بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صلي على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****
Sepanjang berjalan di koridor pondok putri, senyum gadis itu tak pernah luntur. Setiap orang yang berpapasan dengannya tak luput menjadi sasaran senyuman dari bibir ranumnya itu, hingga banyak yang menganggap aneh atas tingkahnya. Baru kali ini gadis cuek seperti dirinya bertingkah manis dengan memberi lengkungan dari bibirnya pada setiap orang.
Ketika hendak berbelok masuk ke ruang pengurus santri putri, tangan gadis itu tiba-tiba dicekal seseorang.
"Mbak, aku mau bicara penting sama mbak," ucap seseorang yang menahan tangan gadis itu.
"Ada apa, Latifah?" tanya gadis itu.
"Kita bicara di kamar saja mbak," putus Latifah tanpa melepaskan cekalannya sambil membawa gadis itu berjalan menuju kamar.
Gadis itu kelihatan bingung dengan tingkah Latifah. Tepat saat mereka sampai di kamar, Latifah cepat-cepat menutup pintu kamar rapat-rapat. Membawanya duduk di sudut kamar.
"Ada apa sebenarnya, Lat. Kenapa kamu ajak mbak ke sini? Bukannya kita bisa bicara diluar tadi." Latifah mendengus mendengar ucapan gadis itu.
Latifah mendekati Fatma, mengusap tangan Fatma lembut. "Mbak Fatma, dengarkan baik-baik apa yang aku ucapkan. Tolong kali ini turuti apa yang aku minta," pinta Latifah.
"Iya, Lat. Memangnya kamu mau bicara apa?"
Latifah mengatur nafasnya, mengumpulkan keberanian. "Mbak, Gus Amir sudah menikah beberapa bulan lalu. Jadi aku mohon, jauhi Gus Amir. Jagalah perasaan istrinya, dia pasti terluka jika tahu mbak mendekat terus pada Gus Amir."
Fatma melepas kasar tangan Latifah yang ada di atas tangannya. Menggeleng, tidak percaya dengan ucapan Latifah. "Mbak ndak percaya. Kamu tega ya sama Mbak. Kamu ingin Mbak melepaskan apa yang diperuntukkan bagi Mbak. Tidak bisa Lat, Mbak yakin Gus Amir belum menikah karena dia sempat meminta ijin lebih mengenal Mbak beberapa bulan lalu. Apa mungkin secepat itu dia berpaling?" Fatma membuang muka setelah mengatakan itu.
"Mbak, tolong percaya sama ucapanku. Aku ndak mau Mbak dan istri Gus Amir terluka," pinta Latifah.
"Mbak, kali ini percayalah padaku. Aku ndak ingin mbak merasa terluka dan menyesal pada akhirnya," sambung Latifah lagi dengan suara lirih.
Tidak ada balasan lagi dari Fatma, tanpa pamit dia pergi meninggalkan Latifah.
"Ya Allah, kasihan Ning Fia. Saat ini pasti dia terluka," ucap Latifah tepat setelah Fatma melenggang keluar.
Latifah tertunduk sedih, dia tak menyangka kedatangan Fatma akan membuat semuanya menjadi rumit. Hingga tanpa disadarinya di ambang pintu berdiri seorang santri putri yang mendengar semua percakapannya tadi.
Santri putri itu berjalan mendekati Latifah yang masih setia tertunduk. "Apa maksud semua ini Latifah?" tanyanya pada Latifah.
Latifah terkejut, matanya membulat sempurna mengetahui siapa yang ada di hadapannya saat ini. "Mbak Fany."
"Lat, apa maksud dari semua ucapan kalian tadi?"
Latifah gemetar, keringat dingin mengalir deras dari keningnya. Dia bingung apa yang harus dikatakan pada Fany.
"Mbak Fany dengar semuanya?" tanya Latifah ragu.
"Semuanya," jawab Fany dengan manik mata menatap lekat Latifah.
Latifah terisak lirih kemudian berhambur memeluk erat Fany yang berdiri di hadapannya. Menumpahkan segala beban tentang masalah Fatma yang selama ini disimpan sendiri. Menceritakan segala yang terjadi belakangan ini secara runtut tanpa ada yang ditutupi, karena dia berpikir inilah saatnya rahasia ini harus dibagi. Dia membutuhkan kawan yang membantunya menyelesaikan masalah ini. Dengan begitu, bisa segera mengakhiri semua ini tanpa ada yang lebih tersakiti lagi.
****
Cahaya lampu kamar yang begitu terang menyapa kelopak mataku ketika terbuka pertama kali. Mengerjap berulangkali sambil mengumpulkan kesadaranku yang belum terkumpul sepenuhnya.Tanganku meraih selimut warna biru yang menutup sebagian tubuhku lalu sedikit menyibaknya kebawah. Kerudung yang menutupi rambutku pun sudah tergantung didekat lemari pakaian. Bukankah aku tadi sedang muraja'ah sambil terduduk dilantai?
Pintu yang sebelumnya tertutup perlahan sedikit terbuka, menampakkan sosok pria yang telah sah menjadi suamiku lima bulan yang lalu. Dia berjalan perlahan mendekat padaku sambil membawa semangkok bubur.
"Dek, dimakan ya. Mas tahu kamu belum makan sejak pagi." Tangannya dengan cekatan menyendokkan bubur, mengarahkannya padaku.
Aku bergeming, enggan meresponnya. "Buka mulutnya, Dek. Mas tahu, badan kamu sedang tidak baik-baik saja," ucapnya masih berusaha membujukku untuk menerima suapannya.
Andaikan dia tahu bagaimana hatiku, pasti dia tak akan berkata demikian. Saat ini hatiku yang paling tidak baik-baik saja Mas, itu karena rasa cemburu dan rasa sakit yang mengoyaknya. Tubuhku juga tidak baik-baik saja karena efek dari semua itu Mas.
"Dek, Mas minta maaf. Jangan diam seperti ini. Mas tidak bermaksud membuatmu terluka. Percaya sama Mas. Sebenarnya ..."
Belum sempat Mas Amir menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba perutku bergejolak dan langsung memuntahkannya tepat di sarung Mas Amir.
"Maaf," ucapku lirih.
Mendengar ucapan maaf dariku, Mas Amir hanya tersenyum sambil memijat tengkukku pelan. Setelah melihat mualku mulai berhenti dia kembali membaringkanku, kemudian bangkit dari duduk lalu mengambil tisu yang ada di atas meja rias.
Dia kembali berjalan mendekatiku, duduk di sampingku. Tangannya bergerak mengusap lembut sisi bibirku, membersihkan sisa-sisa muntahan yang ada di sana.
"Tidak masalah, Dek. Mas ndak akan marah sama kamu. Sekarang Mas mau buat wedang jahe dulu, kamu baringan aja ya." Senyum tulus terbit dari bibirnya, senyuman yang sama pernah diberikan pada Mbak Fatma.
Andai dia tahu jika senyumannya itu juga memiliki efek luar biasa. Terkadang mampu membuat hatiku menghangat, terkadang juga bisa menjadi jarum yang menusuk hatiku kala senyum itu diberikan pada wanita lain dan orang itu Mbak Fatma.
Pikiranku mulai melayang, mengingat kembali bayangan Mbak Fatma yang datang memasak bubur untuk Mas Amir ketika ia sakit. Dia tanpa canggung melakukan itu, tingkahnya pun menunjukkan ketulusan atas apa yang dilakukan. Sorot mata yang melambangkan rasa cinta yang begitu besar ada di sana.
Jika suatu saat nanti Mas Amir benar-benar berpaling dariku dan memilih Mbak Fatma sebagai madu, apa aku sanggup dengan itu? Atau mungkin akulah yang akan mundur dan mengalah merelakan suamiku?
Ya Allah, apa yang harus kulakukan pada hatiku kala itu. Pecah berkeping-keping pastinya hingga tak lagi berbentuk karena terlampau hancur menjadi serpihan kecil yang pada akhirnya tersapu dan menghilang. Tak bisa kembali lagi.
****
6 Ramadhan 1440 HSemarang، 11 Mei 2019
Revisi 3 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...