8. Semakin Mengenalnya

16.9K 760 31
                                    

Sinar surya mulai nampak dari ufuk timur. Menghapus jejak mendung yang sempat menghadirkan guyuran air subuh tadi. Kini hanya menyisakan butir air pada dedaunan dan genangan.

Satu minggu telah berlalu, setelah kejutan yang Pak Rahman berikan padaku berupa kisah masa lalunya. Semenjak itu pula, Pak Rahman mulai berani memperlihatkan perhatiannya padaku, tapi bukan di kampus. Karena di kampus dia akan kembali menjadi pak Rahman yang datar. Kembali profesional dengan pekerjaannya. 

Seperti saat ini, Pak Rahman dengan wajah seriusnya sedang menerangkan materi di depan kelas.

"Apakah bisa dimengerti apa yang telah saya sampaikan? Ada ingin ditanyakan?" ujar pak Rahman usai menerangkan materi.

"Mengerti Pak. Saya tipe orang yang selalu memperhatikan ucapan calon imam saya."

Ya Allah, begitu mudah Kau membolak-balikkan hatiku. Yang awalnya cerah menjadi mendung hanya karena mendengar Cintya memberikan gombalan recehnya pada Mas Amir.

"Yang sabar ya Fi, innallaha ma'as shoobiriin. Banyak-banyak baca istighfar," ucap Nadya yang  kubalas dengan senyuman tipis.

'La taghdhob Fia.'

Kulafalkan mantra itu berulang kali dalam hati. Berusaha mendinginkan suasana hatiku yang sempat memanas.

"Halah, tukang modus. Jangan dengerin ucapan Cintya, Pak," balas Fany dengan posisi berhadap-hadapan dengan Cintya. Keduanya terlihat saling beradu pandangan. Sama-sama melempar tatapan tajam yang menghunus.

"Ucapan kamu nggak bermutu. Sok bilang modus. Iri kamu sama aku? Bringas juga ternyata gadis yang dianggap alim di kampus ini," balas Cintya tak mau kalah. Siapapun tolong sudahi semua ini!

Keduanya tak menyadari sekarang telah menjadi pusat perhatian. Kuusap punggung Fany dan membisikkan kata sabar padanya. Usahaku berhasil, raut wajah Fany yang awalnya tak bersahabat berubah seperti sedia kala.

"Cukup! Saya anggap semua materi yang telah saya sampaikan sudah bisa dipahami dan tidak perlu ditanyakan." Syukurlah, akhirnya Pak Rahman datang sebagai penengah.

"Saya cukupkan pertemuan kali ini. Wassalamualaikum," ucapnya kemudian berlalu meninggalkan kelas.

****

Baru saja hendak menyendokkan nasi goreng ke dalan mulut. Tiba-tiba ponselku bergetar tanda pesan masuk. Kubuka ponselku, disana tertera kontak pengirim pesan yaitu Pak Rahman.

From My Gus

Dek, Mas tunggu di mobil

To My Gus

Iya Mas, Fia kesana sekarang

Kutepuk jidadku karena lupa jika setelah matkulnya selesai kami akan pergi. Lebih tepatnya pergi sowan ke rumah guru Pak Rahman.

Dalam perjalanan Pak Rahman banyak bercerita tentang sosok sang guru yang akan kami sambangi. Dari ceritanya aku tahu jika dia begitu segan dengan sosok sang guru. Menceritakan banyak hal tentang gurunya hingga tanpa disadari kami tiba di pelataran rumah kayu sederhana dengan halaman luas.

Tepat disaat kami turun dari mobil, terlihat pria paruh baya berwajah teduh berdiri diambang pintu rumah memberi senyuman, menyambut kedatangan kami.

"Assalamualaikum Abah Yai," sapa pak Rahman sembari mencium punggung tangan pria paruh baya itu.

"Wa'alaikumussalam, Kang Bejo," jawab pria paruh baya tadi masih dengan senyuman dibibir. Setelah itu kami dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.

Kuberikan senyum manisku pada Pak Rahman yang memandang wajahku. Satu lagi pertanyaanku telah terjawab. Ada raut kelegaan dari pak Rahman, seakan satu beban yang dipikulnya terangkat.

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang