Twenty One

89.3K 4.3K 9
                                    

Mungkin seseorang yang telah lama tidak bertemu, dia akan canggung ketika pertama kali. Namun tidak berlaku untuk Ana, ia berada dikeramaian keluarganya sendiri, namun dia sendiri asyik dengan dunianya. Tak pedulilah dengan keadaan sekitar, toh apa yang dilakukannya itu akan terus menjadi hak nya.

"Mah, aku sih terima apa adanya. Walaupun Alissha nggak cantik sekalipun, yang penting hatinya tetap cantik, masih murni." ucap Devon sambil sesekali melirik Ana yang sibuk dengan game diponselnya.

"Iya, Mamah percaya kok sama Devon. Kamu pas banget pilih calon menantu.".

Tak lama Ana bangkit dari duduknya dan berjalan ketaman belakang rumah. Ia masih sungguh hafal dengan jalan, jadi ia tak butuh waktu lama untuk sampai ketempat tujuan.

Ketika telah sampai, Ana sungguh tercengang dengan keadaan taman ini. Banyak perubahan yang telah terjadi, bahkan sudah terdapat lapangan basket yang tersedia disana. Entah kenapa Ana menyunggingkan rasa senyumnya.

Ana meletakkan ponselnya begitu saja lalu berlari menuji bola dan ring basket berada. Mula-mula ia men dribble, kemudian melemparnya ke ring. Dan shoot, ia berhasil mencetak three point. Dan kegiatan itu ia lakukan secara berkali-kali.

Namun beberapa saat lamanya, seseorang merebut paksa bola basket yang berada ditangannya. Ana mendongak, dan mendapati Aksen yang tersenyum miring. Ana geram, lalu terjadilah aksi one by one antara Aksen dan Ana.

"Kamu nggak bisa ngalahin Abang Na." ucap Aksen sambil tersenyum miring.

"Siapa bilang aku nggak bisa ngalahin Abang." jawab Ana sambil berkacak pinggang.

"Oke, aku tantang kamu loh ya. Kalau kamu menang, aku kasih kamu tiga permintaan. Begitupun sebaliknya." jawab Aksen sambil mengulurkan tangannya, yang disambut Ana dengan cepat.

"Deal!" seru mereka bersamaan.

Disisi lain, Devon celingukan kesana kemari mencari keberadaan Ana. Mungkin karena tadi ia terhanyut dalam obrolan jenaka Mamahnya dan kekasihnya, hingga ia lupa bahwa ia tengah mengawasi adiknya itu. Jangan tanyakan dimana Papahnya sekarang, karena sudah pasti ia sedang bekerja menafkahi keluarga.

"Deal!" seru seseorang secara bersamaan. Tentu saja Devon mendengar suara itu. Dan bisa dipastikan suara itu berasal dari kedua adiknya yang mungkin sekarang berada ditaman belakang.

"Mah, Sha, itu suara Ana sama Aksen bukan sih?" tanya Devon memastikan.

"Mungkin iya." jawab Alissha dan Mamahnya secara bersamaan, yang kemudian tertawa dengan kompak.

Ketiganya lalu berjalan beriringan menuju taman belakang rumah. Mereka melongo tak percaya ketika mendapati Ana dan Aksen yang tengah beradu skill dilapangan bola basket.

"Ayo Ana, Mbak Alissha mendukungmu. Pasti kamu menang. Lawan para cowok, karena sudah saatnya para cewek melangkah lebih maju." seru Alissha layaknya pemandu sorak.

"Benar kata Alissha. Ayo lawan para cowok, kita harus menang." ucap Mamahnya tak mau kalah.

Devon memangdang kedua orang disebelahnya dengan horor. Matanya melirik sinis kearah keduanya.

"Ayo Aksen Abang mendukungmu. Jangan sampai kamu kalah sama Adikmu, kita harus menang. Dan kita harus tetap maju dari para cewek." sorak Devon tak mau kalah mendukung Aksen.

"Pendukung cewek lebih banyak, sudah pasti kami yang menang." sungut Alissha sambil memeletkan lidahnya, yang membuat Aksen sebal.

Devon mengambil ponselnya yang berada dicelananya. Ia mulai mendial nomor seseorang, dan tuts, panggilannya terhubung.

"Pah, pulang sekarang dong." pinta Devon ketika sudah terhubung.

"...."

"Aksen butuh pendukung buat ngalahin Ana dalam permainan basket."

"...."

"Iyalah, Anasthasya Azaria Gideon. Anak bungsu Papah yang paling cantik. Aku nggak mau tau, pokoknya Papah harus pulang!"

"...."

"Iya, jadi gunain kesempatan ini buat minta maaf sama Ana Pah. Sudah seharusnya dia kembali tinggal bersama kita lagi."

"...."

"Siip, pokoknya para cewek harus tetap kalah. Dan sudah selayaknya kita terus menang."

*****

580 Kata.

Instagram: @vaa_morn01

S.A.D In A Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang