnya kurang tepat bila kusebut Putri kecil karena dia sudah tumbuh menjadi gadis. Tetap saja bagi kami orang tuanya akan menganggapnya sebagai putri kecil.
"Umi, Kia nderek Mas Zaki sekolah di Mesir nggih," kepalanya disandarkan pada pundakku, mengelus tanganku lembut seraya memasang wajah melas.
"Kia juga ingin kados Mas Zaki, dapat menuntut ilmu di negeri Piramida itu, Umi."
Dia terus merayuku dengan berbagai cara. Tapi jawabanku masih sama, tidak mengijinkannya kuliah di Mesir.
"Umi, Kia mboten piyambak. Ada Mas Zaki yang jaga Kia di sana, jadi Umi sama Abi ndak usah khawatir."
Aku menggeleng. Sulit untuk melepaskan anak gadisku pergi ke negeri orang, walau dengan kakaknya sekalipun. Kemarin saja aku baru bisa memberikan ijin pada putraku belajar di sana setelah melalui proses negosiasi panjang dengannya. Sekarang malah sang adik yang ngeyel mau ikut juga.
"Ndak boleh. Umi ndak kasih ijin kamu kuliah di sana. Kalau kamu ikut kuliah disana, Umi sama Abi pasti kesepian, Nduk." Balasku, menepuk pelan lengannya.
"Dek, kasih ijin saja Kia kuliah di sana. Eman, dia punya keinginan waktu kita mampu biayai malah ndak dikasih ijin." Mas Amir yang tiba-tiba datang menimpali ucapanku.
Mendengar ucapan Abinya seketika itu juga Kia mesem pertanda senang mendapat dukungan.
"Abi mawon maringi ijin. Umi juga kasih ijin ya, please."
Pandanganku yang awalnya pada Zakia kini beralih pada Mas Amir. Menghela nafas berat. "Tapi, Mas. Fia ndak mau jauh dari mereka. Apalagi kita nanti pasti kesepian kalau Kia sama Zaki sudah disana."
"Umi sama Abi bisa program kasih Zaki sama Kia adik biar ndak sepi. Lagipula ada santri di pondok, itu anak Abi sama Umi juga. Leress kan Abi." Sahut Zaki yang tiba-tiba muncul langsung memposisikan tubuhnya berbaring di karpet berbantalkan pahaku.
Ya Salam, putraku ini sungguh luar biasa. Kenapa dia meniru sikap Pak Lek nya dibanding dengan meniruku atau Mas Amir. Wajah dan, penampilan boleh mirip Mas Amir, tapi kenapa cara berucap dan bertindak lebih mirip dengan Azam. Duh Gusti, ngidam apa aku dulu.
Kuberi tatapan maut pada Zaki seraya menggeleng pelan.
"Estu, Umi. Zaki ndak bercanda. Zaki sama Dek Kia ingin punya adik dari dulu. Kan rumah jadi tambah rame kalau kita pulang ada adik bayi yang bisa dicium pipi gembilnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...