بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
Syukron katsir yang masih setia menunggu. Happy 100k readers... Yuk ramein juga ig ku @luthfi_luthfia63
Setiap detik terus berlalu berpacu dengan waktu. Mentari masih sama, selalu terbit dan tenggelam dengan meninggalkan jejak rona jingga. Rembulan pun masih sama, berdiam di langit malam sembari membagi sinar temaramnya.
Hai hari, aku telah datang.
Kembali pada diriku yang dulu. Berjalan tanpa memikul beban. Berlari tanpa takut terjatuh. Tersenyum karena aku harus bahagia. Meski buah cintaku telah pergi dariku.
Bukan memaksa tapi memang seharusnya aku membuka mata dan berpaling. Terus menoleh ke belakang bukan membuat hati tenang, malah semakin berat melangkah ke depan. Namun bukan berarti melupakan, hanya dijadikan kenangan yang tersimpan rapi serta pembelajaran berharga dalam ingatan.
Untuk pertama kalinya aku kembali menginjakkan kaki di kampus untuk mengikuti sidang yang sempat tertunda. Berjalan penuh ragu menuju gedung fakultasku. Aku telah mendengar desas-desus kabar keguguranku sudah semerbak. Setiap orang menatapku tak suka, memicingkan mata seolah aku adalah terdakwa. Kenapa dengan mereka? Aku wanita bersuami jika aku hamil pun bukan karena perbuatan haram.
Genggaman di kedua tanganku membuatku kuat. Dua sahabatku selalu bersamaku, seakan merekalah yang akan menjadi tameng atas pertanyaan dan pikiran picik yang akan ditujukan padaku.
Ingin rasanya saat ini juga aku berteriak, menyangkal semua tudingan buruk mereka. Menumpahkan sesak yang mendesak rongga dada. Wanita nakal, mereka menyebutku begitu. Panggilan yang membuat siapapun jijik jika disebut seperti itu.
Sampai tibalah kami pada kerumunan orang yang tiba-tiba datang, menarik paksa tanganku. Membawaku di hadapan mereka sambil menarik ujung jilbab yang kukenakan.
"Hei! Jangan kasar kalian!" Gertak Fany melangkah maju, menarikku hingga kembali berada di sampingnya.
"Kenapa? Ada yang salah?" Tanya salah seorang dari kerumunan itu dengan tatapan sinis. Mengangkat dagu, seakan menantang. Memandang perutku yang rata. Mencebik padaku, seolah merasa paling benar.
Dari tadi aku berusaha tenang, tapi kali ini amarahku kian membuncah. Bagiku mereka seperti menabuh genderang perang. Membangunkan bala tentara yang istirahat untuk kembali meraih senjata dan menuju ke medan perang.
Apakah sehina itu diriku di mata mereka? mereka telah menjatuhkan fitnah keji padaku. Aku wanita baik-baik, aku wanita bersuami, dan aku adalah isteri dari dosen mereka. Semua akan kucukupkan sampai di sini. Aku harus tegas, bukan malah membisu atau merengek dan menangis.
"Iya, kalian salah. Kalian menuduh saya tanpa ada bukti." Balasanku pada mereka sebisa mungkin menguasai amarah. Kutatap mereka satu persatu. Berulangkali mengucap istighfar dalam hati agar setan tak dapat menunggangi amarahku dan menggiring untuk melakukan perbuatan tercela.
Kembali cibiran yang kudapat. Menatapku seolah aku berdusta. "Bukankah kamu wanita yang mengandung tanpa suami yang berani kembali menapakkan kaki di fakultas ini?"
Kedua tanganku mengepal, menahan gejolak amarah yang siap meledak. Menghela napas panjang, berusaha tetap mengendalikan diri. "Aku wanita bersuami. Apakah salah jika aku hamil? jikapun aku memiliki seorang anak maka dia itu bukan anak hasil hubungan haram atau zina dan dia memiliki seorang ayah."
Seketika mulut mereka tekatup rapat. Memandangku lekat-lekat, menelisik seluruh bagian tubuhku hingga menjatuhkan sorotan tajam pada cincin kawin yang melingkar pada jemariku.
Fany dan Nadya tersenyum puas melihat ekspresi terkejut mereka.
"Kurang lebih tujuh bulan yang lalu, Fia resmi menyandang status sebagai istri dari seorang pengasuh pondok pesantren." Imbuh Fany dengan senyum miring pada beberapa pasang mata yang berdiri di hadapan kami.
"Puas, menjatuhkan tuduhan yang salah? Tidak takutkah dengan dosa?" sambungnya.
Mendengar ucapan Fany, mereka berangsur bubar. Mungkin malu dengan tingkah mereka sendiri.
Simpang siur kabar memang membuat siapapun mudah terjebak dalam dosa, baik ghibah maupun fitnah. Seharusnya sebagai seorang muslim, kita bukan dengan mudah menelan mentah-mentah kabar yang beredar tanpa tahu kebenaran pastinya.
Tabayyun adalah hal yang tepat dilakukan untuk mengetahui keabsahan dari suatu berita dengan sumber-sumber terpercaya. Bukan malah menyebarkan kabar begitu saja. Jikalau berita buruk tentang seorang itu benar maka disebut ghibah. Padahal dalam islam sendiri ghibah dilarang, perumpamaannya pun telah di jelaskan dalam Alqur'an.
Seorang yang membicarakan keburukan orang lain yang memang benar dilakukan, maka dia sama saja memakan bangkai saudaranya sendiri yang sudah mati. Dan jikalau kabar yang disebarkan itu salah maka disebut fitnah. Dalam Alqur'an dijelaskan bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan. Karena dalam fitnah yang dibunuh bukan tubuhnya tapi karakter dari seseorang.
Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah menjawab tuduhan mereka, meski sempat khawatir tak dapat mengendalikan kemarahan yang sempat membakar kesabaranku.
****
Sedikit demi sedikit beban dalam pikiranku terangkat. Ditambah lagi hasil yang cukup memuaskan setelah sidang skripsiku tadi membuatku berulangkali mengucap syukur pada Allah. Duka perlahan beringsut pergi dari pikiranku.Aku harus gembira, berhasil menyelesaikan sidang dengan lancar itulah yang kudambakan sejak lama. Wajah-wajah penuh bahagia menyambutku suka cita.
Dua tangan sahabatku melambai ke arahku. Merekalah kekuatanku, bersama menjalani proses yang kami tunggu hingga kata lulus dalam sidang bisa kami peroleh bersamaan.
Disaat yang sama pula sepasang netra milik Mas Amir bersitatap denganku, seakan berkata selamat. Wajah rupawan itu yang setia menemaniku dalam suka dan duka. Memberikan senyum tulus menawannya sebelum melenggang berjalan beriringan dengan dosen lain menuju ruangan mereka.
"Kita lulus sidang skripsi. Duh, rasanya mau terbang aja aku." Sorak Nadya kegirangan. Melompat-lompat seperti anak kecil. Aku tersenyum tipis, mungkin itu caranya mengekspresikan rasa bahagia.
"Alhamdulillah dulu kali, Nad. Bersyukur sama pemberi kebahagiaan itu yang lebih penting." Tungkas Fany sambil tersenyum. Meraih tanganku dan Nadya sambil berlari menuju taman kampus.
Akhir yang membahagiakan bagi kami, tapi bukan akhir dari tholabul ilmi kami. Melainkan awal dari langkah kami menjadi lebah. Menebar manfaat pada berbagai tempat. Membagi ilmu yang telah di dapat.
Ting
Notifikasi pesan masuk beruntun pada ponselku menghentikan obrolan kami. Aku mengernyit, tak biasanya Azam mengirim pesan beruntun seperti ini. Membuatku penasaran, langsung saja membuka pesan itu.
From Azam
Mbak Pia pulanglah, ajak juga mbak Fany. Orang tua Mbak Fany datang ke sini, marah-marah. Sekarang mereka ada di ndalem, berusaha ditenangkan oleh Kang Fikri.
From Azam
Azam juga sudah kasih kabar Mas Amir. Mas Amir ini juga sedang perjalanan pulang. Mbak Pia cepet pulang ajak mbak Fany sekalian.
Fany dan Nadya menatapku penuh tanya melihat perubahan raut wajahku.
"Ada apa, Fi? Apa ada masalah di pondok?" tanya Fany penasaran.
Aku menggeleng. "Fan, Ayah dan Bundamu datang ke pondok. Ayo kita pulang temui mereka. Mereka pasti ingin berjumpa dengan putri semata wayangnya."
"Apakah mereka ingin menemuiku? Apakah mereka merindukanku?" Fany tertunduk, setetes air mata jatuh dari kedua kelopak matanya.
"Iya, Fany," jawabku mantab. Berusaha meyakinkan Fany.
Semoga pertemuan ini akan menjadi penyatu kembali keluarga kecil mereka yang sempat merenggang hingga Fany tak perlu lagi mengemis kasih sayang pada kedua orang tuanya.
***
Semarang, 7 Juli 2019
Revisi 5 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Gus (Revisi)
SpiritualProses revisi. Mohon maaf agak lama karena bakal aku rombak cukup banyak. Berawal dari pertemuan tak sengaja, ternyata Allah takdirkan hati ini berlabuh pada seorang pria dengan segala pesonanya. Semuanya terjadi tak terkira, dia ternyata telah me...