17. Benar dia kembali

9.1K 537 19
                                    

اللهم صل على سيدنا محمد
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان و بلغنا رمضان
سبحان الله الاحد الصمد

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Lukisan langit sore terlihat indah menawan. Perpaduan warna kuning dan oranye begitu memanjakan mata. Maha karya sang pelukis ulung, yang paling indah tiada tara. Dia lah Allah.

Dua bungkusan plastik besar sudah ada ditangan. Membayangkan seporsi geprek pedas sepertinya sangat menggiurkan.

Tapi bukan itu yang ada dalam benak ku. Percakapanku dengan pria itu begitu mengganggu pikiranku. Suara lirihnya terdengar begitu mengiba. Berusaha menyentuh sisi terdalam hatiku.

Flasback on

Pria itu duduk di kursi kayu panjang, posisinya tepat disebelahku dengan tasku sebagai pembatas.

Hening, suasana itu yang awalnya mengisi. Tanpa ada percakapan antara kami. Entah canggung atau memang tak ada topik yang bisa dijadikan bahan perbincangan.

Kudengar dia menghela nafas panjang, kemudian membuka suara.

"Assalamualaikum Ning Fia, bagaimana kabar sampean sekarang?" Terdengar sedikit ragu saat ia mengatakan itu.

"Alhamdulillah saya baik Gus. Bagaimana dengan sampean?" Jawabku tanpa menoleh padanya, dengan pandangan tetap menatap lurus ke depan.

"Ehm, Ning saya minta maaf." Kali ini ucapanya terdengar lebih lirih dari sebelumnya.

Dan benar saja dugaanku, ia pasti akan membuka topik perbincangan yang menjurus pada masalah yang sudah tak lagi ingin ku bahas. Masa lalu yang telah ku anggap sebagai buku cerita yang telah ku tutup karena sudah sampai tamat ku baca.

"Sudahlah Gus, tak perlu dibahas lagi. Saya sudah memaafkan sampean." Ku tolehkan wajah sambil menarik dua sudut bibirku membentuk lengkungan. Memberikan senyum tulus padanya.

Terlihat secercah harapan baru muncul dari raut wajahnya. Paras elok dan senyumnya tak berubah, hanya saja tubuhnya yang dulu proporsional sekarang terlihat lebih kurus.

"Terima kasih Ning. Saya merasa sangat bersalah sudah mengucapkan kalimat itu buat sampean. Saya sekali lagi minta maaf."

"Gusti Allah saja pengampun. Apa saya yang hanya seorang hamba tak bisa memaafkan kesalahan sesama. Dan apa pantas saya tak memaafkan kesalahan sampean? Saya tak berdaya atas sifat pengampunnya Gusti Allah pada hambanya. Saya ikhlas Gus memaafkan sampean." Lega rasanya bisa mengucapkan kalimat itu.

"Terima kasih Fia, saya sangat lega mendengarnya." Balasnya dengan binar penuh kelegaan.

Kemudian ia menarik nafas panjang lalu melanjutkan ucapannya. "Bismillah, saya bermaksud ingin meminangmu Fia."

Ucapannya seperti sebuah suara ladakan petasan. Begitu mengagetkan hingga membuat kinerja jantungku berhenti sesaat.

Benarkah apa yang diucapkan olehnya tadi. Aku tak sedang bermimpi bukan?

Bukankah ia tak pernah menaruh rasa padaku. Menolak mentah-mentah perhatian dariku. Tapi mengapa saat ini ia mengatakan hal itu. Apa ia ingin kembali mempermainkanku?

"Maaf Gus saya tak bisa, dan tak akan mungkin menerimanya."

Mendengar jawaban ku, binar bahagia dari sorot matanya perlahan redup. Senyuman di bibirnya berangsur pudar.

"Ning, saya sungguh-sungguh dengan ucapan saya tadi. Tak ada kepalsuan lagi. Saya sangat yakin dengan hal ini." Ia menatap wajahku, berharap aku akan percaya dan luluh dengan penuturannya.

Aku semakin dibuat bingung dengan tingkahnya. Tak kusangka perbincangan ini akan berujung pada pinangan.

"Gus, aku benar-benar tak bisa. Karena..." Belum sempat ku katakan alasanku, ponselnya bergetar tanda pesan masuk. Diraihlah ponselnya, lalu membuka pesan itu.

"Maaf Ning, saya tak bisa mendengar penjelasan sampean sekarang. Saya akan sabar menunggu jawaban atas pinangan tadi." Ucapnya, kemudian berlalu dari hadapanku.

Flasback off

Tepukan pelan seseorang dipunggung belakang menyadarkan ku dari lamunan. Aku tak menyadari, masih setia menenteng dua bungkusan plastik di tanganku sejak tadi.

"Dek, ada apa? Abang lihat kamu tadi melamun."

Mendengar Bang Hasan berbicara, tanpa merespon ucapannya langsung saja ku peluk Bang Hasan. Karena bingung dengan sikapku, perlahan Bang Hasan mengurai pelukan ku.

"Dek, sebenarnya ada apa? Bicara sama Abang. Jangan buat Abang bingung."

Semoga dengan berbicara pada Bang Hasan bisa sedikit membantuku untuk menyelesaikan masalah baru yang mulai muncul ini.

"Bang, dia kembali. Datang meminta maaf pada Fia dan..." Rasanya suaraku tercekat di tenggorokan. Sangat sulit mengatakannya.

Nampak Bang Hasan setia menanti kelanjutan ucapanku sambil mengusap lembut puncak kepalaku yang tertutup hijab.

"Meminta maaf dan melamar Fia Bang."

Bang Hasan mengernyitkan dahi. Memastikan bahwa ia tak salah dengar.
"Fauzan." Tebaknya, yang ku balas dengan anggukan.

****

Kabur🏃🏃....

Semarang, 19 Maret 2019

My Future Gus (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang