Fifty Two

52.8K 2.1K 38
                                    

Malam yang begitu indah dimata Ana. Terlihat diatas sana, Bintang dan rembulan menampilkan semburat cahayanya dibalik langit gelap. Ana tersenyum, setidaknya Arkan tahu apa yang membuatnya bahagia.

Ana menatap Arkan yang terus menatap langit. Sesekali berkedip karena matanya yang terasa perih, lalu kembali menatap langit dalam diam. Ana tersenyum, Arkan sungguh tampan dibawah sinar rembulan itu. Bagi Ana seseorang yang menjabat menjadi kekasihnya itu selalu tampan disetiap waktu. Bahkan, bukan Ana saja yang mengatakannya, hampir seluruh orang memuji kadar ketampanan kekasihnya.

"Menatapku, hm?" ucap Arkan yang tahu gerak-gerik Arkan.

Ana gugup setengah mati. Bahkan ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal untuk menutupi rasa gugupnya, namun semuanya gagal. Arkan menatapnya dengan senyuman yang mengembang sekaligus menggoda.

"Kamu suka bulan dan bintang?" tanya Arkan sambil menatap bintang.

Ana mengangguk, meskipun tak dilihat Arkan. Sejenak ia menatap Arkan, lalu kemudian menatap langit seperti yang Arkan lakukan.

"Aku suka. Bukan hanya menyukai, tetapi mengangumi. Aku tahu, meskipun mereka tak memancarkan cahayanya sendiri, dia seakan menamani hari kita ketika malam tiba. Mereka akan selalu ada, kecuali ketika mendung menerpanya. Mereka tak akan terlihat di saat itu, dan itu sama seperti mentari yang akan datang ketika siang tiba." jelas Ana.

Arkan tersenyum. "Aku juga menyukai mereka."

Ana mengernyit bingung, meskipun Arkan tak mengetahuinya. "Why?"

"Karena mereka selalu menyatukanku kepada seseorang yang jauh di sana. Seseorang spesial dari kecil dulu, dan dia sahabatku." jawab Arkan.

Ana tersenyum kecut. Mungkin sedikit iri mendengar itu. Namun Arkan tak tahu apa yang dibicarakan, ia tak bosan-bosannya memandang langit.

"Sahabatmu? Apakah dia perempuan?" tanya Ana sedikit menyelidik.

Arkan menoleh, lalu tersenyum menggoda. "Cieee, ada yang cemburu ya."

Pipi Ana langung merona. Meskipun sebagian besar karena rasa malu, tapi tetap saja pipinya memerah. Bahkan Arkan tertawa terbahak-bahak melihatnya.

"Kamu lucu juga ya." goda Arkan sambil menoel-noel pipi Ana.

"Aku nggak lucu ihh!" seru Ana mengelak.

"Yakin nggak lucu, itu buktinya pipi kamu merah lagi." goda Arkan lagi.

Ana kesal. Dihentak-hentakkan kakinya dengan kuat, lalu pergi dari hadapan Arkan yang terus tertawa. Biarlah, ia tak ingin dekat-dekat dengan Arkan lagi. Ia menarik kata-kata sebelumnya yang mengatakan Arkan tampan.

Arkan yang tawanya sudah reda, langsung menyusul Ana yang sudah berjalan jauh dari tempatnya berada. Baginya, Ana adalah salah satu orang yang lucu di saat marah. Itulah mengapa Arkan selalu menggodanya, dan membuat kekasihnya selalu kesal.

"Sayang, tungguin Arkan dong." pinta Arkan yang sudah dekat dengan Ana.

Ana hanya menolehkan wajahnya sekilas dengan sinis, lalu berjalan lagi tanpa melihat Arkan yang terus mengajarnya.

"Sayang, jangan ngambek dong. Besok aku traktir eskrim sepuasnya deh." pinta Arkan yang sudah disebelah Ana.

Ana yang mendengar kata eskrim, langsung berbinar. Ia menoleh dengan senyuman sumringah.

"Oke, aku seteju. Besok ya." jawab Ana dengan sedikit tertekeh.

Arkan tersenyum. "Apa sih yang nggak buat kamu, intinya kamu maafin aku kan?"

Ana mengangguk. "Oke, jadi sekarang anterin Ana pulang ya."

Arkan mengacak rambut Ana gemas. Sungguh tak ada lagi Ana yang sama, jika ia kehilangan Ana. Ia ingin selalu bersama-sama dengan Ana sampai akhir waktu jika nantinya dipercaya oleh Tuhan.

"Ana senang jalan sama Arkan tadi." ucap Arkan memecahkan keheningan.

Ana mengangguk. "Terimakasih, aku anggap kamu akan ajak Ana lagi ketempat yang berbeda nanti.

"Itu pasti."

Dan hening sudah di dalam mobil yang dikendarai Arkan. Hanya ada sebuah lagu yang baru saja diputar oleh Ana, agar tak terlalu hening disepanjang perjalanan.

Mereka membelah jalanan kota, yang terlihat remang-remang karena penerangan seadanya. Ana tak mempermasalahkan itu, ia menoleh ke luar jendela mobil untuk melihat suasana kotanya itu.

Setelah setengah jam lamanya, mereka sudah sampai di depan pekarangan rumah Ana. Mereka langsung turun diikuti Arkan dari belakang.

"Terimakasih sakali lagi, kamu sudah buat aku bahagia untuk kesekian kalinya." ucap Ana tulus.

"Kamu tak perlu berterimakasih Ana. Kamu perioritasku sekarang, jadi sudah sepatutnya aku membuat kamu bahagia." jawab Arkan.

Ana yang mendengar itu, langsung memeluk Arkan tanpa aba-aba. Ia terharu dengan perkataan Arkan, dan berharap bahwa Arkan akan terus bersama dengan dirinya hingga akhir hayatnya. Arkan pun turut tersenyum. Berharap bahwa waktu yang akan terus berjalan ini, akan selalu bersama Ana di setiap detiknya.

"Arkan." panggil seseorang pelan, namun masih terdengar.

Arkan dan Ana yang mendengar itu, sama-sama melepas pelukan dan menoleh.

Arkan terlihat mematung melihatnya, begitu saja dengan orang yang memanggilnya. Ana yang melihatnya pun hanya bertanya-tanya dalam hati saja. Bingung, pasti itu ada dibenaknya saat ini.

"Kalian saling kenal ya?" tanya Ana, namun keduanya tetap bungkam.
____

Ana terus membayangkan kejadian dimana Arkan dan Gina saling bertemu, namun keduanya tetap bungkam atas pertanyaan dari Ana. Mungkin karena mereka tak kunjung menjawab, Ana berlalu pergi dan meninggalkan mereka yang terus bertatap-tatapan mata.

Ana takut, Ana khawatir, dan Ana gelisah. Entahlah, ia merasa bahwa akan terjadi peristiwa buruk dikemudian hari. Namun, pikirannya itu cepat-cepat ia tepis sejauh mungkin.

Kini, waktu menunjukkan pukul 2 pagi, dan Ana masih saja belum dapat memejamkan matanya. Berulang kali ia mengganti posisi tidurnya, namun tetap saja ia tak bisa tidur. Alih-alih ia memilih untuk bangkit, dan beranjak pergi menuju balkon kamarnya berada.

Ia duduk sambil mengeratkan kedua lututnya. Pikirannya bukan hanya fokus pada satu titik saja, karena pikirannya sekarang masih memiliki banyak masalah yang akhirnya terus bercabang. Tentu saja ia ingin menjawab, tapi tak tahu dengan jawaban yang pasti dari dalam hatinya.

"Jika cinta hanya untuk ditinggalkan, mengapa ada cinta diantara kita? Jika cinta hanya untuk merasakan benci, mengapa tak dari awal kau meluapkan emosimu tanpa ada kata cinta? Dan jika cinta hanya untuk saling mengingkari, mengapa ada janji untuk hidup semati diantara kata cinta?"

Dan sekarang, pikirannya menuju Aksen yang tak tahu entah dimana sekarang ia berada. Sekelabat rasa khawatir menyerang Ana, begitu pula dengan rasa rindu. Bahkan kini membungkam otaknya untuk terus saja berpikir.

Arghhhhh..

Ana mengerang, sambil menjambak-jambak rambutnya dengan penuh frustasi. Ia berpikir, kedamaiannya akan berubah dengan hitungan jam lagi lagi.

'Jika dia hadir hanya untuk semantara. Tolong! Jangan ada kata cinta diantara kata nyaman, yang kemudian saling mengingkari dan mengkhianati. Cinta itu untuk ditepati, bukan untuk dibenci, kemudian dihempaskan!'

*****
1001 Kata.

Instagram: @vaa_morn01

S.A.D In A Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang