Ana menangkap siluet langka diwajahnya. Sebuah garis hitam yang melingkar dimatanya, tentu saja bengkak dibagian tertentu. Ana mengerutu kesal, perasaan ia tak menangis. Kenapa matanya semengerikan ini. Alhasil Ana mengambil kacamata non minusnya, lalu memakainya.
Semalaman ia tak bisa tidur, matanya sama sekali tak ingin memejamkan mata. Alhasil, waktunya hanya ia habiskan untuk duduk-duduk santai di balkon, ditemani angin malam yang menerpanya. Ia tak merasa kedinginan, mungkin karena efek pikirannya yang sangat kacau.
Waktu telah menunjukkan pukul 6 pagi, tetapi Ana sudah siap dengan seragamnya dan buku-buku pelajarannya. Ia menenteng tas nya, lalu berjalan keluar dari kamarnya menuju ke bawah.
Terlihat Papahnya sedang membaca koran di pagi hari. Mungkin karena Devon yang sudah meng handle semua pekerjaan dan meminta Papahnya untuk beristirahat. Devon sudah jarang di rumah, mungkin ia sibuk dengan berlipat-lipat dokumen di tangannya.
Alissha, ia sedang menyiapkan wisuda di universitasnya. Sudah jarang terlihat dimatanya, meskipun hanya untuk mampir dan bercerita ria dengannya. Dan Mamahnya, ia subuk dengan dapur. Meskipun ada pembantu dirumah, Mamahnya ingin selalu tampil perfect dimata semua orang. Untuk itu, sekarang Mamahnya tengah sibuk dengan peralatan masaknya.
"Selamat pagi Pah." sapa Ana yang duduk di samping Papahnya.
Papahnya yang sedari tadi fokus membaca koranpun langsung menolehkan wajahnya. Ia terus tersenyum, lalu mengusap-usap rambut Ana yang sudah tertata rapi.
"Pahhh, kan berantakan lagi rambutnya ihhh." ucap Ana sambil menatapnya kembali.
"Anak Papah sudah rapi, mau sekolah ya. Sudah ada uang sakunya kah?" tanya Papahnya sambil meletakkan korannya diatas meja.
Ana hanya terkekeh. Lalu mengambil uang sakunya yang berada disaku roknya dan memamerkannya. "Sudah ada kok. Oh ya, kok tumben sepi. Pada kemana semua?"
"Masa sih sepi. Ada Mamah dan Gina kok di rumah. Mamah lagi di dapur dan Gina lagi di luar rumah." jelas Papahnya lagi.
Ana hanya ber oh ria saja, lalu memilih untuk membungkam mulutnya. Satu menit, lima menit, dan sepuluh kemudian, suara seseorang menginterupsi indra pendengarnya.
"Semuanya, makanan sudah siap!" seru Mamahnya dari ruang makan.
Ana dan Papahnya beranjak bersamaan menuju ruang makan. Lalu dengan rasa lapar yang menghantam sedari malam tafi, Ana mulai duduk rapi dan mengisi piringnya menggunakan nasi dan lauk pauk yang tersedia.
"Oh ya Pah, Gina mana?" tanya Mamahnya dengan raut muka bingung.
Ana mendengus. Lagi dan lagi, selalu saja ada Gina disela-sela hidupnya. Bisakah Ana hidup dengan tenang tanpa ada Gina disela-selanya? Bahkan mau makanpun Ana tak bisa berkonsentrasi, hanya karena satu nama saja. Gina Florenza.
"Ada Mah, kayaknya diluar. Ana, panggil Gina dulu gih." pinta Papahnya pada Ana.
Skakmat. Baru saja ia menggerutu karena satu nama itu, dan sekarang ia harus dihubungkan dengan orang yang sama lagi.
Argghhh..
Melawan perintah orang tua, sama saja dengan durhaka pada mereka. Dengan malas-malasan Ana mengangguk, dan berjalan pelan menuju keluar rumahnya.
Ana mengusap-usap wajahnya frustasi disetiap langkahnya. Gina, satu nama yang selalu menyusahkan dirinya. Mungkin bukan lagi menyusahkan, tetapi juga masalah untuknya. Dan kini, Ana hendak berhenti dipintu utama rumahnya, namun melihat Gina bersama dengan seseorang, membuatnya berhenti untuk sejenak dan memperhatikannya dalam diam.
Deggg.. Apa-apaan ini? Bukan ini yang Ana harapkan!
Dengan pikiran yang terus melayang, Ana mulai melangkah mundur dan bersembunyi di balik pintu utama rumahnya.
Ana memegang dadanya yang berdegup kencang. Perih, mungkin itu yang dirasakan olehnya. Nafasnya tersenggal-senggal, begitu pula matanya yang mulai memerah menahan tangis. Ia berusaha untuk terpejam dan tetap berpikir jernih. Namun bayangan yang baru saja terjadi itu, terus saja menghantui dirinya.
Ana mulai tenang, dan bersiap untuk mengintip mereka lagi. Sungguh momen yang sungguh tidak tepat baginya. Kini, ia melihat Gina berpelukan mesra dengan orang itu.
Lagi-lagi, Ana berharap ini hanya khayalan dadi dirinya belaka. Bagaimana bisa ia melihat seseorang yang dicintainya berpelukan mesra dengan perempuan lain. Ya orang yang dipeluk Gina sekarang, adalah orang yang berarti dalam hidupnya. Arkan.
Arkano Arfian Bagaskara!
Bisa-bisanya ia memeluk seseorang dengan begitu mesra dan sayangnya, padahal itu pun bukan dirinya yang terlibat di sana.
Ana berlari, lalu pergi menggendong tasnya dan berjalan keluar rumah dengan langkah yang dipelankan. Namun tetap saja tak membuat mereka terganggu oleh kehadiran dirinya, mereka sama-sama terpejam dan menyalurkan rasa rindu di antara keduanya.
Sudah cukup! Ana berlari sekuat mungkin, mencari tempat untuk menenangkan dirinya. Entah kenapa, rasa-rasanya ingin mati saja ketika dunia ini tak pernah adil baginya.
Kini, ia berhenti disebuah taman yang tak terlalu ramai pengunjung. Ia duduk disalah satu bangku kosong yang masih tersedia. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, berharap tak ada orang lain yang melihat kerapuhannya.
"Benar, antara benci dan cinta selalu beda tipis. Kita akan merasakan kata cinta, ketika kita berbahagia. Dan kita akan merasakan kata benci, ketika ditinggalkan orang tercinta pas lagi sayang-sayangnya. Gue rasa itu yang lo rasakan." ucapan seseorang membuat Ana menoleh dan menaikkan satu alisnya.
"Maksud lo?" tanya Ana bingung.
Orang itu tersenyum sinis. "Gue tahu, lo orang pinter. Jadi nggak perlu buat gue jelasin panjang lebar secara detail, sedangkan lo sendiri tahu apa yang sedang gue omongin." ucap orang itu lalu duduk disebelah Ana.
"Benci dan cinta emang beda tipis. Tapi bukan berarti mereka sama." jawab Ana yang mulai tertarik dengan obrolan.
"Benci dan cinta emang nggak sama. Tapi pasti lo akan tahu kalau kata-kata itu berkaitan dengan orang yang sama." jawab orang itu lagi.
Ana terdiam. Mungkin membenarkan, namun ia pun juga mempersalahkan. Pada intinya, Ana sedang dibuat kecewa saat ini.
*****
870 Kata.Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...