Bel pulang sekolah telah berbunyi dengan nyaring. Maudy yang memang sudah kesal setengah mati, langsung memasukkan semua bukunya dengan asal.
"Suwerr tuh bocah, bolos kok nggak ngajak-ngajak gue sih. Kan lumayan nanti ikut ulangan susulan bareng dia." keluh Maudy kesal.
"Yeee, ngarep diajak lo. Lagian ngapain Ana ngajak lo bolos coba? Nggak ada manfaatnya sama sekali kan." ledek Shasa denga cengiran khasnya.
"Kok lo gitu sih Sha. Seharusnya sahabat itu ngedukung sahabatnya yang dirundung kesusahan, jadi lo itu harus dukung gue!" ucap Maudy sedikit sewot.
"Gue mah ogah ngedukung lo. Hawanya gue selalu ngerasa ambil jalan yang salah, ya sesat mulu kayaknya kalau gue dukung lo!" balas Shasa tak kalah sewot.
Maudy langsung cemberut. Sedangkan Dinda hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan tingkah para sahabatnya.
"Udah sih, kayak gitu aja dibahas. Yuk pulang." lerai Dinda yang sedari tadi hanya menonton.
"Oke, ayolah." jawab Maudy dan Shasa bersamaan.
Dengan berdampingan, mereka mulai berjalan keluar kelas. Sepanjang perjalanan mereka dikoridor sekolah, hanya diisikan dengan celotehan ria oleh mereka. Hingga akhirnya jauh sepuluh meter didepan sana, terdapat Arkan and the geng yang berjalan berdampingan dan mendekat kearah mereka.
"Lo ngrasa nggak sih Aksen, kalau lagi nggak bersikap dingin dan bersikap ramah senyum, itu membuat kadar ketampanannya makin nambah." ucap Shasa yang menatap Aksen dalam.
"Berhubung Arkan udah ada yang punya, gue pilih Azka aja deh daripada kembarannya. Gue ikhlas, jika Aksen mau sama lo!" ucap Maudy tak mau kalah.
"Astaga apa sih yang tidak mereka debatkan. Cogan aja debatnya kayak lagi dapet harta karun sekarung. Nggak ada kata kalah diotak mereka." gumam Dinda pelan.
"Yeee.. Kita mah normal kalau ngrebutin cogan. Emangnya lo!" sewot Maudy dan Shaha berbarengan.
Dinda memikih untuk diam saja, ketimbang nantinya menjadi runyam dan ia yang kena batunya sendiri. Sambil menatap kedepan, Dinda dapat melihat kelima cogan itu sudah dekat dengan mereka.
"Ehh, Neng Shasa belum pulang. Mau pulang dianter sama Abang Azky nggak?" goda Azky sambil mengedipkan sebelah matanya berniat jahil.
'Kalau Aksen yang ngomong kayak gitu sih, gue bakal teriak-teriak nggak jelas saking senengnya. Tapi nyatanya yang ngomong malah Azky yang letoy mirip sama bencong jalanan.' batin Shasa dalam hati.
Bukannya membalas, Shasa hanya menatap Azky dengan tatapan jijik. Sehingga membuat mereka yang ada di sana malah ikutan tertawa.
"Haha.. Syukurin noh dicuekkin sama si gebetan. Lagian sih jadi cowok nggak ada tampang kerennya sama sekali." ledek Galih yang membuat Azky mendelik tajam.
"Awas aja lo, gue bakal bales semua perbuatan lo nanti. Dasar Galih si tukang makan, muka udah mirip kayak gentong aja masih doyan makan bakso sampai lima mangkok!" ledek Azky tak kalah kejam.
Arkan yang sedari tadi memilih untuk diam, mulai mengedarkan pandangannya kesekeliling. Tak ada Ana di sama, sehingga membuat Arkan banyak bertanya-tanya.
"Kalian kok nggak sama Ana." tanya Arkan kepada ketiga sahabat kekasihnya.
Mereka langsung terdiam, terlebih lagi Dinda. Entah apa yang dipikirkan sekarang.
"Hei, gue juga nggak lihat Adek gue. Dimana sekarang? Kalian tahu?" Aksen juga ikut angkat bicara.
Mereka menghembuskan napas pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...