18. Masih mengharapku

9.6K 537 26
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Jangan mengharap kaca yang telah retak bisa kembali seperti semula hanya dengan perekat. Seperti halnya hati, yang telah patah tak bisa kembali seperti semula.

~ My Future Gus ~

_________

Rintikan air hujan kian bertambah deras. Genangan air mulai terbentuk di jalanan yang tampak cekung. Suara petir beberapa kali turut serta mengisi suasana riuh hujan. Sorot lampu neon penerang bagian sudut pesantren terlihat samar-samar karena saking derasnya hujan. Senandung rintik hujan tercipta indah mengalun syahdu menemaniku malam ini.

Sejak pertemuanku dengan Gus Fauzan minggu lalu, ketenanganku mulai terusik.
Ditambah lagi pinangannya yang tiba-tiba, semakin membuat pikiran dan hatiku tak tenang.

Aku tidak mau apa yang sudah susah payah kubangun, harus roboh hanya karena terhantam masa lalu. Sama halnya dengan kisah indah yang telah terukir antara aku dan Mas Amir harus rusak karena adanya ukiran lain di sana. Aku tidak menginginkannya.

Bagiku semua sudah usai. Mencukupkan sampai di sana lika-liku pilu kisah cinta tak terbalas. Saat ini masa depan sudah dalam genggamanku, yaitu genggaman masa depanku bersama Mas Amir.

"Mbak, ngelamun aja. Ndak kedinginan apa?" Suara Azzam membuyarkan lamunanku.

"Dingin sih, tapi suka aja lihat hujan. Dengan melihat hujan, kita secara langsung bisa menyaksikan rahmat Allah turun ke bumi." Aku hulurkan tangan keluar jendela kamar, merasakan tiap rintik hujan yang membasahi telapak.

"Terkadang manusia itu aneh,  Zam, pikiran kita ketika musim hujan datang dan terjadi banjir pasti kita mengeluh dan menyalahkan hujan sebagai penyebab. Padahal hujan itu kan rahmat. Gusti Allah menciptakan sesuatu pasti ada manfaatnya. Kita saja yang suka menyalahkan tanpa mau muhasabah diri." Aku tarik tangan yang basah,  menempelkannya pada pipi Azzam.

"Ish, dingin mbak. Atis tenan tanganmu." Keluh Azzam sambil menepis tanganku yang hendak menyentuhnya lagi.

Kukira setelah Bang Hasan memutuskan pulang ke Kendal dua hari yang lalu, Azzam akan ikut serta. Ternyata dia betah disini dan ingin menginap satu bulan dengan alasan dia sudah selesai ujian dan sedang libur panjang pondok.

Tapi lumayanlah, aku ada teman yang bisa dijadikan driver kalau mau kemana-mana. Maklum saja, Mas Amir pulang sore sampai rumah ba'da ashar dan malamnya mengisi kajian kitab di pondok. Hanya akhir pekan dan tanggal merah saja tugas mengajar di kampus libur, itu pun jika tidak ada seminar. Sisanya adalah waktu denganku.

Aku syukuri saja apa yang sudah berjalan sekarang. Jika di kampus pun sebenarnya kami juga  menghabiskan waktu bersama, hanya saja dalam koridor dosen dan mahasiswa. Itu berlaku ketika di dalam kelas.

"Siapa pria yang duduk bersama Mbak di kursi kayu dekat kantin tadi?" Aku terkejut mendengar ucapan Azam. Seketika mataku membulat kemudian mengarahkan pandanganku untuk menatapnya.

"Kamu tahu, Zam?" Azam menarik tanganku kemudian menuntunku keluar kamar. Dia menggiringku ke ruang tengah, duduk di atas karpet motif bunga warna coklat.

"Aku dengar semuanya, Mbak. Dia itu Gus Fauzan, kan. Orang yang dulu pernah Mbak ceritain?"

Menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. "Iya, sebenarnya Mbak ingin mengatakan bahwa Mbak sudah menikah. Tapi belum selesai bicara, Gus Fauzan pergi dahulu. Bingung jadinya, Zam."

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang