Kemewahan tak menjamin hadirnya kebahagiaan. Meski hanya makan beralaskan daun pisang pun jika itu mampu menentramkan jiwa itulah yang disebut kebahagiaan.
~ My Future Gus ~
****
Suara kayuhan sepeda ontel tua mewarna perjalanan kami. Jalan demi jalan kami lalui dengan senyuman tanpa keluhan meski terik matahari yang panas kian membakar kulit. Hanya berbekal sedikit makanan dan sebotol air mineral kami tetap melanjutkan perjalanan.
Area persawahan disini masih terlihat asri dengan lalu lalang kendaraan bermotor yang tak berarti, hanya ada beberapa kendaraan pengangkut hasil panen dan tak lupa pemandangan petani membajak sawah dengan kerbau semakin menambah kesan asri.
Peluh membanjiri wajah tampan suamiku kala kulirik wajahnya ketika mengayuh sepeda ontel tuanya. Kesederhaannya membuatku semakin mengagumi sosoknya. Meskipun disaat tertentu ia akan menampilkan kesan sombong yang membuat siapapun yang melihatnya merasa kurang suka.
Memanfaatkan libur akhir pekan tak harus diisi dengan liburan yang mengeluarkan dana yang besar. Hanya dengan uang seadanya dan berbekal sedikit makanan untuk menghemat pengeluaran itu adalah pilihan yang cerdas.
"Mas, niki diminum dulu airnya," ucapku sembari menyerahkan sebotol air mineral kepadanya.
Kulihat peluh yang masih membanjiri wajahnya, menandakan dia bener-benar kelelahan. Rasanya tak tega diriku melihatnya rekoso seperti tadi. Mengayuh sepeda tua yang sudah ada diera tujuh puluhan dengan beberapa bagiannya yang sudah berkaratan bukan suatu hal yang mudah. Memang saat kutanya apakah dia lelah, ia selalu membalasnya dengan senyuman dan berkata ini salah satu jenis olahraga yang ia suka. Bersepeda berboncengan dengan bidadari surga katanya. Jawaban yang membuat semburat merah di pipiku.Kami duduk di angkringan kecil tengah sawah seperti saat ini memang mampu mengurangi penat memikirkan skripsi. Memikirkannya saja terkadang membuatku mengangkat tangan dan ingin berkata menyerah. Revisi dan revisi adalah hidangan wajib untuk para pejuang skripsi. Tapi aku bersyukur, dosen pembimbingku adalah pak Anam yang mengerti kesibukanku mengurus santri putri saat di rumah.
Terkadang aku juga dibantu Mas Amir saat merevisi bagian yang salah. Alhamdulillah Allah membantuku dengan mengirim suami yang merangkap sebagai dosenku yang baik hati dan siap membantuku.
"Mas, kenapa tadi ndak naik motor aja kesininya? Lumayan jauh lho ini dari rumah," tanyaku yang kembali dibalas senyuman olehnya.
"Mas mau ikut mengurangi polusi udara. Sekalian mau olahraga sama bidadari," balasnya dengan cengiran.
Lagi-lagi aku dibuat tersipu olehnya. Inilah pak Rahman yang sesungguhnya. Ramah, murah senyum, tak menyeramkan dan yang terpenting selalu menatapku penuh cinta. Dapat kusimpulkan bahwa ketika di kampus ia adalah Pak Rahman yang sedang berkamuflase dengan sikap menyebalkannya.
Kami menikmati pemandangan hamparan hijau persawahan ditemani sekotak roti Ganjel Rel dan Wingko Babat yang kami bawa, pemberian dari salah satu wali santri yang berkunjung ke ndalem kemarin untuk pamit memboyong anaknya.
Kemarin adalah waktu boyongan bagi santri yang telah lulus Diniyyah yang tidak sekolah dan beberapa santri yang telah ikut khataman Juz Ama, bin nadhor maupun qur'an bil ghoib yang memilih boyong dan ada juga yang akan menikah.
"Pulang yuk Dek, Mas wes luwe. Pingin digorengin ikan asin sama dibuatin sambel plus lalapan," ucapnya sambil menarik kedua tanganku membantuku berdiri.
Disibaknya sarung kesayangannya, ditarik lebih tinggi kemudian dilipat lalu duduk di atas sepeda ontel miliknya. Bersiap-siap menyusuri jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...