20. Tamu Istimewa itu dia?

8.4K 514 10
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Bau harum tumis kangkung menguar ketika tutup kotak makan dibuka. Masakan kesukaan Mas Amir ini sudah siap disantap.

Entah kenapa hari ini aku ingin saja menghantar makanan untuknya. Meski aku tadi juga baru saja sampai di rumah, tapi  aku tetap akan mengantarkan makanan untuk Mas Amir. Terlebih yang kumasak adalah makanan kesukaannya, oseng kangkung dengan terasi dan ikan asin.

Urusan rumah sementara aku percayakan terlebih dahulu pada Azam, aku yakin dia mampu menjalankan amanah dengan baik selama aku pergi. Biasanya yang akan menjaga rumah itu Kang Fikri, berhubung dia ditugaskan Mas Amir mengecek gudang beras, jadi tugas menjaga rumah aku serahkan pada Azam. Bukan tidak mempercayai santri lain untuk menjaga, karena takutnya jika ada tamu dari wali santri yang berkunjung atau meminta ijin untuk anaknya tapi tidak ada salah satu keluarga ndalem yang di rumah.

Sebelum menemui Mas Amir, terlebih dahulu aku memberitahu kedatanganku padanya. Dia menyuruhku menunggu diruangannya. Menyiapkan hasilku berkecimpung dengan rempah dan sayuran di dapur tadi, dan sekarang adalah waktunya menunggu.

Setelah lima belas menit, sosok yang kunantikan akhirnya datang dengan lengan kokoh membawa tumpukan buku. Jangan lupakan pesona wajah datar tapu tetap terlihat tampan.

"Lama ya dek nungguin, Mas?" Setelah melipat lengan kemeja, dia mengambil kotak nasi yang berisi oseng kangkung dan ikan asin.

"Nggak kok, Mas. sekitar lima belas menitan," balasku sambil menyiapkan air minum untuknya, membantu memasukkan kertas berisi tugas mahasiswa dalam tas jinjing miliknya.

Melihatnya semangat memasukkan suapan demi suapan makanan ke dalam mulut, membuatku menyungging senyum dan bangga dengan hasil masakanku. Apalagi reaksi sangat puasnya dengan mengangkat dua Jempol. Tersanjung diri ini Mas.

"Dek, tadi Mas ketemu mahasiswa Mas waktu di Jogja. Sekarang dia ambil S2 disini, menyelesaikan tesis. Ngejar target buat nikah bulan depan katanya. Konyol, melamar wanita itu saja belum. Mau langsung di nikahi bulan depan." Sambil terkekeh Mas Amir mengatakan itu. Tidak biasanya Mas Amir begitu bersemangat jika membahas mahasiswanya.

"Dia ingin bersilaturahim ke rumah, insyaallah nanti malam. Sekalian nginep di pondok putra sehari," sambungnya lagi dengan wajah gembira. Lebih tepatnya seperti seseorang yang bahagia akan berjumpa dengan sahabat lamanya.

Aku jadi penasaran siapa sosok mahasiswa Mas Amir itu. Karena selama empat bulan menikah dengannya, baru kali Mas Amir bercerita mengenai mahasiswanya waktu mengajar di Jogja.

"Nanti Fia masak yang banyak buat menjamu mahasiswa Mas itu. Fia masakin rendang daun singkong sama sambal goreng mau?" Inilah kebiasaanku, menawarkan menu makanan yang akan aku masak. Mungkin kali ini aku harus meminta bantuan Mbak ndalem dan Fany mengingat porsi masakan pasti lebih banyak.

"Boleh, Mas suka semua masakan adek Kok. Masakan isteri Mas pas dilidah. Tidak pernah mengecewakan." Kurasa dia sudah mulai murayuku. Mungkin jika di rumah, dia akan berkata seperti tadi sambil berbaring dengan bantalan pahaku. Tapi tidak berlaku untuk kali ini. 

****
Setelah sholat Isya, aku mulai membawa piring yang berisi masakan tadi ke ruang makan. Menyusunnya rapi di atas meja makan.

Bahagia rasanya bisa menjamu tamu dengan baik. Apalagi jika tamu tersebut merasa sangat senang dan tersanjung atas sambutan kita.

Aku sejak kecil telah diajarkan oleh Abi dan Umi untuk selalu menghormati tamu dengan cara menjamu. Jika memang dalam kondisi tidak memilki apapun untuk di jadikan jamuan dan hanya memilki air putih, setidaknya segelas air putih pun juga tak apa.

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang