39. Ikhtiar

9.1K 573 33
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Takdir memang kuasa Allah. Hanya kelapangan hati menerima semua takdir-Nya yang bisa kita lakukan. Aku telah ridho terhadap keputusan Allah mengambil Ja'far. Mungkin Allah ingin aku menjadi hamba yang lebih baik lagi dengan mengujiku.

Satu bulan lebih bukan waktu yang sebentar tinggal di rumah orang tuaku. Melakukan segala hal tanpa dirinya ternyata membuatku sepi. Aku rindu kehadirannya, rindu segala tentangnya. Bahkan setiap malam sebelum tidur aku selalu meraba ranjang sebelahku, membayangkan dia berbaring di sana. Aku sangat rindu dengan dosenku itu. Wajahnya selalu ada dalam setiap mimpi malamku.

Kulirik jam yang berputar, berharap hari segera berganti. Besok dia akan datang, menghapus segala kerinduanku yang kian menjulang. Ya, dia memberi kabar akan menjemputku besok siang.
Berusaha memejamkan mata  hingga tak terasa mulai terlelap.

Beberapa kali mengerjap sambil mengatur rambut lalu mengikatnya setelah mendengar azan subuh. Bersiap menunaikan salat berjamaah di masjid pondok.

Langkahku melambat ketika melihat Abi dan Umi keluar dari masjid lalu berjalan beriringan menuju pendopo kayu di samping rumah yang tidak dilewati para santri. Tempat itu sepi dan tersembunyi, sangat nyaman untuk bersantai dan nderes.

Aku tersenyum ketika Umi duduk bersimpuh di depan Abi. Menyerahkan Alqur'an miliknya pada Abi dan bersiap untuk di simak. Keduanya tampak khusyuk sampai tak menyadari kehadiranku yang duduk di sudut pendopo.

Umi mengakhiri bacaan pada akhir Juz enam belas. Menerima kembali mushaf dari Abi lalu merubah posisi duduk dengan bersandar pada tiang. Abi mengusap puncak kepala Umi kemudian beranjak dari sana. Tersenyum ke arahku ketika berjalan menjauhi Umi, menghampiriku lalu menepuk puncak kepalaku. "Udah sehat hati dan pikirannya? Udah ndak sedih lagi, kan."

"Inggih, Bi."

Tampak Umi menoleh hingga netranya bertemu denganku. Aku tersenyum.

"Wes suwe di sana, Nduk?"

Aku mengangguk, menghampiri Umi. "Iya, Umi. Sekalian dengar Umi disimak Abi."

"Gimana? Sudah ridho lahir batin sama keputusan Gusti Allah?"

Aku tersenyum. "Alhamdulillaah, Umi. Maaf kalau beberapa waktu lalu sempat menyusahkan."

Sejak kemarin malam aku benar-benar mencoba melepas kesedihan. Berpikir banyak hal yang terbuang saat menuruti kesedihan itu, termasuk harus mundur jadwal sidang. Beruntung masih ada satu lagi sidang sebelum pendaftaran wisuda, dan itu juga bersamaan dengan sidang kedua sahabatku. Memang aku yang paling awal ikut sidang, tapi karena kejadian satu bulan lalu aku harus mundur sidang.

Kami beranjak dari pendopo tepat ketika jarum jam menyentuh angka sembilan. Setelah ini jadwal Umi ngisi kajian di kumpulan ibu-ibu yang tinggal dekat lingkungan pondok disambung ngisi kajian di pondok putri. Sedangkan aku kembali ke kamar untuk nderes lalu  mempelajari skripsi yang kubuat.

Tak terasa jam sudah  menunjukkan pukul dua siang. Aku bahkan sudah bersiap pulang selepas salat dzuhur tadi, tapi kenapa dia belum juga datang. Tahukah dia bahwa kerinduanku kian menggebu. Membayangkan rupanya dalam angan menjadi kebiasaan baruku. Hanya menunggu dia datang beberapa saat lagi. Satu bulan lebih tinggal tak seatap dengannya ternyata sulit meski beberapa kali dia datang berkunjung.

Jemariku sejak tadi memainkan ujung jilbab karena tak bisa diam. Sepertinya duduk terus di ranjang malah membuatku bosan. Aku harus menantinya di luar, seperti ini membuatku tak sabar.

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang