25. Saling Melengkapi

8.8K 569 39
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

'kita ditakdirkan untuk saling mengisi dan melengkapi kekurangan dengan kelebihan masing-masing. Bukan hanya menyatukan kelebihan dengan kelebihan. Karena jika ada kelebihan, pasti ada kekurangan. Allah Maha Adil'

~Fia~
~ My Future Gus ~

****

Pria yang tengah menyisir rambutnya itu tak pernah kehilangan pesonanya. Bagai suatu yang terpatri, seperti itulah pesona yang dia miliki. Kuat dan tidak mudah goyah.

Dengan baju koko serta sarung, berpakaian seperti itu pun dia tetap terlihat rupawan. Wajahnya itu memang selalu enak bila dipandang. Ditambah sikap bijaksana dan pembawaan tenang yang dimiliki, semakin membuatku tak mampu berpaling darinya. Bahagia, itulah satu kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku saat berada di sampingnya. Alhamdulillaah, Allah anugerahkannya sebagai pasanganku.

Semoga saja, tadi siang adalah kali terakhir Gus Fauzan mendekatiku. Tidak ada lagi pria lain yang hadir untuk mengusik kebahagiaan yang kumiliki.

"Dek, Mas ke masjid dulu ya." Dia mengulurkan tangan besarnya padaku untuk kucium yang kemudian kusambut dengan mencium punggung tangan besarnya itu.

"Iya, Mas. Jangan lupa nanti ambil wudhu lagi, sudah batal lho ini. Mas jadi imam, kan."

Diacak rambut hitamku olehnya. "Iya, dek. Sekarang adek jangan mikir yang macem-macem, semua sudah selesai," balasnya sambil mengecup keningku sekilas kemudian keluar dari kamar kami.

Aku memandang lekat punggung kokohnya yang mulai menghilang dari balik pintu kamar. Apakah semudah itu dia mengetahui pikiranku. Atau inikah yang dimaksud kelebihannya.

****
Pepohonan mulai merunduk, merapatkan barisan dedaunan yang menggantung pada ranting. Ditemani temaram sinar rembulan aku menikmati secangkir teh. Jangan tanyakan dimana Mas Amir berada, karena malam ini adalah agendanya mengisi kajian kitab di masjid pondok untuk seluruh santri.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Beginilah kuasa Allah berjalan. Aku yang awalnya gadis biasa dipertemukan dengan suami yang sifatnya subhanallah terkadang membuatku tak mengerti kemana jalan pikrannya.

"Mbak Pia." Suara panggilan disertai ketukan kasar pada pintu kamarku berulang kali terdengar. Sepertinya pemilik suara itu tidak memiliki stok kesabaran yang berlebih untuk menunggu.

Tak mau menunggu pintu kamarku sampai hancur, akhirnya aku berjalan mendekati pintu, meraih gagangnya lalu membukanya pelan. Tepat ketika pintu terbuka menampilkan sosok adik semata wayangku, Azam.

"Kenapa, Zam?"

Bukan menjawab, dia malah memperlihatkan cengiran menyebalkanya.

"Mbak, Azam penasaran. Kenapa tadi siang Gus Fauzan bisa kesini?" Ternyata karena hal itu dia menggangguku.

"Diajak Mas Amir," balasku singkat, kemudian mendorong pintu kamar untuk menutupnya kembali.

"Eh! Kok mau ditutup lagi sih, Mbak? Emang Mbak Pia ndak mau dengerin cerita Azam." Cegah Azam dengan menarik tanganku. Kalau sudah seperti ini, terpaksa mengangguk sebagai balasan.

Akhirnya kuambil krudung instan milikku yang tergelak di ranjang, memakai sekenanya. Mengikuti Azam ke ruang tengah.

"Sini lho Mbak duduk di samping Azam." Dengan ragu aku menuruti perintahnya.

"Kenapa sih Zam? Nanti kalo Mas Amir lihat gimana?" Harusnya bukan pertanyaan ambigu itu yang muncul. Seharusnya aku meminta Azam untuk membiarkanku kembali ke kamar.

Diraih kedua pipiku oleh Azam. Mencubitnya gemas hingga meninggalkan bekas merah. "Mbak Pia, mana mungkin Mas Amir cemburu. Lha Wong istrinya duduk sama adeknya sendiri kok. Udah, ndak usah aneh-aneh."

"Sakit, Zam." Kutepis tangan usil milik Azam yang masih berada pada kedua pipiku.

"Hehehe, maaf Mbak Pia. Habisnya Azam gemes," balasnya kembali menunjukkan cengiran. Wajah tanpa dosa itu sungguh menyebalkan.

"Mbak, Mas Amir tadi marah ndak sama Gus Fauzan?" Ini bukan cerita, lebih tepatnya bertanya. Pinter banget buat alasan biar mbaknya keluar dari kandang.

"Ndak. Emang kenapa sih Zam?"

"Sudah kuduga."

Aku menatap bingung pada Azam. Apa maksud dari ucapannya.

"Tunggu, apa maksud kamu Zam?" Aku mulai dibuat penasaran olehnya.

"Mbak ndak tahu kalo Mas Amir punya kelebihan bisa membaca fikiran orang?"

Aku hanya menggeleng setelah mendengar balasan dari Azam.

"Ok, Azam ceritain apa yang Azam tahu aja. Kata Abi, salah satu putra Yai Syaif ada yang memiliki kelebihan. Entah siapa yang dimaksud waktu itu Azam ndak tahu karena setahu Azam, Yai Syaif itu punya dua putra. Yang pertama Gus Ali dan yang kedua Azam ndak tahu namanya." Azam menghentikan ceritanya, mengambil segelas air putih lalu meneguknya hingga tandas.

Memutar bola mataku malas. Kebiasaan, selalu merusak suasana.

Selesai minum, dia meletakkan gelas kosong tadi di meja lalu melanjutkan ucapannya. "Maaf Mbak, tadi Azam haus. Tapi waktu acara lamaran mbak yang super dadakan itu, Azam jadi tahu siapa putra Yai Syaif yang kedua, yaitu Gus Amir. Dialah yang melamar Mbak Pia. Menurut para Kang santri, Gus Amir lah yang memiliki kelebihan. Lebih tepatnya turunan dari Abuya Yusuf."

Semakin dibuat penasaran aku dengan cerita Azam. Ternyata aku tak begitu mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan suamiku.

"Maksudmu, Abuya Yusuf juga memiliki kelebihan seperti Mas Amir?"

"Masalah itu Azam juga kurang tahu, Mbak. Persis atau tidaknya kelebihan antara keduanya yang Azam tahu, memang tak banyak orang yang mengetahui hal itu. Kang santri yang tahu pun itu dari santri Abi yang pernah nyantri di sini. Setahu Azam juga sih, Mbak. Coba Mbak ingat, Mas Amir itu sering bertingkah seolah tidak tahu padahal dia tahu. Diam, itu kebiasannya."

"Mas Amir ndak akan menunjukkan kelebihannya itu pada sembarang orang. Makanya hanya beberapa orang saja yang tahu," sambung Azam lagi.

Cerita Azam terus mengalir begitu saja hingga dapat kusimpulkan bahwa Mas Amir dianugerahi Allah kelebihan yang tidak dimiliki orang lain pada umumnya.

****
Kulirik wajah damai pria yang tengah berbaring disampingku. Mata yang biasanya mencerminkan sikap tegas kali ini terpejam, kedua kelopaknya sedikit tertutup anak rambut. Melihat hal itu, aku berinisiatif merapikannya.

Perlahan tanganku mulai bergerak merapikan anak rambut yang menutup matanya bagian kiri. Namun, belum sempat aku merapikan anak rambut bagian kanan, tangan Mas Amir terlebih dahulu menarik tanganku masuk dalam genggaman. Meletakkan pada dada bidang miliknya.

Kurasakan detak jantung yang berpacu begitu cepat di sana. Tak jauh berbeda denganku, debaran hebat menguasai dadaku. Tubuhku ditarik hingga limbung dan terjatuh tepat di atas dadanya. Dia memiringkan tubuh, membuat kami sama-sama berbaring dalam posisi miring sambil berpelukan.

"Ning, kamu terima apapun yang ada pada diri Mas, kan." Semakin dirapatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Tangan kokohnya melingkar sempurna, menutup sebagian tubuhku.

Kubalas pelukannya dengan erat. "Iya, Mas. Aku akan terima apapun yang ada pada Mas. Karena aku tahu, kita ditakdirkan untuk saling mengisi dan melengkapi kekurangan dengan kelebihan masing-masing. Bukan hanya menyatukan kelebihan dengan kelebihan. Karena jika ada kelebihan, pasti ada kekurangan. Allah Maha Adil, bukan," jawabanku dibalasnya dengan usapan lembut di punggungku.

"Apapun yang akan terjadi nanti, jangan pernah melepaskan Mas. Jangan pernah adek merasa sedih sendiri dengan apa yang diujikan Allah pada kita. Karena Allah tahu, kita mampu melewati semuanya." Dikecupnya keningku lama, lalu memberiku lengkungan manis dari bibir tipisnya.

****

Semarang 27 April 2019
Revisi 24 Desember 2021

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang