10. Penuh Makna

13K 652 19
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG UTAMA

****

Semilir angin menerbangkan ujung hijab yang kukenakan. Sapuan lembut menerpa wajahku. Mataku tak pernah lepas memandang Fany dari jauh. Duduk pada bangku kayu kecil di bawah pohon mangga dengan raut wajah masih sama seperti kemarin, sendu dan tanpa gairah.

Kakiku berjalan menuju ke arahnya, membawa sepiring rujak buah mangga dengan sambal pedas serta sebotol air minum yang dingin. Sepertinya ide yang bagus, meluapkan emosi dengan memakan makanan pedas.

Tanpa mengatakan apapun, langsung saja aku duduk di sampingnya. Meletakkan sepiring rujak di antara kami. "Rujak, Fan. Enak banget lho," tawarku padanya. Mengambil sepotong mangga dengan mencocol sambal yang banyak.

Fany yang tadi hanya menatap lurus ke depan menoleh padaku. Menggeleng melihatku kepedesan dengan keringat membasahi kening, tak lupa bibirku yang pasti sudah merah merona tapi tanganku masih terus mencocol sambal dengan mangga muda.

"Kebiasaan, makan ndak tahu ukuran. Sudah sampai meler  masih terus nambah." Aku hanya nyengir. Terus melanjutkan makan rujak.

"Yang buat enak makan rujak itu sensasi sambel pedasnya, Mbakyu," balasku dengan mulut terbuka karena kepedesan.

Mendengar jawabanku, Fany tersenyum lantas mengambil sepotong mangga muda dan mencocol sambal cukup banyak. Aku terkikik, akhirnya rencanaku berhasil. Membuatnya mengalihkan pikiran.

"Kamu tahu, Fan. Makan pedes itu bisa buat ketagihan. Bisa buat melepaskan resah dan gundah." Agak ngawur sebenarnya kalimatku yang terakhir. Tapi, itu memang benar menurutku dan aku sudah membuktikan.

"Kalau buat ketagihan aku setuju, tapi kalau buat menghilangkan resah dan gundah aku kurang pro denganmu. Iku omongan ngawur tingkat tinggi." Fany berucap sambil mengipas mulutnya yang kepedasan.

Aku terkekeh pelan, bukan karena ucapannya tapi antara geli dan kasihan melihat ekspresinya, wajahnya merah padam. Ada hal yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Sebenarnya Fany bukanlah pecinta pedas sepertiku.

"Nih, minum. Jangan gaya ambil sambel banyak. Megap-megap tho akhirnya." Kuangsurkan botoh air minum dingin yang tadi kubawa padanya.

Fany meneguknya lumayan banyak, hingga akhirnya bersendawa kecil. "Alhamdulillah," ucap Fany dengan cengiran.

Aku tersenyum. Hatiku berdesir  menghangat, merasakan Fany sudah kembali pada sifat aslinya.

"Kamu ndak ikut sema'an Alqur'an, Fi?" Aku menggeleng dan mengatakan bahwa aku sedang berhalangan. Tanganku  kembali ingin mencocol sambal yang ternyata sudah habis. Entah, aku atau Fany yang menghabiskan.

"Kamu sendiri?"

Fany menggeleng. "Aku udzur, Fi. Kalaupun aku ikut, aku sendiri minder. Mereka sudah khatam dan sudah ikut Khataman bil ghaib, apalah aku yang baru hafal juz 30."

Aku tersenyum. "Fan, jangan minder. Juz 30 itu adalah batu loncatan kamu untuk melaju pada juz berikutnya." Ku usap tangan Fany. Memberi semangat untuk terus melanjutkan hafalannya.

"Kamu jika sudah punya tekat kuat, jangan mudah kendur begitu melihat orang lain yang lebih di atasmu. Karena mereka juga pernah pada posisimu, tapi mereka tidak putus asa hingga mampu menyelesaikan," sambungku.

"Terima kasih, Fi. Kamu bukan hanya membuatku melepaskan kesedihan, tapi membuatku semangat melanjutkan harapanku."

****

Rumah kayu dengan model  sederhana beralaskan papan masih berdiri kokoh meski termakan jaman. Derap langkah kaki terdengar jelas ketika keduanya menapaki tiap alas papan kayu. Dua karib itu seakan tak menghiraukan suara hasil dari langkah kaki mereka.

Keduanya berjalan menuju teras, duduk di kursi kayu panjang untuk mengistirahatkan kaki mereka yang sedari tadi tak sempat berhenti berkeliling persawahan di sekitar rumah itu.

Mereka memandang hamparan tanaman hijau yang masih tampak asri, tak lupa ditemani dua cangkir kopi yang masih setia menemani mereka mulai kepulan asap yang menandakan kopi masih panas hingga hangat seperti sekarang.

"Gus, aku jadi bingung kalo mengurus ini sendiri. Mau minta tolong sama siapa juga ndak tahu." Adu kang Fikri pada Gus Amir. Mengalihkan pandangannya menatap sang Gus yang tengah menikmati lantunan syahdu musik alam dengan mata terpejam, buah cipta kicauan burung yang bersahutan.

"Minta tolong saja sama Allah dicarikan pendamping buat sampean. Biar ada yang bantu mengurus sawah sama ternakmu itu. Dan jangan lupa satu tanggung jawab lagi yang selama ini sementara sampean serahkan pada Abah mu." ujar Gus Amir lembut dengan senyuman tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

Mendengar penuturan sang Gus, kang Fikri hanya diam tak mampu menjawab. Lidahnya kelu tatkala membahas kembali hal itu. Sekelebat bayangan bersama Tsania kembali muncul dalam benaknya.

Melihat reaksi sang lawan bicara, membuat Gus Amir menghembuskan napas beratnya.
"Sudah beberapa bulan Fik, sampean ndak kasihan sama Tsania dan anakmu disana yang menangis melihatmu setiap malam selalu tersedu-sedu."

"Ndak ada maksudku memaksamu menikah lagi dalam waktu dekat. Tapi dengan melihat sampean seperti itu terus, menurutku pendamping hidup adalah Syifa atau obat pelipur lara paling mujarab buat sampean Fik. Tolong pertimbangkanlah ucapan sahabatmu ini, Fik," sambung Gus Amir menatap sendu kang Fikri.

Kang Fikri seakan enggan membahas hal itu, raut mendung terbingkai jelas di wajahnya. Dia masih nyaman dengan kebungkaman, meskipun telah mendengarkan penuturan Gus Amir.

Diambillah secangkir kopi miliknya, menyeruput hingga benar-benar tandas. Namun menyisakan memori indah masa lalu yang saat ini terus berputar-putar dalam pikirannya.

"Aku belum siap Gus. Semua kenangan itu masih membayangi setiap bilik dalam otakku," ucap kang Fikri dengan wajah sendu seperti satu bulan yang lalu saat datang pertama kali menemui Gus Amir setelah sebulan datangnya musibah yang merenggut dua nyawa yang dicintainya.

"Untuk tanggung jawab dari Abah, aku juga belum sanggup mengemban. Mengurus pondok pesantren tanpa pendamping bukan perkara mudah untukku," lanjut Kang Fikri.

Ditepuklah punggung Kang Fikri oleh pria di sampingnya sembari berucap, "jangan lupa, setiap suatu musibah yang diturunkan Allah, pasti Allah sertakan hikmah di dalamnya. Ojo ngeroso paling sengsoro, Fik. Allah tahu ujian seperti apa yang kuasa hamba-Nya lalui," ucap Gus Amir.  Berlalu meninggalkan Kang Fikri yang masih terdiam.

Kang Fikri lagi-lagi dibuat menutup rapat mulutnya usai mendengar ucapan Gus Amir. Penuturan sosok itu barusan seakan menjadi tamparan keras baginya. Saat musibah itu datang, membuat dirinya hanyut dalam duka. Terlupa mencari jalan penentram jiwa dengan mendekat pada Allah. Musibah menenggelamkannya ke dasar jurang terdalam lembah duka hingga lupa memetik hikmah dan menanamkan sabar ketika musibah itu terjadi.

****

Ojo ngeroso paling sengsoro-> jangan merasa paling sengsara

Versi Revisi
Semarang, 24 April 2020√

Semarang 28 Desember 2018

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang