22. Salah Paham

8.4K 470 14
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****
D

ua hari sudah berlalu setelah pertemuanku dengan kak Irfan, aku merasa seperti wanita penebar harapan pada kaum Adam. Sungguh, aku bukan bermaksud seperti itu.

Layaknya manusia pada umumnya, cinta adalah fitrah. Anugerah yang Allah selipkan pada hati makhluk-Nya. Sebagai manusia biasa, aku tak sanggup menghalangi rasa tertarik kaum adam padaku.

Jika boleh memilih maka aku akan langsung meminta pada Allah agar menganugerahkan rasa cinta seorang pria padaku pada seseorang yang memang di peruntukan bagiku. Yaitu, suamiku.

Sesuai rencana hari ini aku dan Fany akan menemui Kak Irfan dan Gus Fauzan. Sudah ku putuskan, bahwa aku akan memberitahu kabar pernikahan ku pada Gus Fauzan. Kantin kampus, tempat yang kami pilih.

"Fan, yang kulakukan ini benar bukan?" Aku memang payah dalam urusan penolakan pada seseorang.

"Iya, Fia. Mereka bukan anak-anak, aku yakin Kak Irfan pasti akan membantu menjelaskan. Penolakanmu padanya itu benar. Jadi, tenanglah," balasnya  meyakinkanku.

Tiga puluh menit sudah kami menanti. Dua pria dewasa yang kami tunggu tak kunjung datang. Apakah rencana pertemuan yang kusiapkan ini akan sia-sia? Entahlah, aku jadi bingung memikirkan hal itu.

Bahkan dua gelas jus alpukat dan satu porsi nasi goreng telur yang aku pesan juga sudah tandas. Akhir-akhir ini rasanya aku seperti orang kelaparan. Bahkan Mas Amir sempat geleng-geleng kepala melihatku menghabiskan dua porsi mie ayam tanpa sisa selepas pulang dari rumah Pak Anam kemarin. Apakah ini yang di namakan merasa bahagia setelah menikah? Mungkin saja. Namun sudahlah, lupakan. Yang terpenting saat ini adalah menyelesaikan masalah dengan Gus Fauzan.

Jarum jam terus berputar tapi masih saja mereka belum datang. Kesabaran ku saat ini sedang di uji. Menanti dua pria yang tak kunjung memberi kejelasan kedatangannya. Sepertinya aku harus lebih bersabar lagi dan lagi, mengulur waktu pulang ke rumah.

Sepuluh menit, waktu tambahan bagi mereka. Jika masih belum menampakan batang hidung, aku pasti akan pulang. Moodku hancur ketika menengok jam tangan sudah menunjukan pukul sebelas siang. Waktu eksprimenku di dapur sudah terpotong lima menit.

" Fan, kita pulang aja. Kesemutan semua kakiku gara-gara kelamaan duduk." Aku berdiri, mengambil tas punggung kecilku yang ada di kursi kosong disampingku. Memakainya kemudian melangkahkan kaki meninggalkan tempat tadi.

"Fi, sabarlah sedikit. Mungkin mereka ada sedikit kendala. Bukannya kamu sendiri yang ingin masalah ini cepat selesai. Jadi jangan menunda menjelaskan padanya." Tangan kanan Fany menahan lenganku.

"Moodku sudah buruk. Aku ingin pulang." Kenapa dengan diriku ini, tak biasanya moodku berubah secepat ini. Sejak mereka telat lima menit moodku sudah terjun bebas.

"Fi, duduklah kembali. Rencana mu tak sepenuhnya gagal, hanya waktunya sedikit mundur." Jari tangan Fany menunjuk sesuatu yang ada di balik tubuhku.

Ku ikuti kemana arah jari Fany. Dua sosok pria yang kami tunggu berjalan ke arah kami. Senyum sempurna di berikan Gus Fauzan padaku. Kak Irfan memberikan anggukan kecil, meyakinkanku untuk menjelaskan semua.

"Assalamualaikum, Fia." Bariton itu terdengar lembut menyapa pendengaranku bertepatan langkahnya berhenti tepat di depanku.

Tak ada balasan dariku. Aku masih terpaku, menatap dua pria dewasa yang berdiri di hadapanku.

Tangan Fany menariku mundur, mendudukanku pada kursi kosong di sampingnya.

"Waalaikummussalam, silahkan duduk." Fany mempersilahkan dua pria itu.

Sorot mata penuh cinta dari Gus Fauzan menatapku lekat. Seakan akan ada kejutan yang menyenangkan untuknya.

"Kak, Fia boleh mengatakan sekarang?" Kak Irfan memberikan isyarat dengan menganggukan kepala mantap.

"Sebelumnya aku minta maaf. Aku meminta Kak Irfan mempertemukan kita karena ada hal yang harus disampaikan."

"Minta maaf untuk apa? kamu tidak punya salah. Kamu sudah punya jawaban atas pinangan saya, kan?" Lagi-lagi senyum sempurna itu dipamerkan padaku.

Ku genggam jemari Fany, mencari kekuatan. Kenapa aku merasa seperti orang jahat. Aku hanya ingin mengakhiri ini. Melihat senyum itu benar-benar membuatku merasa paling jahat. Apalagi tujuanku bertemu dengannya untuk mengabarkan sesuatu yang akan mematahkan harapannya.

Aku mengambil napas panjang. Memberanikan diri memandangnya. "Maaf Gus, aku  ndak bisa menerima pinangan itu. Karena sebenarnya aku sudah...." Senyuman Gus Fauzan pudar.

Gus Fauzan mengangkat tangannya, memberi isyarat padaku untuk tidak melanjutkan ucapanku. "Irfan, kamu tega  sama saya. Kamu bilang kamu akan melamar gadis bernama Fia. Sekarang saya tahu, gadis yang kamu maksud itu Fia yang sama dengan saya. Dan kamu ingin memamerkan bahwa kamu berhasil meminang Fia, kan?" Gus Fauzan menatap penuh rasa kecewa dan amarah pada Kak Irfan. Tangannya mengepal, menahan sesuatu yang siap meledak.

"Zan, dengerin dulu ucapan Fia. Jangan asal menuduhku. Kamu hanya salah paham," balas kak Irfan tak mau kalah. Tak terima atas tuduhan yang ditimpakan Gus Fauzan padanya.

Aku semakin mengeratkan genggaman tangan pada Fany. Takut akan terjadi aksi adu otot setelah melihat ketegangan antara Gus Fauzan dan Kak Irfan.

Gus Fauzan tersenyum kecut. "Apa? Bukannya kamu yang meminta saya menemui Fia disini. Kamu ingin memamerkan ini pada saya. Hebat kau Irfan, selamat untukmu." Gus Fauzan bangkit dari duduknya, menarik tangan kanan Kak Irfan, menjabatnya sambil mengucapkan kalimat itu kemudian melenggang pergi, meninggalkan kami.

Kenapa jadi seperti ini? aku sangat tak enak hati pada Kak Irfan. Seharusnya Gus Fauzan tidak memotong ucapanku.

"Kak, maaf untuk semua masalah ini. Seharusnya yang disalahkan itu aku, bukan Kak Irfan." Aku tertunduk, harus bagaimana aku menjelaskan semua pada Gus Fauzan bahwa Kak Irfan tidak bersalah.

"Sudahlah, ini semua bukan salahmu. Tenang, semua akan baik-baik saja. Fauzan saat ini hanya kurang nutrisi. Tadi pagi belum sempat sarapan." Bisa bisanya Kak Irfan bercanda pada situasi seperti ini.

"Kak ..."

"Sudah Fia, semua akan baik-baik saja. Aku pamit. Mau berbicara dari hati ke hati dengan manusia kurang nutrisi tadi," balasnya lagi kemudian meninggalkan aku dan Fany.

Semoga masalah ini secepatnya selesai dan tidak ada lagi salah paham.

****
Semarang 22 April 2019
Revisi 24 Desember 2021

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang