9. Tangisan Fany

14.1K 693 17
                                    

Tiga Minggu sudah usia pernikahanku dengan Pak Rahman. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik, walau terkadang ada sedikit permasalahan tapi bisa kami lalu.

Akhir-akhir Pak Rahman sering memintaku memasak makanan sesuai pesanannya. Seperti saat ini, aku memasak masakan kesukaannya. Oseng kangkung terasi dan tempe goreng. Beruntung Pak Rahman bukan tipe orang yang neko-neko dalam makanan. Katanya milih makanan itu tidak usah yang aneh-aneh, masakan sederhana buatan istri tercinta yang dibuat dengan hati saja sudah cukup. Dan yang penting halal. Siapa yang tak meleleh jika mendengar ucapannya.

Kepulan asap wangi tumisan cabai, bawang merah, bawang putih dan terasi menyeruak hingga menusuk hidung. Gambaran oseng kangkung terasi yang matang membuatku semakin bersemangat merampungkan.

Kali ini aku tak sendiri memasak di dapur, ada Fatimah salah satu abdi ndalem menemaniku.

"Ning, ini tempenya sudah matang," ucap Fatimah sambil meletakkan tempe goreng yang sudah diletakkan di atas piring.

"Iya, terimakasih Fatimah. Ini oseng kangkungnya juga sudah matang," balasku sembari meletakkan piring yang berisi oseng kangkung di atas meja makan.

Tok

Tok

Tok

Suara ketukan pintu itu menghentikan aktivitasku menata makanan. Aku beranjak menuju pintu hendak membukanya, tapi Fatimah lebih dulu ijin untuk membukakan pintu. Tak berselang lama Fatimah kembali datang menghampiriku.

"Ning, ada tamu. Katanya dia temen kuliah Ning Fia." Setelah mendengar ucapan Fatimah aku bergegas menuju ruang tamu.

Alangkah terkejutnya aku mendapati Fany dengan air mata beranak sungai tengah duduk di sofa ruang tamu.

****

Tangisan yang begitu menyiksa dengan air mata yang membanjir tumpah tanpa mampu dicegah. Duniaku seakan runtuh mendengar isakan Fany yang menyayat hati.

Tubuhku dipeluknya erat, seakan menjadi tempat luapan segala pil pahit kehidupan yang ditelannya.
Sebuah mimpi hidup bahagia bersama keluarga yang berlimpah kasih sayang sirnalah sudah. Baginya hal itu hanya isapan jempol belaka.

Kasih sayang seakan menjadi barang mahal yang tak mampu dibeli dengan apapun. Seorang anak yang tak mendapat kasih sayang menangis tersedu-sedu dalam pelukanku.

"Fi, apakah salah jika aku hanya menginginkan sedikit kasih sayang dari kedua orang tuaku?" Tatapan sendu dengan air mata membasahi kedua pipi itu seakan menjelaskan betapa tersiksa hatinya. Mengoyakkan rasa percaya akan adanya kasih sayang orang tua.

"Jika mereka tak menginginkanku, untuk apa aku terlahir ke dunia. Apakah harta lebih berharga dari pada putrinya?" Tangisan itu berubah menjadi raungan penyesalan karena terlahir ke dunia.

"Istighfar, Fan. Jangan berpikir seperti itu. Aku yakin, mereka sangat sayang sama kamu. Tidak ada orang tua yang tidak sayang dengan anaknya." Kuusap punggungnya mencoba sedikit menenangkan.

"Allah sayang kamu Fan hingga mengujimu dengan masalah ini. Percaya takdir indah Allah akan hadir setelah sabar dalam menghadapi cobaan yang diberi-Nya," sambungku sambil mengusap liangan air mata yang berjatuhan kasar dari pelupuk mata Fany.

"Fi, boleh aku tinggal di sini? Yang kurasa bukan baiti jannati, tapi baiti naari jika aku lebih lama disana." Wajahnya menatapku sendu.

"Jangan bicara seperti itu, Fan. Soal itu aku harus ijin dulu sama Mas Amir kalo kamu mau tinggal disini." Sebenarnya ada rasa tak enak saat aku mengatakan itu. Tapi aku sekarang telah menjadi seorang istri yang tak bisa seenaknya bertindak.

"Iya Fi, aku ngerti posisimu."

Tanpa kusadari ternyata Pak Rahman sudah datang dan duduk di hadapan kami sambil menatapku seakan meminta penjelasan.

"Assalamualaikum, salam Mas belum dijawab, Dek. Ada tamu juga ternyata." Fany mengangguk, menyapa Pak Rahman.

"Waalaikummussalam Mas, maaf tadi Fia ndak terlalu perhatiin kalo Mas sudah pulang," balasku kemudian mencium punggung tangannya.

"Mas..." Kuberi isyarat padanya dengan kedipkan mata untuk masuk.

"Fan, aku masuk sebentar ya," ucapku yang dibalas anggukan oleh Fany.

Kuceritakan semuanya pada Pak Rahman tanpa melewatkan sedikitpun. Pak Rahman menyetujui Fany tinggal, tapi bukan di rumah kami melainkan di pesantren asalkan dia terlebih dulu ijin pada kerabatnya.

"Fan, kamu boleh tinggal disini. Tapi maaf bukan di rumah ini, tapi di pesantren asalkan kamu ijin dulu dengan keluarga kamu jika kamu akan tinggal disini." Mendengar penuturanku Fany langsung berhambur memelukku.

"Terima kasih, Fia. Masalah ijin, sebelum aku kemari aku sudah ijin pada Budeku. Dan soal tinggal di pesantren itu bagiku tak masalah, karena sejujurnya niat utamaku kesini juga untuk menimba ilmu agama di pesantren."

"Tapi Ayah dan Bundamu? Maaf, bukanya apa-apa, tapi mereka juga berhak tahu, Fan." Mendengar ucapanku wajah bahagia Fany luntur berganti murung.

"Aku ada disini juga ingin membuktikan seberapa besar ego mereka mengejar harta. Ketimbang mencari putrinya yang tak lebih berharga dari berkas-berkas mereka," balas Fany tersenyum kecut. Mendesis seakan tidak berarti apa-apa jika orang tuanya tidak tahu keberadaannya.

"Bahkan sudah berkali-kali aku mengajakmu ke rumahku, apa pernah kamu sekali bertemu dengan mereka? Tidak, bukan? Mereka lebih memilih bekerja ketimbang bersamaku di rumah." Fany kembali melontarkan kalimat yang seakan menjadi bumerang untuk hatinya.

Aku kehilangan kata-kata saat mendengar jawaban Fany. Tak kusangka sebegitu malangnya nasib sahabatku ini. Tersenyum adalah topeng yang menutupi kerapuhannya selama ini.

"Fan, ingat selalu bahwa Allah sayang kamu. Mungkin Dia ingin dirimu bermanja-manja meminta kasih sayang-Nya lewat doa. Pasti kamu tak akan merasa miskin kasih sayang," ucapku memberikan senyuman termanis padanya kemudian mengantarkannya menuju pesantren.

****
Dari jendela kamar aku menangkap sosok Fany tengah duduk terdiam dengan pandangan kosong di teras kamarnya. Jarak antara rumahku dengan pondok Putri memang bersebrangan dan tak terlalu jauh, jadi aku bisa leluasa melihat lalu lalang para santri putri di pesantren meski tidak terlalu jelas.

Aku sedih memandang Fany. Gadis ceria dengan ucapan blak-blakan dan mudah tersenyum kini hanya mampu terdiam berteman sepi. Lukanya seakan menganga lebih lebar ketika sedikit saja menyinggung masalah itu. Sebegitu sakit hatinya hingga tak lagi mampu mengulas senyum.

Sebagai sahabat aku hanya bisa berdoa, semoga Fany sanggup melalui semua cobaan yang diberikan oleh Allah. Menjadi pribadi yang lebih baik pada akhirnya.

"Dek." Lamunanku buyar setelah merasakan sebuah tangan mengusap lembut puncak kepalaku.

"Dalem, Mas. Fia ndak tega melihat Fany seperti itu," ucapku lirih dengan mata berembun, membayangkan berada pada posisi yang sama dengan Fany.

Pak Rahman menghela nafas panjangnya.

"Allah tidak akan menguji hamba-Nya diluar batas kesanggupannya. Dengan berada disini, semoga kedua orang tuanya sadar bahwa selama ini mereka tidak mengurus anugerah besar yang dititipkan Allah pada mereka dengan baik. Dan semoga Allah ampuni dosa mereka. Memang mengejar harta dunia sampai kapanpun tiada habisnya." Aku hanya menyimak serta mengangguk, membenarkan ucapan Pak Rahman.

"Ketika harta tak lagi membutakan manusia. Meski dengan langkah terseok-seok mereka dengan senang hati akan menemui Allah," sambungnya lagi dengan mata menatap Surya yang mulai tergelincir ke ufuk barat.

****
Versi Revisi
Semarang, 22 April 2020√

Semarang 21 Desember 2018

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang