Aksen melihat pantulan wajahnya dicermin, sungguh wajahnya tak bisa dikatakan baik saat ini. Bahkan matanya pun merah membengkak tanpa sebab yang jelas.
Ia tak menangis, bahkan tidur sampai larut malampun tidak. Tapi lihatlah, wajahnya cukup buruk untuk ditampilkan kepada banyak lautan manusiap nantinya. Bahkan rambutnya kusut tak beraturan jika di lihat. Dengan sedikit gerutuan kesal, Aksen mulai keluar dari tempatnya dan berjalan entah kemana.
Ia tak berniat untuk bersekolah. Mungkin karena seragam dan baju-bajunya masih tertinggal dirumah lamanya. Bahkan dilain sisi, ia masih belum memantapkah hati untuk tetap tegar menatap orang lama yang telah memporak-porandakan semua.
Aksen tersenyum tipis, langkah jalannya tak tentu arah pada pagi ini. Bajunya pun masih sama seperti yang kemarin-kemarin, enggan untuk membelinya yang baru. Biarlah ia terlihat seperti gelandangan, yang penting bajunya masih wangi karena tercampur oleh parfum yang baru dibelinya kemarin.
Aksen berhenti tepat didepan rumah yang sangat dikenalinya. Entah setan apa yang menuntunnya untuk sampai di sini tanpa sadar. Namun, Aksen tetap berjalan masuk tanpa menunggu sang pemilik rumah mengijinkannya.
"Baru ingat jalan pulang kamu?" gertak seseorang yang tak lain adalah Papahnya.
Aksen diam tak menanggapi, mungkin menunggu kelanjutan ceritanya yang akan terjadi nanti.
"Sudah sadar bahwa jadi gelandangan nggak enak. Sudah menyadari kesalahan kamu sekarang?" tanya Papahnya lagi.
Mamahnya hanya menatap diam. Sedangkan Devon hanya mengelus pundak Mamahnya agar tetap tegar. Dan jangan tanyakan Alissha yang sedang bingung saat ini, sudah pasti ia tak tahu apa yang terjadi sebelumnya.
Aksen sedikit mencibir lewat gerakan mulutnya yang tak ramah lagi. "Papah minta aku buat sadar diri, sedangkan Papah nggak pernah sadar diri dengan apa yang sedang Papah perbuat. Dunia nggak adil untuk itu! Aksen nggak pernah salah, jika Papah nggak sadar diri dengan tindakan Papah yang sedang dilakukan."
PlakkK..
Satu tamparan keras mendarat dipipi Aksen saat ini. Syok, pasti. Namun Aksen hanya tersenyum tipis. Ia tak terlalu bodoh untuk mencerna semua yang terjadi.
"Semuanya berubah setelah kalian pulang kerumah ini lagi. Sebelumnya baik-baik saja, tak ada pertikaian atau pertengkaran hebat seperti ini. Sebelumnya kita juga merasa damai, namun entah setan apa yang merasuki kalian, semuanya berubah!" seru Aksen yang tak tertahankan.
PlakKKK..
Tamparan keras yang kedua kali membuat Aksen merasa mati kutu. Matanya langsung terlihat kosong, dan hatinya menyiratkan kata luka. Baru kali ini, Papahnya bermain fisik dengannya. Dan langsung itu langsung membuat lukanya tertampar jauh lagi kedalam hatinya.
"Kenapa Pah! Kenapa Papah berubah? Aksen nggak pernah suka Papah yang memilih seperti ini." ucap Aksen yang sekarang menangis sesenggukan.
Papahnya hanya diam tak menggubris. Semuanya pergi dari hadapannya, seperti tak peduli lagi dengannya. Aksen memegangi dadanya yang terlihat sakit seketika itu, lalu berjalan pelan menuju kamarnya berada.
Tak ada yang berubah, bahkan kamarnya sepertinya dirawat sangat rapi olehnya. Aksen tersenyum, setidaknya masih ada seseorang yang peduli dengannya. Aksen bertekad, tujuannya hanya satu sekarang. Anasthasya Azaria, adiknya.
____
Ana memandang jengah obrolan yang sedang satu sekolah lakukan. Ya mereka tengah mengobrolkan satu objek yang akan menjadi murid baru mulai senin depan, siapa lagi jika bukan Gina Florenza.
Berita murid baru memang baru tersebar hari ini, terlebih murid baru tersebut adalah anak pindahan dari luar negeri. Tentu membawa minat bagi siapa saja untuk bergosip, karena Gina dianggap orang luar oleh mereka.
Bahkan sekarang ketika jam istirahat dikumandangkan, semua orang berbondong-bondong ke kantin dan menggosipkan hal yang serupa. Tentu membuat minat makan Ana langsung turun. Terlebih Arkan dan teman-temannya terus menceritakan hal yang serupa seperti yang lainnya. Ana dan para sahabatnya memilih untuk diam saja, memakan makanan yang baru saja hadir didepannya.
"Jadi lo dengan Gina Florenza sudah bersahabat dari kecil. Kok kita nggak tahu Ar?" tanya Azka yang memegang dagunya terlihat berpikir.
Arkan mengangguk. "Ya karena kalian nggak pernah tanya."
Semua teman Arkan mendengus, sedangkan Arkan hanya bisa terkekeh kecil melihatnya. Kali ini, Arkan menatap Ana yang terus serius dengan makanannya. Sesekali tersenyum kecil, ketika melihat pipi Ana yang terlihat menggembung karena makanan.
"Makannya yang bener Na, pelan-pelan nanti tersedak loh." ucap Arkan menasihati.
Ana hanya menatap sekilas, dan memakan makanannya lagi sesuai dengan keinginannya.
"Dibilangin kok ngeyel. Ya sudah, terserah kamu saja." ucap Arkan pasrah.
Dan baru saja Arkan menyeruput es teh nya, Ana bangkit dari duduknya dan berjalan keluar sambil memberi aba-aba kepada para sahabatnya untuk ikut dengannya.
"Selesai, kalian mau ikut balik ke kelas atau gimana?" tanya Ana tanpa menunggu jawaban sahabatnya itu.
Sahabatnya langsung mengangguk cepat, dan memberhentikan kuyahan makananannya lalu berdiri setelahnya.
Ana menuju kelasnya dengan langkah cepat. Tujuannya hanya satu, menulikan pendengarannya yang terus saja mengobralkan nama Gina dihadapannya.
Arghhhh.. Mungkin Ana akan memilih untuk mati saja ketimbang terus mendengar antusiasisme warga sekolah yang akan menyambut murid baru bernama Gina.
Ana meraih tasnya dan mengambik earphone didalamnya. Ia langsung memasang pada telinganya, dan mulai mendengarkan lagu.
"Na, kok kayaknya lo nggak seneng dengan orang yang bernama Gina itu." tanya Shasa yang kini sudah duduk dihadapannya.
Ana mendengus. Ia memang sengaja mengecilkan volume suara, agar dapat mendengar obrolan sahabat-sahabatnya itu.
"Nggak apa-apa." jawab Ana seadanya.
"Ayo dong cerita. Kan kita sahabat lo." kali ini Maudy ikut manyahuti.
"Bener Na. Ngapain lo anggep kita sahabat, jika lo sendiri masih nggak mau terbuka dengan kita." sambung Dinda.
Ana mendengus, lalu menatap ketiganya dengan senyuman tipis.
"Guys, gue bakal terbuka ketika nanti gue udah nggak bisa cari jalan keluar sendiri. Please, ngertiin gue kali ini. Gue diam, bukan berarti gue nggak mau cerita. Melainkan gue masih mampu untuk mencari jalan keluar gue sendiri." jelas Ana panjang lebar.
"Jika lo menyerah, ada kita di sini. Sebisa mungkin kita akan berusaha semampu mungkin untuk memecahkan masalah yang sedang lo hadapi." timpal Dinda dengan tersenyum.
"Thanks. Kalian emang sahabat gue yang terbaik." ucap Ana yang tersenyum.
Mereka mengangguk kompak. Seperti inilah persahabatan Ana. Tak pernah menilai dari satu sisi luar, karena mereka tulus bersahabat tanpa memandang sisi dalamnya.
*****
962 Kata.Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...