23. Tak Menyisakan Bekas

8.4K 567 51
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Suara gesekan dedaunan menemani kesendiriannya. Bagai dihantam besi, dia merasa sakit dikhianati oleh kawannya sendiri.

Bisa-bisanya dia tidak peka, harusnya tadi sudah mampu menangkap sinyal keanehan antara kawan karibnya dengan wanita yang diharapkan menjadi penyempurna separuh agamanya.

Ini pengkhianatan yang begitu menyiksa. Satu bulan menunggu kepastian, harus berakhir dengan menyakitkan.

Dengan tanpa dosa, Irfan sahabatnya mengajaknya menemui Fia. Seakan tak ada rasa bersalah sama sekali dari wajahnya. Beberapa kali malah keduanya beradu pandang tanpa sungkan ketika ada dirinya.

Pria itu mengeram frustasi. Begitu besar cintanya pada Fia membuatnya tak mampu berpaling. Dia merasa menjadi pria paling bodoh karena dulu sempat menjadikan Fia sebagai alat untuk membuat Nafisah cemburu.

Nafisah, gadis yang selama ini tidak memliki rasa padanya. Mendekatinya sama halnya membuang waktu sia-sia. Karena dia sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Dan yang paling menyakitkan adalah orang yang dijodohkan dengan Nafisah adalah sahabat karibnya sendiri.

Musnah sudah harapannya. Dia hanya bisa menggigit jari saat menyaksikan sendiri ijab qabul dilaksanakan. Hatinya remuk tak berbentuk. Ditambah lagi Fia yang mulai menjauhinya. Lengkap sudah deritanya.

Kak Irfan, pria itu nempuk bahu kawannya yang terduduk di kursi kayu taman. "Bro, sampean salah paham. Seharusnya sampean dengarkan dulu penjelasan Fia."

Mengetahui siapa pemilik tangan itu. Seketika Gus Fauzan menepisnya dengan kasar. "Jangan berbohong. Kau ingin menunjukkan kemenanganmu atas diriku bukan?"

Kak Irfan hanya membalas ucapan Gus Fauzan dengan kekehan kecil lalu memposisikan duduk di sampingnya. "Su'udzon. Tampang alim sepertiku tidak cocok berbohong."

Gus Fauzan mendengus mendengar jawaban lawan bicaranya. Percuma berbicara dengan ahli dagel, semua pasti dijadikan bahan bercanda.

"Dengerin aku Zan, Fia itu sudah kuanggap seperti adiku sendiri. Terlebih dia sudah menolakku juga. Karena..."

"Jadi aku masih memiliki harapan. Tidak ada yang tidak mungkin bukan?" Secercah harapan kembali muncul dari manik mata Gus Fauzan.

Secara refleks, Kak Irfan menepuk jidat Gus Fauzan. "Heh, sembarangan. Fia sudah bersuami, sebaiknya sampean mulai melupakannya, Bro. Yang single masih banyak."

"Hatiku hanya tertuju pada satu wanita, dia itu Fia. Bukan yang lain dan aku yakin dia adalah tulang rusukku." Keyakinan semacam apa itu? Bahkan setelah diberi tahu bahwa Fia sudah bersuami dia tidak mempercayainya. Kak Irfan dibuat jengkel dengan sifat keras kepala sahabatnya itu.

"Terserah, mau sampean percaya atau tidak. Pokoknya aku sudah memberitahu yang sebenarnya," balas Kak Irfan kemudian  bangkit dari posisinya, pergi meninggalkan manusia kepala batu yang tadi menjadi lawan bicaranya.

"Aku tidak percaya sampean, karena sampean pandai bergurau. Aku yakin, ucapan tadi hanya gurauan belaka. Aku akan menemuinya lagi besok." Teriak Gus Fauzan melihat sahabatnya meninggalkan dia seorang diri.

****
Hari ini setelah jam Mas Amir usai, aku berniat mendatangi mejanya untuk mengutarakan maksudku. Lebih tepatnya meminta dibelikan sate kere padanya. Melihat gambaran sate kere di internet membuatku hampir meneteskan air liur.

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang