43. Pamit

8.5K 518 21
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***


Buat Fany & Fikri lovers bisa buka lanjutan kisah mereka di lapak sebelah.

Kisah Fany & Fikri aku end di lapak ini. Lanjutnya di lapak sebelah "Sepasang Hati"

T

angan besar Mas Amir masih setia berada di atas perutku. Sesekali mengecup lembut dan membacakan ummul kitab serta doa lalu meniupkan tepat di sana. Geli sebenarnya, tapi semua yang dilakukannya membuat hatiku menghangat. Aku sadar, apa yang dia lakukan adalah bentuk rasa syukur dan bahagia atas kehamilanku.

Usapan tangan Mas Amir seketika terhenti saat terdengar suara ketukan dari pintu kamar lalu diiringi suara Azam memintaku segera menyusul Fany di pondok.

"Mas, sebenarnya apa yang dikatakan Kang Fikri sampai membuat orang tua Fany menangis? Jika hanya mengabarkan Fany berada di kampus, rasanya tidak akan sampai seperti itu."

Mas Amir merubah posisi menjadi duduk bersandar. Memandangku sambil tersenyum.

"Masih ingat kedatangan Fany pertama kali, dia menangis begitu hebat, kan. Dan Fikri adalah sosok yang berjalan di belakangnya ketika masuk pelataran pesantren."

Mataku membola. "Maksud Mas, sejak awal Kang Fikri sudah menangkap sesuatu yang tidak baik terjadi ketika kedatangan Fany itu?"

Mas Amir mengangguk. "Sampai pada hari kedua Fany tinggal di pondok, Fikri bertanya pada Mas. Dan mengalir saja cerita itu."

Ingin sebenarnya bertanya lagi  tapi Azam kembali mengetuk pintu, kali ini bahkan lebih keras. Mewanti-wanti agar tidak melakukan ibadah lain yang sangat lama.

Aku tertunduk, menyembunyikan rona di pipi. Lain halnya dengan suamiku, dia masih memasang wajah datar. "Mas, Fia ijin nyusul Fany ke pondok sebentar. Dari tadi kok belum balik kesini, kasihan Ayah dan Bundanya yang menunggu di depan," ucapku lirih.

Kedua sudut bibir Mas Amir melengkung tipis, samar terlihat. Mengangguk lemah sembari mengusap puncak kepalaku.

"Iya, Mas beri ijin tapi jangan lama di sana. Setelah semua urusan selesai langsung balik. Adek setelah ini harus istirahat." Aku mengangguk. Mengerti kecemasannya, mungkin masih teringat atas peristiwa kurang mengenakkan lalu. Takut kejadian itu kembali terulang.

****
Fany tersenyum getir disela isakannya. Baginya kabar pernikahan itu menggembirakan untuk temannya, Fatma. Namun  dari lubuk hatinya terdalam kabar itu seperti mengiris hatinya, sangat menyakitkan. Perasaan yang baru saja muncul harus dimusnahkan.

Dia menyeka kasar butir yang tumpah dari matanya. "Kenapa aku bisa memiliki rasa begitu besar padanya? Harusnya tidak seperti ini. Ya Allah, ampuni aku."

Fatimah yang sejak tadi memperhatikan Fany dari jauh  memberanikan diri berjalan mendekat. Dia tak tega saat melihat Fany berlari keluar dari kerumunan menuju aula dengan pipi banjir air mata.

Fany terkejut mendapat genggaman lembut dari Fatimah secara mendadak. Cepat-cepat mengusap kasar pipinya yang basah.

"Menangislah Mbak, jika itu membuatmu lega." Fatimah mengusap tangan Fany, menguatkan.

Fany menghela nafas panjang, menoleh pada sosok dengan lesung pipi di sebelahnya. Tersenyum, menyembunyikan sesak. Membalas usapan Fatimah.

"Boleh Mbak minta tolong sama kamu?"

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang