46. Sebuah Firasat

10K 609 29
                                    

Assalamualaikum... maaf lama ndak update. Semangat bagi yang sedang berpuasa arafah.

Alhamdulillah bisa update sekarang, inipun lewat laptop. maaf kalo sedikit karena insyaallah di endingnya panjang. Matur sembah nuwun bagi seluruh pembaca setia. 

Sedikit cerita, sebenernya saya sudah dikirimi pesan oleh pihak dreame ditawarin buat masukin cerita kesana. kalau misalnya cerita ini sesudah revisi di pindah dari wattpad ke dreame boleh? 

satu part lagi end ya... Ayo kasih bintang sama ramaikan kolom komentar. 

بسم الله الرحمن الرحيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

Sebuah kecupan ringan pada pipi membangunkanku dari alam mimpi. Aku terkesiap, mengerjapkan mata perlahan. Mengumpulkan kesadaran yang masih berkeliaran bebas sembari membenarkan posisi hijab yang tak beraturan.

"Ya Allah, Mas. Fia sampai kaget," ujarku sambil meraih tangan kanannya, mengecupnya singkat.

Bibirnya menyungging lengkung. Memusatkan manik matanya pada wajahku lalu beralih pada perut buncitku, mendekatkan wajahnya kemudian mengecup cukup lama di sana. Membuat gelenjar aneh menjalar disekujur tubuhku.

"Kenapa masih di sini, hem? Sudah lewat tengah malam ini, Dek." Tangannya dengan sigap membopong tubuhku dari sofa ruang tamu menuju kamar kami. Sontak saja kedua tanganku langsung melingkar pada lehernya.

"Nungguin Mas selesai ngisi kajian kitab." Kupandang wajahnya penuh minat, seakan menjadi yang terakhir kali.

"Fia ingin bilang sesuatu sama Mas, tentang..." sambungku, menggantung tak kunjung berkelanjutan.

Sesampai di kamar kami, perlahan Mas Amir membaringkan tubuhku di atas ranjang. Memposisikan dirinya berada di samping lalu menghadapku, menatap lekat hingga bisa  kurasakan nafanya menyapu wajahku.

"Katakan saja, Dek." Jemarinya menyisir rambutku yang terurai. Sesekali menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahku.

"Fia ingin bilang sesuatu sama Mas," balasku, meraba dadanya yang masih tertutup baju koko.

Hening, tak ada kata yang berhasil terucap. Hanya lelehan air mata yang tiba-tiba jatuh. Awalnya setitik lalu semakin lama semakin deras tak terbendung. Ada ketakutan yang luar biasa menyergapku. Entah Firasat atau pikiran apa ini. Hal tak enak itu terus saja muncul.

"Jika Allah takdirkan hanya anak kita yang bertahan, Fia ingin Mas meridhoi Fia sebagai isteri sholihah," sambungku. Sesak tatkala kalimat itu begitu saja meluncur dari bibirku.

Mas Amir terdiam. Hanya rengkuhan yang kudapat sebagai balasan. Rengkuhan itu semakin lama semakin kuat, hingga dapat kurasakan bajuku basah terkena air matanya. Ia menangis tanpa suara. Tertampar kemungkinan yang bisa saja terjadi padaku. Mendekati hari persalinan kerap kali firasat itu datang. Semakin hari firasat itu kian kuat. Apakah ini akhir dari perjuanganku sebagai seorang ibu?

****

Sudah dua jam lebih kontraksi menyerangku. Bahkan dokter Vindy mengatakan bahwa  pembukaanku sudah hampir sempurna. Berkali-kali umi dan ibu menenagkanku, memintaku banyak berdzikir dan beristighfar.

"Ibu, Mas Amir mana?" tanyaku, menatap kearah pintu kaca. Kenapa abi dari anak-anakku yang akan lahir belum terlihat? Aku merindukannya, aku ingin dia sekarang ada di sampingku, memberiku semangat karena semangatnya itu yang paling kubutuhkan saat ini.

"Nduk, sabar ya. Amir masih dalam perjalanan kesini. Sebentar lagi pasti sampai." Jelas ibu sambil mengusap puncak kepalaku.

Tanganku menggenggam kuat tangan Umi, mencari kekuatan disana. Air mataku tak henti-hentinya mengalir, menahan sakit yang teramat. Ya Allah, inikah yang dulu umi rasakan ketika melahirkanku. Sungguh berdosa jika sampai menyakiti hati seorang ibu. Surga seorang anak bahkan berada di bawah telapak kaki ibunya. Betapa mulianya seorang Ibu hingga Allah umpamakan telapak ibu sebagai syurga.

"Umi, Fia nyuwun ngapurane. Fia banyak salah sama Umi. Fia sering melawan Umi, Fia sering buat umi menangis. Maafkan semua salah Fia, Umi."

Umi menangis tergugu mendengar permohonan maaf dariku. Mengusap linangan air mataku yang membanjir di pipi.

"Umi sudah memaafkanmu, nduk. Kamu putri umi yang baik, yang patuh. Tidak ada keluhan lagi tentangmu. Umi ridho terhadapmu." Ku kecup punggung tangan kanan Umi. Merasakan ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa dari beliau. Beliaulah wanita mulia yang sudi memberikan asi nya untukku, rela melakukan apapun demiku, tak pernah sekalipun terucap dari lisannya mengeluh merawatku. Tak sedikitpun mengharap balasan setimpal atas semua yang dilakukannya. Ya Allah, berilah balasan syurga untuk umi. 

Tak berselang lama pintu ruangan terbuka, tampak mas Amir dengan wajah khawatir berlari menuju ke arahku. Tangan besarnya menggenggam kuat tanganku. Mengecup keningku sekilas. "Dek, mas sudah disini. Adek harus kuat ya, kita berdoa sama Allah semoga diberi kemudahan." 

Aku mengangguk, menatap wajahnya dalam. Semoga Allah memberiku panjang umur untuk bisa merawat anak-anakku dan lebih lama mengabdi pada suamiku.

Waktunya tiba, dokter Vindy sudah siap membantu proses persalinanku. Perintah mengejan pertama aku mengejan sekuat mungkin. Rasanya semua tulangku seperti digilas satu persatu. Luar biasa sakit. Berulangkali mengejan hingga tenagaku benar-benar terkuras habis namun belum juga membuahkan hasil.

"Mas, Fia sudah ndak kuat." Keluhku dengan nafas terengah-engah dan keringat membanjir.

Mas Amir menggeleng. Mengusap air mataku yang berlomba luruh. "Adek pasti kuat, adek wanita hebat. Sedikit lagi pasti mereka akan hadir. Bismillah."

Seperti mendapat tenaga lagi, ucapan Mas Amir membuatku yakin aku pasti bisa. Mereka yang ada di rahimku ingin segera menyapa umi dan abinya. Aku ibu yang hebat, aku pasti bisa. Nak, bantu umi ya.

Saat kontraksi kembali datang, aku diperintah untuk mengejan lagi. Sekuat tenaga aku mengejan dengan tenaga yang ada. Tak lama, suara tangisan keras bayi mungil memenuhi ruangan. Tubuh mungilnya bersimbah darah. Itu bayiku, bayi yang selama sembilan bulan kukandung. Menemaniku di manapun berada.

Tak berselang lama kontraksi kuat datang lagi, namun lebih berkali-lipat sakit dari sebelumnya. Kali ini benar-benar sulit. Kupikir yang kedua akan lebih mudah, ternyata lebih membutuhkan tenaga dari yang sebelumnya. Rasanya ingin menyerah saja, tapi satu nyawa masih ada di perutku.

Tidak, aku tidak boleh menyerah. Aku harus berjuang lagi. Masih ada satu nyawa yang ingin segera berjumpa denganku. Aku mengejan sekuat mungkin hingga kurasakan pergerakannya keluar dari rahimku dan suara tangis menggelegar terdengar bersamaan dengan pandanganku berubah kabur  dan lama kelamaan menjadi gelap.

Ya Allah, jika ini akhir untukku jadikan aku syahid lewat perjuanganku melahirkan buah hati kami ini.

****

Semarang, 10 Agustus 2019
Revisi 13 Desember 2022

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang