'Setiap kebaikan saja belum tentu dianggap baik,kenapa kita perlu repot berbuat buruk jika kebaikan saja terkadang dianggap sebagai keburukan'
~ My Future Gus ~
****
Suara deru mesin motor yang lalu lalang menghiasai perjalanan kami. Ditambah dengan hembusan angin yang cukup kencang membuat dedaunan bergesekan. Menciptakan melodi indah memberi nuansa romantis perjalanan kami.
Terlalu hanyut dalam suasana, tanpa sadar tangan Pak Rahman bergerak meraih tanganku yang awalnya tampak ragu berpegangan padanya, menahan untuk tetap berpegangang erat pada pinggangnya.
"Jangan sampai warna itu memudar," ujarnya lalu terdiam, fokus pada jalanan.
Aku masih tidak paham maksudnya hingga Pak Rahman kembali menyambung kalimatnya. "Saya suka rona merah pipi kamu."
Jantungku berdegup kencang, menggila karena ucapannya barusan. "Hah!"
Mendengar balasanku Pak Rahman terkekeh. Suaranya pelan tapi dapat tertangkap oleh telingaku.
Senyuman tak pernah pudar dari bibirku. Memandang wajah tampan pak Rahman yang terlihat dari kaca spion motor. Tak ada lagi sikap dingin dan ekspresi datar dari wajahnya, yang ada hanya senyuman yang terukir di sana ketika melihatku tersenyum memperhatikan wajahnya dari kaca spion.
Indah, bahkan sangat-sangat indah. Siapapun tak akan mampu menolak pesonanya jika melihatnya tersenyum simpul seperti itu. Sekarang aku tahu mengapa banyak orang yang jatuh cinta hanya karena sebuah senyuman. Karena saat ini aku juga mengalami hal yang sama. Tapi entah, aku merasa sekarang telah benar-benar jatuh hati padanya, hanya karena sebuah lengkungan manis dari bibirnya.
Allah Karim, betapa indah ciptaan-Mu itu. Terimakasih Engkau telah menjadikannya sebagai penyempurna agama hamba dan pemimpin hamba menuju keridhoan-Mu, insyaallah.
Suara azan menghentikan perjalanan kami. Memilih berhenti di musholla kecil pinggir jalan untuk menunaikan sholat dzuhur sebelum melanjutkan perjalanan.
Senyum tipis kembali terukir dariku mengingat penjelasan pak Rahman tadi setelah menunaikan sholat, tentang peristiwa yang membawanya masuk ke dalam lingkungan gelap yang membuat nuraninya tergerak untuk membimbing kejalan yang lebih terang. Apalah daya hatiku yang terus tertegun kala mendengar ceritanya. Ada kekaguman yang hadir kala mengetahui suatu rahasia darinya.
Ingatanku dibuat mundur mengingat kejadian demi kejadian yang membuatku tak suka pada sikapnya tanpa tahu yang sebenarnya. Seperti tadi, aku hanya mampu menggelengkan kepala saat mendengar kalimat yang meluncur dari mulutnya. Kalimatnya sangat sederhana dalam setiap bait ceritanya, tapi mampu membuatku menatapnya tak percaya. Hanya singkat memang, tapi berefek luar biasa bagiku. Anggapanku tentang sikap menyebalkan pak Rahman sirna begitu saja. Ternyata pak Rahman tak buruk dan semenyebalkan yang kukira.
Setelah setengah jam menempuh perjalanan, tibalah kami di suatu desa kecil. Jangan tanya kami dimana, karena kami masih dalam lingkup kota Semarang. Lokasi kami saat ini berjarak sekitar dua puluh lima kilometer dari pesantren milik pak Rahman. Hamparan sawah indah dan udara menyejukkan membuatku sejenak terbuai menikmati suasana alam disini. Masih tampak asri tak banyak terjamah tangan-tangan usil pengusaha perumahan.
"Dek, kamu lapar?" tanya pak Rahman sambil menepuk pelan punggungku.
Aku dibuat melongo dengan panggilan barunya padaku. Rasanya aku masih tak percaya, apa aku salah dengar?
"Dek, kamu lapar?" tanyanya lagi padaku. Menatapku dengan satu alis terangkat.
"Bapak tanya Fia?" tanyaku memastikan.
Pak Rahman mengangguk. "Iya, Dek. Dan saya bukan bapak kamu. Dari tadi saya tanya kamu, kamunya malah bengong. Kamu pengen makan ndak?" Kali ini ucapnya semakin lembut padaku.
"Iya, Mas, Fia lapar" ternyata aku tak salah dengar, ini memang nyata.
Mendengar balasanku, Pak Rahman langsung membawa motornya ke sebuah warung kecil di dekat sawah. Setiba disana aku dibuat bingung dengan sikap Pak Rahman. Satu tangannya tiba-tiba melingkar dipinggangku, sang pemilik tangan seakan ingin menunjukkan bahwa aku miliknya.
Tanpa dosa Pak Rahman merangkul erat pinggangku menggiringku masuk ke dalam warung. Kupastikan roma merah mewarnai pipiku saat ini.
"Assalamualaikum." Salam Pak Rahman pada semua orang yang ada di dalam warung sambil melambaikan tangannya.
Ketika pertama kali aku masuk, aku dibuat melongo dengan penampilan orang-orang yang ada di dalam sana. Sedikit kurang nyaman, tapi setelah aku ingat cerita Pak Rahman, aku paham mengapa mereka berpenampilan seperti itu. Aku juga sampai lupa jika Pak Rahman saat ini juga berpenampilan sama seperti mereka. Hanya saja yang membedakan adalah Pak Rahman tak memiliki gambaran dua dimensi berbagai motif pada tubuhnya. Jangan tanya mengapa aku tahu Pak Rahman tak bertato, meski kalian bertanya pun tak akan sungkan kujawab. Jawabannya karena Pak Rahman tidak mungkin menjadi suamiku jika Abi tahu dia memiliki gambaran itu, aku juga tahu dia tak akan melakukan hal yang berbuah dosa untuknya.
'Jangan melihat sesuatu hanya dari covernya Fia, karena bisa jadi covernya tak menarik, tapi isinya batu permata.' Itu kalimat yang Pak Rahman ucapkan mengakhiri penjelasannya ketika masih di mushola tadi.
"Waalaikumussalam," jawab semua orang yang ada di dalam warung dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
"Ealah Bejo, udah lama kamu ndak kesini, Le. Lah itu siapa cah ayu yang ada di sampingmu?" ucap seorang wanita paruh baya keluar dari arah dapur warung.
'Bejo?' sepertinya Pak Rahman melewatkan sedikit bagian kisahnya yang belum diceritakan padaku.
****
Versi Revisi
Semarang, 16 April 2020√Semarang 31 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...