Seperti yang direncanakan sebelumnya. Kini Alissha telah tinggal bersama Ana diapartemen milik atasannya. Tentu saja pada pagi ini, ia telah mempersiapkan makan pagi untuknya maupun dengan Ana. Dan ketika ia telah selesai dengan kegiatannya itu, ia membangunkan Ana dengan penuh perhatian.
"Ana.. Wake up, please." ucapnya ketika memasuki kamar Ana, dengan perlahan Anapun langsung terbangun dari tidurnya.
"Kok dibangunin sih, biasanya kan alarm nya bunyi sendiri." jawab Ana dengan matanya yang masih setengah terpejam.
"Dan sekarang, gue yang akan jadi alarm buat lo. Gue bakal terus kasih perhatia kepada diri lo mulai saat ini." balas Alissha sambil tersenyum tipis. Lalu ia keluar dari kamar Ana dengan langkah pelan.
Ana melirik jam di ponselnya. Terlihat bahwa waktu masih menunjukan jam 05.00 pagi. Sekejap, Ana mendengus. Ini mah yang namanya pembetean. Pikirnya yang mulai memasuki kamar mandi.
Alissha terkikik pelan di ruang tamu. Ia baru saja melihat pemandangan seseorang yang selama ini menjadi atasannya yang terkesan tegas. Dan yang tadi yang dilihatnya, hanyalah seorang anak polos dan manja tanupa embel-embel tegas dan berwibawa.
"Astaga.. Ehh lo ngapain dikamar orang. Mau maling ya lo!" seru Alissha ketika yang keluar dari kamar Ana terlihat bukanlah sang pemilik kamar tersebut.
"Woyyy! ini gue Ana, si anak cantik nan imut termasuk atasan lo. Lo nggak ngenalin gue." jawab Ana dengan percaya dirinya.
"Oh my god. Culun banget sih lo, lo dandan kayak gitu nggak dibully?" tanya Alissha yang masih syok.
"Ya jelas dibully lah. Tapi tenang aja, gue udah bisa beradaptasi dengan pem bully an. Oh ya, lo nggak masak?"
"Ada-ada aja lo itu! Lihat aja diatas meja. Cepetan makan, terus berangkat sekolah. Gue ada jadwal kuliah pagi sekarang, oh ya gue berangkat dulu. Nanti hati-hati dijalan ya!" ucap Alissha yang kemudian melenggangkan kakinya pergi keluar dari apartemen.
Sedangkan Ana sekarang berada diarea dapur dan sesegera mungkin memakan masakan Alissha itu. Ketika dirasa sudah selesai, ia kemudian mengambil tas nya lalu pergi untuk bersekolah.
____
Disisi lain.
Seorang pria remaja terduduk di depan meja belajarnya sambil membuka-buka album foto lama keluarganya. Dan itulah kegiatan rutin yang dilakukan setiap pagi, sebelum pergi ke sekolah.
Ia mengamati setiap lembar foto, dan mengamati seorang gadis kecil di sana. Ya dia adikku, Anasthasya Azaria Gideon. Entah dimana sekarang, aku belum mengetahuinya. Ya dia lah Aksenio Alvan Gideon.
Perlahan dia menitikkan air mata karena tak kuasa menahan tangis. Ya, dia telah mencari adiknya bahkan menunggunya sampai saat ini, tapi belum ada yang mengetahui keberadaannya. Sungguh, dia tak tahan lagi untuk cepat-cepat bertemu dengannya walaupun hanya sekali saja.
Karena Aksen tak kuat lagi untuk menatap semuanya, ia keluar dari kamar dan menuruni tangga agar sampai keruang makan.
Memang sudah tradisi, jika Aksen keluar dari kamar dengan mata yang sembab. Dan keluarganya hanya memaklumi keadaan itu, bahkan setiap malam juga ia sering melihat Aksem menangis sambil memandangi salah satu foto dalam genggaman mereka. Bukan hanya Aksen, tapi semuanya. Dia sungguh menyadari, bahwa sekarang keluarganya sudah tak seharmonis dulu. Sekarang di rumah ini hanya ada sebuah tangisan dan penyesalan terdalam pada diri mereka.
Bahkan untuk meredam rasa sedihnya, mereka melakukannya dengan cara menyibukkan diri di kantor, dan akan pulang ketika malam tiba. Mereka tetap selalu membuat Aksen bahagia, walaupun dalam diri mereka terselip sebuah kesedihan.
"Selamat pagi Pah, Mah, Bang Devon." sapanya ketika menuruni tangga.
"Selamat pagi juga Aksen sayang." balas mereka sambil tersenyum palsu. Fake smile.
"Bagaimana keadaanmu di sekolahmu nak?" tanya Papah basa-basi.
"Seperti biasa, baik. Oh ya, sudah mendapat berita terbaru dengan Ana sekarang?" tanya Aksen sambil berdoa dalam hati.
"Belum sayang. Tapi nanti kita akan pergi ke panti lagi, untuk menanyakan hal yang sama. Mereka belum buka mulut soal keberadaan Ana, dan seolah-olah mereka menyembunyikan Ana dari kita." jawab Bang Devon dengan sedih.
"Nanti Aksen ikut ya Pah. Kata Arkan, nanti para guru akan mengadakan rapat dengan pemilik sekolah. Jadi akan dipulangkan lebih awal nanti." balas Aksen.
"Iya sayang. Kita akan ke panti asuhan bersama-sama nanti." jawab Mamah lalu menyuruhku untuk makan dan bergegas ke sekolah.
_____
Ana sudah sampai di sekolah pagi-pagi sekali. Seperti biasanya, masih sedikit anak yang baru sampai ke sekolah.
Ana duduk di kursinya dengan tenang, lalu Ana membuka tas dan mengambil buku tentang sejarah yang dibelinya belum lama ini. Terdengar dengan jelas bahwa kelasnya sekarang telah ramai dengan penghuninya, dan Ana hanya fokus dengan bacaanku.
Brrrakkkkkk..
Seseorang menggebrak meja Ana dengan keras. Siapa lagi kalau bukan Fiona and the geng yang melakukannya. Ana sudah dapat menebaknya dari bau parfum yang berlebih yang mungkin dikenakan. Mungkin satu botol parfum mereka habiskan, mungkin agar tidak ada orang yang bisa merasakan bau tubuhnya. Tapi itu berlebihan, dan sangat menyengat hidung bukan.
"Hehh cupu. Cepet kerjain PR gue!" serunya sambil melempar buku tulisnya. Ana hanya diam tak berkutik.
"Lo denger nggak sih! Lo mau dikeluarin dari sekolah ini secepatnya." bentak salah satu dayang-dayangnya dibelakang Fiona. Mungkin jika kudengar dari suaranya, tak salah lagi kalau ia Flara.
"Dasar culun, miskin. Masih aja belagu di sekolah ini!" ucap Gita, dayang Fiona yang lain.
Ana lalu menutup buku sejarah yang kubaca. Lalu menoleh kearah Fiona dan temannya. Ana dapat menilai dandanannya yang semakin hari, semakin menor. Bahkan menyamai make up tante-tante. Dan tanpa ekspresi Ana hanya menatap mereka dengan satu alis yang terangkat.
"Ehh.. Cepet kerjain sekarang!" seru Fiona lagi.
Ana berdiri dari kursinya untuk menyamai tinggi mereka. Ditatapnya mereka dengan tatapan tajam seperti biasa, melawan. Namun tidak dengan fisik, karena Ana masih ingin bermain-main dengan mereka.
"Lo mau gue kerjain PR lo. Terus apa gunanya otak lo kalau nggak buat mikir!" ucapnya dengan santai.
Glekkkk..
Terlihat Fiona telah mengepalkan kedua tangannya disisinya, mungkin emosinya sedang mode on.
"Lo berani sama gue sekarang!?" bentak Fiona yang mulai emosi.
"Sejak kapan gue takut sama lo, nggak guna tau nggak! Sama-sama makan nasi kan?" jawabnya melawan.
Dilihat tangan Fiona mulai mengambil ancang-ancang. Lalu sedetik kemudian, dia melayangkan tangannya untuk menampar Ana. Dengan sigap, Ana pun menahan dan menekan pergelangan tangannya dengan kasar.
"Lepas nggak?!" bentaknya yang mulai kesakitan.
" Asal lo atau kalian tahu. Kalau kalian ganggu gue ketika lagi nggak ada mood yang bagus seperti sekarang ini, yang ada kalian babak belur sama gue sebagai pelampiasan. Dan satu hal lagi untuk lo nona Fiona yang terhormat, sekarang lo masih bisa selamat tapi nanti lo mungkin bisa mati ditangan gue." ucap Ana dengan senyum yang menyeringai. Tentu saja membuat semua penghuni kelas bergidik ngeri, terutama tiga temannya yang baru memasuki kelas.
Ana melepas tangannya dan melenggang pergi keluar dari kelas. Untuk saat ini, ia butuh ketenangan dan jauh dari keramaian.
Sedangkan Shasa, Dinda, dan Maudy masih berdiri tegang.
"Suwerrr.. Itu tadi Ana apa bukan sih?" tanya Maudy yang masih heran.
"Iya bego, lo nggak lihat tadi. Yakin serem banget gue lihat Ana kayak gitu!" jawab Sasha yang masih cengo.
"Sumpah, gue masih nggak percaya!" kata Dinda dengan kaki yang masih bergetar.
******
1156 Kata.
Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...